Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gaya Hidup

Kreativitas Asal Jepret

Penggemar kamera lomo bebas menjepret dan memproses. Ketiadaan aturanlah yang membuat lomografi ini menarik.

24 Maret 2008 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Foto itu sungguh aneh. Tampak seorang pemuda dengan tendangan ala kungfu. Latar bawahnya zebra cross, latar belakangnya gedung pertokoan. Gambar tersebut seperti berada di balik dua lensa cembung yang berimpitan tak sempurna. Gambarnya hanya sepotong yang terlihat jelas. Sisanya kabur tertimpa pemandangan entah apa.

Ada juga foto yang hanya menangkap ujung celana panjang dengan dua pasang kaki bersandal di atas rumput hijau. Cahaya matahari yang menyilaukan singgah di ujung rumput tempat kaki itu berjejak. Hijau rumput dan kuning warna sinar matahari bertempur saling menarik perhatian. Dilihat dari fokusnya, foto itu jelas tidak dijepret dari ketinggian mata si pemotret, tapi dari pinggang.

Masih banyak foto lain yang nyeleneh. Ada yang terkesan rusak, dengan bilur-bilur berbagai warna. Foto dengan warna-warna yang nyelonong ikut pamer diri juga ada. Bahkan ada cahaya beragam warna kalang-kabut memenuhi tampilan foto, sampai sulit diidentifikasi gambar apa itu gerangan. Kadang ada obyek foto yang seperti dibingkai lensa cembung, atau satu gambar terdiri atas empat frame.

Itu semua bukan foto mengada-ada. Buktinya, ketika seorang juru fotonya, Tiavita, memamerkan serentetan karyanya melalui proyektor, hadirin yang datang sangat antusias. Mereka meng-ajukan berbagai pertanyaan, bagaimana Tiavita bisa menghasilkan foto-foto tersebut. Mahasiswi semester kedua Universitas Paramadina itu pun menjawab semua pertanyaan dengan riang.

Begitulah suasananya bila para lomoboy dan lomogirl berkumpul. Mereka adalah penggila lomografi, yaitu memotret dengan kamera lomo.

Lomography sendiri adalah merek dagang produk dan berbagai layanan fotografi Lomographische AG dari Austria. Pada 1991, pendiri perusahaan tersebut menciptakan kamera Lomo LC-A, yang mampu menghasilkan gambar-gambar unik, berwarna-warni terang, kadang malah kabur. Ketika itu, orang menganggap kamera jenis ini sebagai produk gagal.

Setelah diadakan beberapa pameran internasional hasil jepretan kamera ini, Lomo LC-A berubah menjadi kamera yang digemari karena keunikannya. Berbagai model lain dikeluarkan dan masih-masing punya karakter sendiri. Ada Holga, Actionsampler, Frogeye, Pop-9, Oktomat, Fisheye, dan Colorsplash.

Penggemarnya pun makin banyak. Selain para petualang dengan kamera lomo, hingga kini sudah ada 34 kedutaan besar lomografi di seluruh dunia, termasuk di Indonesia, juga di Iran dan Latvia.

Untuk mendirikan kedutaan lomografi, tidak sembarangan. Setiap kedutaan berada di bawah naungan Kantor Pusat Masyarakat Lomografi di Wina, Austria. Di sini, kedutaan dirintis dua sahabat: Tommy Hartanto dan Gloria Martie.

Mulanya Tommy, seorang art director, dan Gloria, copywriter di sebuah perusahaan periklanan di Jakarta, adalah penggemar kamera lomo sejak enam tahun silam. Lalu muncul gagasan membentuk komunitas. Selain membuat mailing list, Tommy rajin berkorespondensi dengan pengurus Masyarakat Lomografi Asia di Hong Kong, yang kemudian menawarinya membuka kedutaan di Indonesia. Pada 5 Agustus 2004, berdirilah kedutaan lomo Indonesia, bernama Lomonesia atau Lomografi Indonesia.

Sebagai perwakilan resmi, Lomonesia berhak mendapat undangan menghadiri acara internasional, seperti Kongres Lomografi Dunia di London tahun lalu. Lomonesia juga wajib memberi tahu Masyarakat Lomografi Asia setiap kali menyelenggarakan acara resmi di sini.

Jika menilik milis Lomonesia, ada lebih dari 600 lomoboy dan lomogirl dari berbagai daerah, seperti Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Surabaya, dan Denpasar. Latar belakang mereka pun beragam, dari siswa SMU hingga pegawai negeri dan pegawai swasta. Selain kumpul-kumpul rutin, berdiskusi, dan saling pamer karya, ada anggota Lomonesia yang berjualan berbagai jenis kamera lomo dan film. Tentu saja, sesama anggota ada diskon khusus.

Acara lain yang digelar adalah lomba, seperti Lomo Goes Green, yang diadakan bulan lalu, dan pameran, seperti Our Darkest Secret, yang diadakan di Kemang, Jakarta Selatan, mulai Rabu pekan lalu. Mereka juga punya majalah online, yang diluncurkan pekan lalu.

Nah, seseru apa sih memotret dengan kamera lomo? Jawabnya mudah: seru karena bebas. Prinsipnya: don’t think, just shoot. Jangan dipikir, langsung jepret. Pokoknya suka-suka (lihat ”Sepuluh Aturan Emas”). Ada film yang sudah dipakai, diputar ulang, untuk kembali digunakan, sehingga menghasilkan gambar tumpang-tindih. Juga ada yang ”membakarnya”, dengan membuka tutup film pada kamera dan menyinari film dengan lampu neon atau cahaya lain. Yang akrobatik juga ada, dengan mengambil gambar sembari melempar kamera. ”Yang penting fun,” kata Teguh Haryo, yang kesengsem lomografi sejak enam tahun silam.

Selain itu, hasil akhirnya tidak bisa ditebak. Itulah yang membuat Teguh sampai punya 13 jenis kamera lomo. ”Karena masing-masing hasilnya unik,” kata fotografer studio di bilangan Kemang, Jakarta Selatan, itu. Bila obyek diambil dengan SuperSampler, hasilnya muncul empat bingkai dalam satu gambar. Sedangkan kamera Holga menghasilkan efek tua (lihat ”Satu Lomo, Beda Hasil”).

Apalagi tidak diperlukan modal terlalu besar untuk mencintai lomografi. Harga kamera lomo rata-rata di bawah satu juta rupiah. Yang baru masuk Indonesia, Fisheye Yellow, misalnya, hanya Rp 500 ribuan. Pemrosesannya juga terjangkau. Menurut Teguh, bagi yang sudah keranjingan hingga menghabiskan lebih dari sepuluh film sebulan, hanya perlu uang sekitar Rp 300 ribu untuk dapat melihat kejutan dari hasil jepretan. Bila ingin ngirit, bisa membeli film kedaluwarsa yang segulung tak sampai Rp 10.000. Menarik, kan? Yang penting kreatif dan nekat.

Bina Bektiati, Anton Septian


Sepuluh Aturan Emas

  1. Bawa kameramu ke mana pun, agar selalu siap beraksi kapan pun.
  2. Gunakan di setiap waktu, baik siang maupun malam. Hidupmu tak akan menunggu kameramu.
  3. Lomografi bukan gangguan hidup, melainkan bagian hidup, seperti berbicara, berjalan, berpikir, makan, dan mencintai.
  4. Cobalah menjepret dari pinggang. Memotret tidak harus melalui mata. Bebaskan sudut pandangmu.
  5. Hampiri obyek sedekat mungkin.
  6. Jangan berpikir. Hidup dan bergembiralah.
  7. Cepat. Perbedaan sepersepuluh detik sangat berarti.
  8. Tak perlu tahu apa yang kautangkap dalam film. Nikmati cara hidup baru yang acak dan penuh kejutan.
  9. Jangan persoalkan juga hasilnya.
  10. Jangan pedulikan semua aturan ini. Bebaskan dirimu, buatlah gaya lomomu sendiri.

Satu Lomo, Beda Hasil

Untuk setiap jepretan satu jenis kamera lomo, hasilnya berbeda dan unik. Berikut ini beberapa contohnya.

  • Holga: gambar terlihat seperti foto lama.
  • Fisheye: gambar seperti terlihat dari balik lensa cembung yang bulat.
  • SuperSampler: ada empat gambar pada satu frame.
  • LC-A: gambar tajam, sangat sensitif dengan cahaya.
  • Horizon Perfekt: gambar membentang hampir dua kali panjang frame standar, karena lensa bisa bergerak.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus