TAS-tas pasukan detailmen sekarang persisr mulai 11 Juni berselang - tak lagi dilengkapi contoh-contoh obat yakni sample yang lazim dlperagakan dalam rangka promosi. Peran penjaja obat itu pun mungkin akan banyak berkurang. Ada apa? Menteri Kesehatan dr. Suwardjono Surjaningrat menilai bahwa contoh obat yang selama ini dibagikan untuk dokter, telah jauh menyimpang dari tujuannya. Maka, tanpa kecuali, semua pabrik farmasi dilarang memproduksi lagi sample obat. Kalaupun ada sisa persediaan hanya boleh diberikan kepada dokter dalam waktu cnam bulan ini saja. Menurut Direktur Pengawasan Obat Slamet Soesilo, Depkes mengeluarkan SK itu setelah melihat penyalahgunaan praktek promosi selama ini. Sejak penghapusan contoh obat, Depkes menetapkan bahwa informasi tentang obat dapat disalurkan melalui leaflet, brosur, majalah ilmiah, dan seminar ilmiah. "Informasi itu hendaknya diberikan seimbang. Artinya, tidak hanya sekadar menawarkan obat yang mereka produksi saja. Tapi juga perlu dijelaskan masalah kontraindikasinya. Masyarakat supaya betul-betul dapat manfaat dari promosi itu," demikian Soesilo. Pertimbangan lain dari keputusan itu adalah untuk menekan harga jual obat. oepkes melihat bahwa salah satu faktor yang membuat harga obat mahal ialah adanya biaya untuk contoh obat. Secara rata-rata, menurut Slamet Soesilo, contoh obat biasanya menyedot dana sampai 5% dari total biaya. "Tapi kalau itu produk baru, contoh obat ini bisa lebih banyak dari yang dijual, dan biaya yang tersedot pun makin banyak. Akibatnya, harga obat yang jatuh di tangan konsumen jadi mahal," katanya tandas. Amir Basir, Ketua Umum Gabungan Pengusaha Farmasi (GPF), membenarkan bahwa dengan hapusnya contoh obat, maka biaya produksi akan berkurang. "Tapi itu hanya sebagian dari biaya promosi. Sebab, biaya promosi untuk obat-obat paten bisa mencapai 20% dari komponen harga obat," katanya. Untuk obat baru, biaya sample tentu lebih besar. Menurut tokoh GPF ini, promosi dengan contoh obat sekarang ini memang sudah terasa berlebihan. Jadi, perlu dibatasi. Cuma masalahnya, bagaimana untuk memperkenalkan obat baru jika tanpa contoh. Sebab, kalau hanya memakai leaflet atau keterangan saja, jelas masih belum cukup. "Kami minta supaya obat baru masih diberi dispensasi contoh obat," kata Amir Basir. Bagi pabrik obat semacam Squibb, lahirnya keputusan Depkes itu dirasakan sebagai pukulan berat. Terutama untuk produk baru. Padahal, untuk memperkenalkan produk baru, rata-rata pabriknya mengeluarkan contoh obat unruk 250 dokter. Dan ini menghabiskan biaya sekitar 40% dari harga pokok obat. "Promosi dengan sample merupakan cara paling efektif dan efisien. Sebab, dokter dapat langsung melihat, meraba, dan mencoba," begitu alasan Anis Gunawan, manajer pemasaran PT Squibb Indonesia. Ia menilai penghapusan sistem ini sebagai hal yang tak wajar. Di sampin itu, benarkah penghapusan contoh obat langsung mengakibatkan penurunan harga obat? Tentang ini tidak semua produsen sepakat. "Saya kira sulit untuk menurunkan harga obat hanya dari satu faktor itu saja. Soalnya, banyak faktor yang mempengaruhi. Dan itu tak dapat kami jelaskan," kata Anis bersemangat. Jika dibandingkan dengan harga di Malaysia dan Singapura, harga obat di Indonesia termasuk yang paling tinggi. Harga Eceran Tertinggi (HET) di Malaysia dan Singapura hanya mencapai 130% dari harga jual pabrik. Di Indonesia HET dapat mencapai 175%. Menurut Amir Basir, tingginya harga obat di Indonesia perlu dimengerti bersama, mulai dari produksinya hingga sampai di tangan pasien. "Misalnya, harga bahan baku impor, yang biasa dibeli dengan mata uang dolar, yang tertindih yen dan DM, membuat impor bahan dari Jepang dan Jerman mau tak mau harus dibayar lebih tinggi," katanya. Tak hanya itu. Dilihat dari rantai tata niaganya, distributor ditentukan menjual 22,5% lebih tinggi dari harga jual pabrik. Seperti PT Tempo, untuk menjual di berbagai daerah dengan harga yang sama, ia harus menanggung risiko kerusakan dan biaya transportasi. Sedangkan apotek, ternyata, mendapat jatah lebih besar, yaitu boleh menjual 75% lebih tinggi dari harga jual pabrik. Alasannya, apotek akan menanggung risiko jika obat tak laku. Berdasarkan catatan, dari omset obat yang US$ 500 juta setahun, hanya setengahnya terjual melalui 2.000 apotek yang tersebar di seluruh Indonesia. Artinya, tiap apotek omsetnya rata-rata sekitar Rp 12 juta per bulan. Sekalipun begitu, Depkes tampaknya akan melihat hasil kebijaksanaan baru itu lebih dulu, yang diperkirakan dapat menekan 5% dari harga obat selama ini. Tapi tidak sedikit yang memperkirakan bahwa keputusan 11 Juni belum tentu efektif. Kalaupun efektif, harga obat di Indonesia tampaknya masih tetap lebih tinggi dari harga di Singapura dan Malaysia. Mengapa begini, agaknya hanya Depkes yang tahu jawabnya. Gatot Triyanto, Laporan Antosiasmo (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini