Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Pengemplang Mendapat Korting

Hukuman delapan tahun koruptor BLBI, David Nusa Wijaya, dikurangi separuh. Nilai asetnya juga tinggal seupil.

24 Maret 2008 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

NAMANYA mulai mencuat ketika masuk daftar pembobol Bantuan Likuiditas Bank Indonesia. David Nusa Wijaya, koruptor itu, makin kesohor lagi lantaran pada 3 Maret 2004 kabur tatkala akan dieksekusi untuk dipenjarakan. Dua tahun lalu, nama David kembali mendunia ketika Polisi Federal Amerika Serikat (FBI) mengambil bagian dalam penangkapan bos Bank Servitia itu di San Francisco.

Pria 46 tahun ini pun kian kondang setelah Mahkamah Agung, dalam sidang peninjauan kembali pada Jumat dua pekan lalu, mengkorting separuh hukumannya. Sehingga hukuman David yang semula delapan menjadi empat tahun penjara. Tahun depan, pengemplang Rp 1,29 triliun dana BLBI itu kemungkinan akan bebas.

Kini David meringkuk di sel Rumah Tahanan Salemba, Jakarta Pusat. Ia hidup bersama sekitar 3.600 tahanan lain. Presiden Direktur Bank Servitia yang pernah mengantarkan perusahaannya masuk daftar 500 bank komersial terbaik di Asia Pasifik versi majalah Asia Week itu menghuni salah satu sel di blok K. ”Dia satu sel dengan dua tahanan lain,” kata Kepala Rumah Tahanan Salemba, Bambang Sumardiono.

Vonis delapan tahun David ditelurkan dalam sidang kasasi MA pada 23 Juli 2003. Menurut Parman Suparman, pimpinan majelis hakim sidang peninjauan kembali (PK) Mahkamah Agung, ada yang keliru dalam menerapkan hukum saat sidang tingkat kasasi.

Hakim, katanya, mestinya tidak memakai Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Kasus Korupsi sebagai dasar menjerat David. Majelis hakim seharusnya menggunakan Undang-Undang No. 3 Tahun 1971. ”Dalam undang-undang ini disebutkan pengembalian kerugian keuangan negara menghapuskan pelaku tindak pidana.”

Alasan lainnya, anggota majelis hakim Djoko Sarwoko menjelaskan, David terbentur korupsi BLBI pada 1998, sebelum Undang-Undang Nomor 31 dibikin. Undang-Undang Nomor 31 tidak berlaku surut, walaupun proses kasasinya pada 2003. ”Di sinilah kekeliruan hakim kasasi,” ujar Djoko.

Menurut Djoko, hakim kasasi juga mengabaikan waktu terjadinya kasus (tempus delicti). Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, yang salah satu pasalnya berbunyi ”Jika ada perubahan perundangan sesudah perbuatan dilakukan, terhadap terdakwa diterapkan ketentuan yang paling menguntungkan”, juga tak menjadi pertimbangan hakim. Padahal, kata Djoko, pasal ini berlaku umum. ”Walaupun terpidana adalah penjahat kelas berat, pernah menjadi buron sekalipun,” kata Djoko.

Hukuman David ini sama dengan putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta pada 12 Agustus 2002. Selain dikenai penjara empat tahun, David harus membayar uang pengganti Rp 1,29 triliun. Masalahnya, aset ahli waris dinasti bisnis keluarga Tan Tjin Kok itu tak sanggup menutupi.

Tan Tjin Kok adalah taipan yang sezaman dengan The Ning King dan Liem Sioe Liong. Mereka berkibar pada saat rezim Orde Baru masih digdaya. Bendera perusahaan keluarga yang dibangun ayah David, Batasan Grup, merambah berbagai sektor usaha, mulai dari mengolah hasil hutan, retail, sampai perbankan.

David terseret korupsi BLBI ketika Bank Servitia oleng akibat kebijakan yang keliru. Bantuan yang mestinya untuk menyehatkan keuangan Bank Servitia ternyata dialihkan untuk membiayai sejumlah perusahaan baru miliknya, yang di kemudian hari macet.

Ketika masih beroperasi, bank ini melahirkan sejumlah anak perusahaan. Di antaranya PT Servitia Finance, PT Servitia Land, dan PT Servitia Inti Mulia. Perusahaan itu ikut rontok bersamaan dengan bangkrutnya Bank Servitia akibat krisis ekonomi 1997.

Kejaksaan Agung pasrah dengan putusan MA. ”Kami tidak memiliki peluang lagi untuk menuntut David,” kata Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Bonaventura Daulat Nainggolan.

Kendati buntu dari sisi hukum, kejaksaan berupaya menyita seluruh aset David untuk membayar ganti rugi, walau tinggal seupil. ”Jumlahnya memang sangat kecil, tidak sampai seperempat dari uang yang dikorupsi.”

Penelusuran aset itu dilakukan Kejaksaan Negeri Jakarta Barat mulai Januari 2006. Puluhan aset David yang disita nilainya cuma Rp 20 miliar. Aset tersebut antara lain 50 bidang tanah yang belum bersertifikat. Lokasinya di Jakarta, Tangerang, dan Bekasi.

Sedangkan aset yang terverifikasi berupa gedung Bank Servitia di Surabaya, kantor Bank Servitia di Tebet, Jakarta, tanah dan rumah seluas 360 meter persegi di Jalan Senopati, Jakarta. Satu lagi aset gudang David di kawasan Duren Sawit, Jakarta.

Kemungkinan melacak aset David di luar negeri tampaknya sulit. Selain kejaksaan tak memiliki sinyal tempat tumpukan kekayaan David, selama di luar negeri ia hanya mondar-mandir menyelamatkan diri dari kejaran polisi.

Ketika ia bermukim di Singapura, misalnya. Di Negeri Singa itu David sepanjang 5 Maret sampai 27 Desember 2004 sibuk mengurus visa multientry jenis B1/B2 di kedutaan besar Amerika Serikat. Dengan visa itu ia berkelana ke kompleks Sultan Abubakar, Tanjung Kupang, Malaysia.

Dari Malaysia, David yang punya nama lain Eng Tjuen Wie ini melanjutkan pesiarnya ke Hong Kong , Macau, dan Cina, terutama di Beijing dan Nanjing. Ia sempat ke Australia. Tak betah di Negeri Kanguru, pada 28 Desember 2005 David melanglang ke Amerika Serikat. Ia ditangkap FBI di San Francisco dan dibawa ke Jakarta pada 17 Januari 2006.

Direktur Pusat Kajian Antikorupsi Universitas Gadjah Mada, Denny Indrayana, menyesalkan putusan hakim PK. Seharusnya, kata dia, majelis hakim tidak mengurangi hukuman koruptor. Apalagi diketahui aset yang dijadikan jaminan untuk mengembalikan uang yang dikemplang menyusut drastis. ”Bagi koruptor ini menyenangkan,” katanya.

Itulah, Denny menambahkan, penyebab koruptor di Indonesia sulit ditumpas. ”Aparat hukum sangat lemah dalam memerangi korupsi.” Pengacara David, Agustinus Hutajalu, menolak berkomentar atas berkurangnya hukuman kliennya. ”Saya belum menerima salinan putusan hakim,” ujarnya singkat.

Sunariah, Martha Warta, Iqbal Muhtarom

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus