DI ruang operasi, para ahli bedah bingung. Operasi jantung yang mulanya dinilai sukses tiba-tiba berbalik. Pasien meninggal bukan lantaran kegagalan operasi, melainkan karena serangan kuman pseudomonas. Aneh, padahal pasien sudah disuntik antibiotik. Di ruang praktek, para dokter juga pusing. Seorang pasien tidak sembuh-sembuh juga walau sudah diobati. Antibiotik yang diberikan rasanya tidak mungkin salah, karena sudah bertahun-tahun obat itu terbukti mujarab. Mengapa? Jawaban bagi teka-teki itu muncul di pertemuan tahunan Ikatan Ahli Mikrobiologi Klinik yang diselenggarakan di Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, Surabaya, Senin pekan lalu. Pertemuan yang dihadiri 250 pakar mikrobiologi itu mengumumkan, sejumlah mikroba penyebab penyakit kini kebal terhadap beberapa antibiotik. Kesimpulan ini digariskan berdasar pengujian tujuh jenis antibiotik yang paling banyak digunakan di sembilan kota besar di Indonesia. Melihat kenyataan itu, para ahli menyerukan perlu disusun pedoman penggunaan antibotik. "Kami sangat berharap seruan ini sungguh-sungguh diperhatikan," ujar seorang pakar yang tak mau disebutkan namanya. "Kalau tidak, ledakan dalam beberapa tahun mendatang tak akan bisa dikendalikan." Dr. Pratiwi Soedarmono, ahli mikrobiologi klinik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, membenarkan pendapat rekannya. "Imbauan memang perlu mendapat tekanan, karena kebanyakan klinik cenderung mengabaikan laporan penelitian laboratorium," katanya. Menurut Pratiwi, yang juga ahli rekayasa genetik, di masa kini resistensi atau munculnya kembali manifestasi penyakit akibat kebalnya mikroba penyebabnya adalah ancaman yang sangat serius. Di seluruh dunia ditemukan berbagai jasad renik yang melakukan mutasi hingga menjadi kebal, bahkan lebih tangguh. "Regenerasi ini ternyata sangat cepat seperti deret ukur," ujar Pratiwi, "sementara penemuan antibiotik baru sangat lambat." Keadaan ini semakin menggawat, karena beberapa kuman yang menjadi kebal adalah penyebab penyakit yang banyak penderitanya. Umpamanya kuman Salmonella typhosa penyebab penyakit tifus. Para pakar mikrobiologi menemukan bahwa kuman ini sudah kebal terhadap chloramphenicol, antibiotik yang terdapat pada obat kemicitine andalan penangkal tifus. "Padahal, dulu Salmonella typhosa sensitif 100% terhadap chloramphenicol, sehingga kemicitine bisa menyembuhkan tifus dengan tuntas," ujar Pratiwi. Sekarang untuk menghadapi tifus, para dokter terpaksa mencari antibiotik lain. "Ada juga resistensi yang kasuistis," ujar Pratiwi, "seperti menjadi kebalnya bakteri E.Coli penyebab disentri basiler terhadap tetracyclin." Bakteri ini tidak langsung menjadi kebal. Sifat resisten baru muncul apabila tetracyclin pernah diberikan secara berlebihan, misalnya pada seorang wanita untuk mengobati jerawatnya. Bakteri E.Coli yang bermukim di alat pencernaan wanita ini pun menjadi kebal. Ketika wanita itu terserang disentri, para dokter bingung karena tetracyclin tidak efektif. Mengapa sejumlah mikroba tiba-tiba resisten terhadap antibiotik ? Banyak hal memang masih misterius. Sangat mungkin ini bagian dan proses evolusi yang panjang-dan sangat menakutkan bila sesungguhnya terjadi. Namun cara pemakaian antibiotik ikut membentuk keadaan itu. Terlampau banyaknya penggunaan antibiotik, menurut Pratiwi, adalah salah satu penyebab mengapa sejumlah kuman menjadi resisten. Ketua IAMKI yang juga ahli mikorbiologi FK Universitas Padjadjaran, dr.Imam Supardi mengungkapkan, penyebab lainnya adalah pemakaian yang kurang tepat. Misalnya penggunaan yang terus menerus. Untuk mencegah keadaan menjadi lebih parah, pertemuan IAMKI yang di Surabaya itu mengimbau agar para klinisi mau mengkonsultasi para laboran bila menghadapi masalah antibiotik. Di negara maju kerja sama ini sudah mentradisi. Laboratorium adalah tempat di mana klinikus menentukan diagnosanya. Diah Purnomowati (Jakarta), Wahyu Muryadi (Surabaya)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini