Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gaya Hidup

Berita Tempo Plus

Kisah Pelukis Viral Erika Richardo dan Veri Apriyatno

Sejumlah ahli gambar menangguk kesuksesan di media sosial. Mendapatkan banyak pengikut dan cuan.

22 Februari 2025 | 14.00 WIB

Veri Apriyatno dan salah satu lukisan karyanya. Tempo/Ilham Balindra
material-symbols:fullscreenPerbesar
Veri Apriyatno dan salah satu lukisan karyanya. Tempo/Ilham Balindra

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Ringkasan Berita

  • Erika Richardo dan Veri Apriyatno sukses di media sosial berkat keahlian melukis mereka.

  • Keduanya mendapatkan banyak pengikut, juga meraih berkah keuntungan finansial.

  • Seniman yang berkiprah di media sosial harus mampu menghadapi berbagai tantangan.

PETUALANGAN terbaru Erika Richardo berawal dari rasa penasaran: benarkah kabar bahwa salah satu lukisan tertua di dunia berada di Indonesia? Pelukis dan kreator konten itu kemudian berburu informasi dengan menelusuri Internet dan media sosial. Ia pun menemukan jawaban positif. Lukisan itu berada di Leang Karampuang, Maros, Sulawesi Selatan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Lukisan di gua tersebut diperkirakan berusia 45 ribu tahun dan menjadi satu dari tiga yang tertua di dunia. Situs Gua Leang hanya kalah dari lukisan di Gua Maltravieso, Caceres, Spanyol, yang berusia 66 ribu tahun, dan Gua Lubang Jeriji Saleh di Kutai Timur,  Sulawesi Selatan, yang berusia 52 ribu tahun. Temuan itu mengawali petualangan Erika yang meninggalkan banyak kesan. "Waktu itu aku sebenarnya hanya iseng mencari tema untuk video terbaru," katanya kepada Tempo dalam wawancara virtual pada Rabu, 19 Februari 2025.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600

Setelah menemukan informasi tentang gua itu, selama berbulan-bulan Erika maju-mundur ihwal keputusan mendatanginya. Ia ragu karena lokasinya disebut sangat jauh dan hanya bisa dijangkau dengan berjalan kaki melewati lembah, bukit, dan sawah. Namun keraguan itu akhirnya pupus. Selama tiga bulan ia menghubungi berbagai pihak, termasuk Kementerian Kebudayaan, untuk mendapatkan akses masuk ke sana. 

Izin itu kemudian ia peroleh. "Akhirnya saya ke sana pada akhir Januari hingga awal Februari 2025," ucapnya. Petualangan mencari lukisan tersebut ia dokumentasikan dan video pendeknya diunggah di Instagram serta TikTok. Sambutan penonton luar biasa. Tiap video yang ia naikkan di TikTok mendapatkan jutaan view. Enam di antaranya bahkan ditonton 20 juta kali.

Erika Richardo/Dok. Pribadi

Di gua itu, Erika juga menggambar ulang lukisan berbentuk babi dan manusia itu di kertas. "Karena waktu yang terbatas, aku melanjutkan gambarnya di rumah," tuturnya. Dara 22 tahun ini mengaku sudah siap mengunggah hasil karyanya di TikTok dan Instagram.

Erika dikenal karena keahliannya melukis dengan media nonkonvensional. Berburu lukisan tertua di dunia merupakan proyek terbarunya. Tujuan utamanya adalah membuat para pencinta petualangan lebih menyukai dan mengapresiasi seni lukis. "Aku sudah menggaet pencinta otomotif saat melukis di mobil Rolls-Royce. Aku juga pernah melukis di mangkuk setinggi 2 meter," ujarnya. 

Salah satu aksi Erika yang viral adalah saat ia melukis di atas mobil Rolls-Royce Phantom pada 15 Agustus 2024. Di TikTok, salah satu videonya dilihat 28 juta kali, memperoleh 1,5 juta like, dan mengundang 6.200 komentar. Di Instagram, tiga video aksinya itu disaksikan lebih dari 7 juta kali. Adapun lukisan di mangkuk 2 meter yang baru dibuat pada 13-16 Februari 2025 juga viral.

Erika gemar melukis sejak kecil. Orang tuanya membiarkan ia mencorat-coret satu sisi dinding rumah. Saat masih duduk di sekolah menengah atas, ia sudah menawarkan jasa melukis di media sosial. Teman atau pengikutnya di media sosial biasanya meminta ia melukis sebuah foto sesuai dengan keinginan mereka.

Meski berbakat, Erika tidak diizinkan melanjutkan studi di bidang seni setamat SMA. Stigma “seniman akan susah mencari uang” sepertinya masih melekat di pikiran orang tuanya. “Orang tuaku pengusaha, makanya aku dikuliahin di jurusan bisnis,” katanya. Namun, di luar kampus, ia masih aktif menekuni seni lukis. Masa pandemi Covid-19 menjadi salah satu periode eksplorasi seninya di dunia media sosial. Ia mampu membuat tiga-lima video tentang seni lukis di akun TikTok-nya. 

Video-video lukisannya sangat diminati warganet. Kini ia memiliki 16 juta pengikut di TikTok. Ia bahkan tiga kali berturut-turut dinobatkan sebagai Creator of the Year TikTok sejak 2022. Di Instagram, jumlah pengikutnya mencapai 2,9 juta.

Erika Richardo di Leang Karampuang, Maros, Sulawesi Selatan/Dok. Pribadi

Tingginya angka pengikut dan view itu memberi keuntungan finansial buat Erika. Ketika ditanyai tentang jumlah pendapatannya, ia tak mau berterus terang. Dia hanya menjawab bahwa, pada usia 22 tahun, ia sudah bisa bebas secara finansial. Orang tuanya hanya membayar uang kuliahnya di Universitas Prasetiya Mulya, Tangerang, Banten, pada semester pertama. Setelah itu, ia membiayai sendiri kuliahnya sampai lulus pada 2024. “Ternyata uang kuliah aku mahal juga, ya,” tuturnya.

Sebagai buah karyanya di media sosial, Erika juga dapat merasakan berbagai kenyamanan. Ia bisa menyewa rumah sendiri dan studio untuk urusan seninya, juga mempekerjakan personel tim teknis yang membantunya, seperti manajer, project officer, serta editor video.

Erika merasa masih mendapati tantangan sebagai pelaku seni rupa di media sosial. Ia kadang mengalami kesulitan menyusun konsep untuk video-videonya. Tak jarang ia juga kerepotan mencari kolaborator untuk berbagai ide kreatifnya. Ia mencontohkan, tidak semua pemilik mobil Rolls-Royce berkenan kendaraan mereka yang seharga Rp 20 miliar dilukis olehnya. “Aku beruntung sekali bisa melakukannya,” katanya.


•••

KESUKSESAN di ranah digital juga dirasakan Veri Apriyatno, seniman profesional lulusan Institut Teknologi Bandung. Ia melalui proses yang panjang untuk meraihnya.

Kegiatan seni rupa lekat dengannya sejak ia duduk di sekolah dasar. Ia sering menjuarai lomba seni rupa sejak belia. Menjadi seniman profesional sejak 1998, Veri pernah membuat pameran tunggal dan mengikuti berbagai pameran bersama. 

Saat mengenal Facebook pada 2009, ia iseng mengabadikan berbagai karyanya melalui akun Drawing Pencil. Awalnya banyak teman-temannya yang mempertanyakan. “Mereka khawatir, kalau diunggah di media sosial, jadi tidak ada kejutan saat mau bikin pameran nanti,” ucap Veri dalam wawancara daring dengan Tempo, Kamis, 13 Februari 2025.

Namun ia tak berkecil hati dan terus mengunggah karyanya di media sosial. Jumlah penikmat karyanya terus bertumbuh. Pada 2015, ia memiliki 4 juta pengikut di Facebook. Ia bahkan mendapat undangan ke Jerman sebagai perwakilan seniman Asia. Dibanding peserta dari negara lain, Veri memiliki follower terbanyak.

Jumlah pengikut itu terus naik meski kian banyak kreator konten baru, termasuk yang berusia lebih muda. Kini seniman yang lahir pada 1973 ini memiliki 14,3 juta pengikut. Mereka kebanyakan berasal dari luar negeri. “Bahkan ternyata penonton video saya dari Indonesia hanya 400 ribu. Sisanya dari luar negeri, dari Amerika, Afrika, hingga Eropa,” ujar Veri. Di Instagram, pengikutnya berjumlah 437 ribu.

Untuk bisa maksimal berkarya di media sosial, Veri belajar secara otodidaktik. Ia melakukan sendiri syuting hingga pengeditan karyanya. 

Ia bereksplorasi dengan berbagai media seni, seperti cat air, cat minyak, dan lilin. Namun, dua tahun terakhir, Veri memilih berkreasi dengan pensil warna dan kapur arang, yang dirasa cukup mudah dan ringkas. Ia tak perlu sering-sering membersihkan kuas dan menghitung waktu keringnya cat. Ia bahkan bisa meninggalkan alat itu ketika sudah letih bekerja.

Veri Apriyatno membuat konten video melukis di kediamannya, Bogor, 19 Februari 2025/Tempo/Ilham Balindra

Veri menggunakan pensil warna dan kertas spesial. Kertas itu harus diimpor dari Spanyol dan harganya bisa mencapai sekitar Rp 100 ribu per lembar. Untungnya, berkat nama besarnya di media sosial, ia mendapatkan banyak sokongan sponsor atau endorsement. “Kalau ada alat gambar yang kurang, saya bisa tinggal minta,” katanya. 

Veri kini berpaling pada teknologi untuk memilih obyek gambarnya. Pada awal kariernya, ia lebih banyak menggambar model secara langsung. Kini, dengan fokus menggambar potret manusia, ia mencari model melalui teknologi kecerdasan buatan (AI). “Jadi saya lebih banyak beraktivitas di rumah saja,” ucapnya. 

Veri kini tinggal di Bogor, Jawa Barat. Namun media sosial dapat membuat karyanya mendunia. Banyak kolektor asing yang memesan karyanya. Ia juga selalu memperoleh banyak respons di kolom komentar saat memamerkan kemampuannya lewat video. Ia mengaku sampai kerap kelelahan ketika membalasnya. “Bayangkan, satu video itu rata-rata 2.000 komentar. Bahkan, kalau viral, jumlahnya 30 ribu. Dan semua harus dijawab,” tutur Veri. Ia akhirnya mempekerjakan orang untuk menangani urusan itu.

Keuntungan materi didapat Veri berkat ketenaran di dunia digital. Pendapatannya tidak menentu. Ia pernah memperoleh Rp 600 juta dalam sebulan saat beberapa videonya viral. Rata-rata pendapatan terbaiknya dari monetisasi video adalah Rp 200 juta per bulan. “Tapi beberapa bulan terakhir kira-kira Rp 50-100 juta sebulan. Yang penting cukup untuk biaya hidup,” ujarnya.

Salah satu tantangan berat yang pernah dihadapi Veri adalah ketika akun Facebook-nya diretas pada 2017. Kala itu jumlah pengikutnya sudah mencapai 11 juta. Untuk mengembalikan akun itu, ia perlu menyiapkan banyak berkas hukum. Penyelesaiannya memakan waktu tiga bulan. “Sekarang saya punya manajer khusus Facebook di Singapura. Jadi, kalau ada apa-apa, bisa langsung lapor ke FB Singapura,” katanya.


•••

TREN pelukis yang memamerkan karya atau keahlian di media sosial makin meningkat. Selain Erika Richardo dan Veri Apriyanto, ada Eva Alicia yang cukup menonjol. Pelukis muda ini memiliki 3,5 juta pengikut di TikTok. Di media yang sama juga kerap berseliweran video karya dan aktivitas Rizki Silitonga, yang memiliki 1,4 juta pengikut. Adapun pelukis Romie Johannes memilih memamerkan karyanya di Instagram. Ia pernah membetot perhatian setelah menjadi juara kompetisi melukis abstrak di Inggris pada 6 Desember 2023. 

Kurator sekaligus dosen Jurusan Tata Kelola Seni Institut Seni Indonesia Yogyakarta, Sudjud Dartanto, mengatakan jumlah seniman yang mempromosikan diri di media sosial memang makin meningkat. Peningkatan ini dimotori generasi X dan Z. Mereka menghadapi tantangan yang tak bisa dianggap kecil. “Perlu soft skill untuk bergaul di lingkaran dunia maya,” ujarnya, Selasa, 18 Februari 2025. 

Sudjud mengamati banyak perupa konvensional yang terlihat kelelahan dan kesulitan beradaptasi. “Media sosial kan terus berkembang. Algoritma antar-media sosial berubah terus. Jadi perlu pengetahuan ekstra bagi seniman konvensional untuk beradaptasi dengan berbagai fitur itu,” katanya. Selain itu, soal hak cipta dan plagiarisme kerap merepotkan mereka.

Ketika banyak seniman memamerkan karya di media sosial, kurator dan kritikus seni sudah pasti terkena dampak. Sudjud khawatir para kurator dan kritikus akan bersikap bias saat memberikan penghargaan dan apresiasi kepada seniman. “Jangan sampai apresiasi diberikan hanya karena viralitas, bukan kualitas,” ucapnya.  

Meski kian banyak seniman yang eksis di media sosial, Sudjud menilai pameran offline masih menjadi primadona di kalangan pencinta seni. Ia mencontohkan festival seni kontemporer tahunan di Yogyakarta, ArtJog, yang pada edisi terbaru masih diikuti banyak peserta dan didatangi ribuan orang. “Menikmati seni rupa, termasuk seni lukis, secara mendalam tidak bisa digantikan dengan hanya melihatnya di media sosial,” kata Sudjud.

Ahli komunikasi Elvera N. Makki mengatakan peningkatan jumlah seniman yang memamerkan karya di media sosial merupakan hal yang wajar. Penjualan karya seni secara daring bisa menjangkau pasar yang lebih luas dibanding pameran offline yang biasanya hanya menarik perhatian kolektor seni. “Di media sosial mereka jadi membuat pasar baru, karena siapa pun bisa terpapar oleh karya mereka,” tutur perempuan yang biasa disapa Vera ini, Selasa, 18 Februari 2025. 

Media sosial juga memungkinkan seniman lebih independen karena tidak perlu bergantung pada kurator. Tantangan bagi mereka adalah persaingan yang makin ketat. Mereka perlu membekali diri dengan menguatkan brand personal dan kemampuan komunikasi. Para seniman juga mesti sadar akan algoritma media sosial yang terus berubah. Mereka pun harus bisa merespons komentar, menjaga kuantitas unggahan, serta mengikuti berbagai pakem pemasaran digital. “Seniman juga harus kuat mental ketika menanggapi respons negatif di dunia maya,” kata Vera.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Mitra Tarigan

Mitra Tarigan

Alumnus Fakultas Hukum Universitas Diponegoro serta John Doherty Asia Pacific Journalism Internships Program di Melbourne, Australia, pada 2019. Saat ini fokus menulis isu kesehatan dan gaya hidup serta humaniora

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus