SUDAH sejak zaman Hippocrates alergi menjadi persoalan yang merepotkan manusia. Dua ribu tahun lalu, Filsuf Lucretius telah menyatakan bahwa makanan yang enak bagi seseorang bisa jadi racun bagi orang lain. Bisa diartikan, makanan itu aman bagi si Polan, tapi membangkitkan reaksi alergi pada kawannya. Karena pilih kasih begitu, alergi pernah dianggap kutukan dewa yang berlaku turun-temurun. Reaksi alergi pada kenyataannya memang kelainan yang diturunkan - herediter. Masalah pelik yang misterius sepanjang masa itu akhirnya tersingkap juga di tahun 1966. Dr. Teruko Ishizaka bersama suaminya, Kimiskige, menemukan penyebab alergi, yaitu sejenis protein darah, yang dikenal sebagai imunoglobulin, khususnya imunoglobulin E (Ig E). Toh kedua sarjana Amerika keturunan Jepang itu tak mampu menemukan cara efektif mengatasi alergi, yang tetap gelap sampai kini. Karena itu, 15 juta orang Amerika masih harus bersin setiap pagi karena alergi. Atau, yang lebih serius, 4.000 lainnya tewas akibat asma. Asma dan bersin pada pagi hari adalah contoh reaksi alergi. Reaksi alergi sendiri sebetulnya merupakan bagian dari reaksi pertahanan tubuh (imunitas) yang berlebihan terhadap berbagai benda asing. Benda itu bisa debu, bulu kucing, atau zat tertentu pada makanan. Reaksi pertahanan yang overacting ini merugikan, karena menimbulkan berbagai reaksi aneh yang mengganggu dan kadang-kadang berbahaya. "Benda asing yang menimbulkan reaksi alergi dikenal sebagai alergen," kata Dr. Santoso Cornain, D.Sc. Ahli imunopatologi ini adalah salah seorang pimbicara Simposium Alergi di Hotel Sahid Jaya, Sabtu pekan lalu. Pertemuan ahli yang diselenggarakan RS PT Pelni dalam rangka memperingati ulang tahunnya yang ketujuh puluh itu dihadiri sekitar 250 dokter dari berbagai keahlian. Di depan para dokter itu Cornain mengungkapkan adanya lima jenis reaksi alergi. Salah satu bentuk yang populer adalah reaksi alergi tipe I alias alergi anakfilaksis tipe cepat, yang muncul dalam waktu 60 detik sampai sekitar 10 menit, dan baru mereda setengah sampai dua jam kemudian. Reaksi tipe cepat ini terjadi karena alergen merangsang imunoglobulin E menjadi aktif. Imunoglobulin ini kemudian merangsang sel Mast (yang banyak terdapat pada lapisan kulit) dan sel-sel Basofil dalam darah, untuk melepaskan senyawa kimia tubuh seperti histamin, prostaglandin. Lebih lanjut, senyawa yang dilepaskan ini mengakibatkan pelebaran pembuluh darah (vaso dilatasi), juga mengerutnya otot polos. Pelebaran pembuluh darah inilah yang mengaitkan munculnya bintik-bintik merah di kulit yang disertai rasa gatal. Sementara itu, kontraksi otot polos mengakibatkan sesak napas. Alergen berupa debu rumah, jamur, dan serbuk tepung sari, mengaktifkan imunoglobulin lain. "Pada alergen kelompok debu rumah ini, yang lebih berperan adalah Ig G, yang kemampuannya melepaskan senyawa tubuh di bawah kemampuan Ig E," ujar Santoso. Ig G dan Ig E sendiri sebenarnya merupakan bagian dari lima globulin yang terdapat dalam tubuh - tiga yang lain adalah Ig A, Ig D, dan Ig M. Dari semua globulin itu, Ig E-lah pembangkit reaksi alergi paling keras. Para peneliti menemukan bahwa pada mereka yang punya "bakat alergi", kadar Ig E dalam darah mereka ratusan kali lipat dari kadar Ig E orang normal. Dalam keadaan normal, jumlah Ig E yang dihasilkan oleh sel limfosit B - salah satu bagian dari bermacam-macam sel darah putih--dikontrol limfosit T. Artinya, Ig E yang dikeluarkan limfosit B juga merangsang limfosit T. Dengan demikian, produksi Ig E dalam tubuh berimbang. Namun, pada mereka yang berbakat alergi, Ig E tidak terkontrol. Pembicara lain, Dr. Syawitri Siregar, dari SubBagian Imunologi Bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUI/RSCM, memaparkan banyaknya kasus alergi pada anak-anak, seperti alergi akibat telur, gandum, kacang-kacangan, dan susu sapi. Semuanya itu, menurut Syawitri, bisa muncul dalam dua jenis alergi: Jenis yang cepat -- muncul sekitar 2 jam setelah makan - ataupun jenis yang lambat, yang timbul 2 jam sampai 2 hari setelah makan. epotnya, meski tipe kedua yang lambat itu - jumlahnya seratus kali lebih banyak dari yang jenis cepat, ia jarang disadari oleh penderita ataupun oleh dokternya sendiri. "Akibatnya, sebagian besar penderita alergi makanan Jenis lambat ini tidak terdiagnosa seperti gunung es di dasar lautan," kata Syawitri. Adapun gejala yang sering muncul pada alergi makanan ini bisa bervariasi. Pada alergi akibat susu sapi, misalnya, sering muncul gejala berupa muntah, diare, konstipasi (sembelit), eritema (kemerahan) pada kulit, hidung tersumbat, pilek, bengek alias asma, dan menangis tengah malam. Susu sapi agaknya termasuk biang kerok yang patut dituding pertama kali dalam soal alergi makanan. Di Amerika, kata Syawitri, susu sapi merupakan 65% penyebab alergi, sementara cokelat, minuman cola, jagung, dan kacang-kacangan tetap berperan besar. Oleh karenanya, bila hendak menghindari alergi itu. Dara ahli menyarankan agar membatasi makanan tadi. Biasanya, setelah 4 sampai 11 hari pasien puasa terhadap makanan tersebut, gejala alerginya akan hilang. Selain kedua pembicara, simposium yang juga dihadiri Dirjen Pelayanan Medik dr. Mohamad Isa dan Ketua IDI dr. Kartono Mohamad itu menampilkan sejumlah pembicara lain. Berbagai aspek mengenai alergi dipaparkan secara gamblang dan lengkap. Mulai alergi dalam bidang penyakit THT, saluran napas bagian bawah, alergi pada mata, sampai pada tata laksana menghadapi kejutan anakfilaksis, akibat alergi obat yang mematikan. Simposium ini bisa dikatakan pertemuan ilmiah terlengkap tentang alergi dalam beberapa tahun terakhir. Semua reaksi alergi dimasalahkan, kecuali satu: alergi terhadap kritik. Syafiq Basri dan Indrayati
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini