BANYAK obat untuk menyembuhkan nyeri, seperti Naspro, Bodrexin, Neoflu. Semua bisa dibeli bebas, di warung-warung pojok sekalipun. Namun, tak banyak yang mengetahui bahwa obat yang mengandung asetosal itu punya efek negatif. Senyawa turunan asam salisilat ini sering kali menyebabkan gangguan saluran pencernaaan - terutama bagi orang yang peka terhadap asetosal. Misalnya, rasa mual, muntah-muntah, sampai terjadinya pendarahan lambung. Asetosal yang sudah digunakan sejak 1899 itu, dalam lima tahun terakhir ini, sudah disaingi sejenis obat lainnya yang lebih aman. Itulah o-etoksibenamida (EB) yang, seperti asetosal, tergolong analgetika (penyembuh rasa nyeri) turunan asam salisilat. Bahan itu terkandung pada obat, misalnya: Ina, Stop Cold, Contracol. Dibandingkan asetosal, EB lebih aman karena tiada efek samping seperti pada asetosal dalam dosis tertentu. Selain itu, EB sebenarnya memiliki potensi lebih kuat untuk menghalau rasa nyeri, bisa tiga kali lipat daya asetosal. Tapi, reaksi EB terhadap nyeri kurang cepat. Sebab, bahan yang sudah diproduksi dalam negeri ini ternyata sukar larut dalam air. Selain itu, tegangan antara muka dan air sangat besar. Hal ini menunjukkan bahwa penyerapannya dalam saluran pencernaaan pun tidak baik. "Kecuali, obat yang mengandung EB bercampur kofeina," kata Tejo Yuwono, dosen Fakultas Farmasi Gama yang meraih gelar doktor di bidang Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam ITB, pekan lalu. Tedjo Yuwono, 46, yang lulus dengan predikat memuaskan itu mempertahankan disertasinya yang berjudul Pengaruh Kofeina terhadap Kelarutan dan Ketersediaan Hayati 'o-Etoksibenzamida' pada Tikus Jantan. Tikus putih kecil, sering disebut mencit, menurut Yuwono, bisa disamakan dengan manusia. Di Amerika pun, tuturnya, suatu jenis obat tak bolth diedarkan sebelum dicobakan pada mencit. Dalam penelitiannya, yang dimulai sejak 1979 dengan bantuan biaya dari Departemen P dan K sebasar Kp 940.000 itu, ia menggunakan 60 ekor tikus betina untuk mengetahui daya analgetika EB. Dan 75 ekor tikus jantan untuk mengetahui pengaruh kofeina terhadap ketersediaan hayati EB. Kesimpulan penelitian Yuwono, ternyata EB dapat ditingkatkan kelarutannya dalam air dengan menambahkan kofeina Kecepatan pelarutan ini juga menyebabkan meningkatnya ketersediaan hayati EB. Dibandingkan dengan EB yang tidak ditambahi kofeina, menurut penelitian Yuwono, kadar EB yang dibubuhi kofeina ternyata lebih lama tersedia di dalam plasma darah. Tanpa kofeina, sediaan EB sudah turun kira-kira 20 menit setelah pemberian, atau fase penyerapan hanya berlangsung sekitar 20 menit. Sedangkan sediaan EB yang dicampuri kofeina dapat berlangsung selama 60 menit. Ini berarti EB bisa lebih mantap menghajar rasa nyeri. Tapi, "Penambahan kofeina tidak menaikkan daya analgetika otoksibenzamida, bahkan cenderung menurunkannya, ujar Yuwono. Misalnya, pada kelompok mencit B yang diberi kofeina 2 mg/kg berat badan, EB dengan kadar 20 mg/kg berat badan masih memberikan daya anlagetika 42,1%. Tapi, mencit yang diberi kofeina 10 mg/kg, daya analgetikanya hanya 3,2%. Memang, dalam hal ini Yuwono tidak mencari kadar kofeina optimum yang mampu menghasilkan daya analgetika paling besar. Menurut pembimbingnya, Kosasih, ahli kimia farmasi bergelar master dari Universitas Michigan dan doktor dari ITB itu, Yuwono telah menemukan konsentrasi turkecil dari kofeina untuk meningkatkan penyerapan EB. Itu akhirnya memberi ilham bagi pembuat obat, "Bahwa penambahan zat tertentu memang bisa meningkatkan daya serap terhadap obat, kendati akibatnya bisa jadi mengurangi khasiat obat itu sendiri," katanya. Yuwono pun menyadari bahwa mekanis me pengaruh kofeina terhadap daya analgetika EB masih belum jelas, sehingga masih diperukan penelitian lanjutan -- termasuk pengaruh kombinasinya. Setidaknya, dari hasil penelitian itu, kini lebih gamblang bahwa obat nyeri dari bahan EB lebih baik ketimbang asetosal yang kabarnya akan dilarang. Suhardjo Hs. Laporan Slamet Subagyo (Yogyakarta) & Farid Gaban (Bandung)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini