Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Penjualan obat aborsi makin marak berkat Internet.
Cytotec dan Gastrul paling populer sebagai peluruh janin.
Obat tukak lambung yang dosisnya dimodifikasi untuk mematangkan serviks.
SEPANJANG 2015, Kementerian Komunikasi dan Informatika menutup 300 ribu situs web yang menjual obat ilegal, penjual obat peluruh kandungan yang paling banyak. Pembekuan tersebut dilakukan atas aduan Badan Pengawas Obat dan Makanan. Namun menutup situs seperti menggantang asap: ditutup satu tumbuh seribu. Hingga hari ini, situs-situs yang menjajakan obat aborsi itu masih menjamur. Terakhir, pada 2017-2019, Kementerian Komunikasi menutup 96 situs yang terang-terangan menjual obat aborsi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Penegakan hukum juga tak membuat para pelaku jera. Pada Oktober tahun lalu di Malang, Jawa Timur, polisi meringkus jaringan obat aborsi yang berjualan di Facebook. Pemimpin jaringan itu seorang karyawan sebuah perusahaan distributor obat untuk rumah sakit dan apotek di kota tersebut. Mereka mendapat untung Rp 40 ribu per butir Cytotec. Ini jenis obat paling populer untuk aborsi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di Klaten, Jawa Tengah, polisi membekuk Agung Nugroho, yang juga diduga menjadi otak penjualan Cytotec di media sosial. Di Facebook dan Line, bersama Annisa Puspita Sari, ia mengelola akun “Nindira Kurnia Wati”. Ia mencantumkan nomor telepon yang bisa dibaca 1.004 pengikutnya. “Saya mulai berdagang pertengahan 2018,” kata Agung kepada Tempo di Kepolisian Resor Klaten, Juni 2019.
Dalam menjalankan bisnis itu, Agung berpura-pura menjadi dokter, sementara Annisa sebagai asistennya. Ia menjual paket obat seharga Rp 800 ribu-2 juta. Tiap paket berisi lima-sepuluh butir obat, tergantung usia kehamilan. Tarif itu naik menjadi Rp 11 juta jika konsumennya meminta tindakan bidan. Agung dibantu “bidan” Ariyanti, yang sehari-hari bekerja di kantor Kecamatan Ceper, yang dibayar Rp 1 juta per tindakan. “Saya cuma tempat buangan Agung,” ujar Ari.
Agung mengaku mendapatkan obat-obat aborsi itu dari pedagang online di Instagram dan Twitter. Dari keterangan Agung, Tempo menelusuri akun-akun pemasok obat aborsi yang disebutkannya. Agus salah satunya. Melalui telepon, ia mengatakan biasa menjual Cytotec dengan jumlah banyak seharga Rp 60 ribu per butir. Padahal, di apotek, harga eceran tertinggi Cytotec hanya Rp 45 ribu.
Di tangan Agung Nugroho, obat itu dijual kepada konsumen Rp 100 ribu per butir. Hingga ditangkap, ia mengaku baru menjual tiga paket yang berisi sepuluh butir per paket. Tapi penyelidikan polisi menemukan Agung sesungguhnya sudah berhasil menjual lebih dari seratus paket.
Toh, penangkapan-penangkapan penjual obat ilegal tak menyusutkan penjualan obat aborsi. Setidaknya hingga penelusuran Tempo selama dua bulan pada akhir tahun lalu. Cytotec, yang diproduksi raksasa obat Pfizer, berseliweran dijajakan di media sosial. Di Indonesia, izin edarnya dipegang PT Ethica Industri Farmasi. Ada juga Gastrul. Kedua obat itu mengandung zat misoprostol, yang berfungsi meluruhkan kandungan.
Para penjual obat itu punya modus serupa. Seperti Agung Nugroho di Klaten, umumnya mereka mengaku sebagai dokter atau bidan untuk meyakinkan konsumen. Targetnya mahasiswa atau perempuan yang hamil tapi tak menginginkannya. Salah satunya Yulianti, 31 tahun. Bersama pasangannya yang tinggal di Jakarta Selatan, karyawan perusahaan swasta ini mendapatkan obat peluruh janin dari Internet. “Kami cari yang tutur bahasanya paling rapi untuk menghindari penipuan, karena uangnya gede,” ucapnya.
Pilihan jatuh pada seorang pedagang yang menjajakan obat aborsi di situs yang memberikan jaminan uang kembali jika aborsi gagal. Proses transaksi layaknya berbelanja di Internet: pembeli memesan barang melalui WhatsApp, lalu mentransfer Rp 920 ribu ke sebuah rekening. Yulianti tak ingat persis alamat yang dicantumkan pengirim dalam kemasan obat. “Kalau tidak salah, dari Jakarta Timur atau Bekasi,” katanya.
Dalam paket tersebut, tak ada instruksi mengenai cara pemakaian obat-obatan ini. Selain itu, ada beberapa obat yang kemasannya sudah tak ada alias datang dalam bentuk kapsul dan tablet telanjang. “Ada tablet segi lima yang jumlahnya cuma tiga biji, sisanya obat warna putih yang saya duga parasetamol, dan ada satu lagi jenis obat yang bisa saya pastikan amoksilin,” tutur Yulianti. Tablet segi lima itu Cytotec.
Karena merasa janggal, ia segera menghubungi nomor penjual untuk meminta petunjuk pemakaian. Si penjual hanya mengatakan satu obat segi lima dimasukkan ke vagina, dua sisanya diminum. Yulianti menurut. “Belakangan saya baru tahu itu penipuan,” ujar Yulianti. “Dosisnya salah, cara pemakaiannya keliru.”
Kandungannya tak luruh. Bayinya terus tumbuh di dalam rahimnya. “Cuma flek sebentar, tapi enggak ada efek apa pun,” ucap Yulianti. Penjual obat yang ia hubungi hanya menyarankannya bersabar karena, kata dia, banyak pasien yang merasakan khasiat obat yang ia jual setelah dua hari. Setelah itu, boro-boro mendapatkan uangnya kembali, ia tak bisa lagi menghubungi penjual tersebut karena nomornya ditangkal.
Terdesak oleh kandungan yang tumbuh, Yulianti mencari penjual lain obat aborsi, juga secara online. Dari seorang penjual, ia mendapat arahan membeli kembali Cytotec. Kali ini dosisnya lebih banyak. Kali ini ampuh. Kandungannya yang sudah berusia delapan minggu luruh.
Tempo membawa cerita Yulianti, juga modus-modus penjualan obat ilegal yang terungkap, kepada Sekretaris Jenderal Pengurus Pusat Ikatan Apoteker Indonesia Noffendri. Ia menjelaskan, misoprostol dalam Cytotec atau Gastrul sesungguhnya obat tukak lambung. Obat ini ampuh menjadi penggugur janin, dia menjelaskan, karena memicu kontraksi pada rahim. Dengan dosis tertentu, obat ini bisa mematangkan serviks sehingga janin siap lahir. Para dokter, Noffendri melanjutkan, juga memakai obat ini untuk menginduksi persalinan dalam keadaan sangat terpaksa dengan dosis rendah.
Dokter spesialis kebidanan dan kandungan Rumah Sakit Pondok Indah, Ni Komang Yeni Dhana Sari, mengatakan para dokter kandungan jarang memakai misoprostol untuk induksi. “Obat yang biasa dipakai yang lain karena risiko komplikasinya lebih rendah,” tuturnya. Meski begitu, pemakaian obat-obatan ini diawasi dengan ketat oleh dokter dan hanya di lingkungan rumah sakit untuk pasien rawat inap.
Yeni tak menyarankan obat yang mengandung oksitosin atau misoprostol dikonsumsi dengan dosis ngawur karena efek sampingnya sangat berbahaya. Akibat fatal pemakaian perangsang adalah kontraksi otot rahim yang terlalu kuat sehingga rahim bisa robek dan menimbulkan perdarahan hebat berujung pada kematian. Bayi yang lahir dengan dirangsang obat-obat jenis ini dalam dosis tinggi umumnya terkena mikrosefalus atau kelainan kepala kecil. “Pada kasus lain menyebabkan alergi hingga tersumbatnya pernapasan,” ujarnya.
Pada November 2019, Badan Kesehatan Dunia (WHO) mempublikasikan evidence brief pencegahan aborsi tidak aman. Menurut publikasi tersebut, sepanjang 2010-2014, ada sekitar 7 juta aborsi tidak aman setiap tahun yang berujung pada komplikasi. Di negara berkembang seperti Indonesia, sekitar 220 dari 100 ribu aborsi tidak aman berujung pada kematian. Dalam dokumen tersebut, WHO memberikan panduan mengenai tata laksana yang harus dijalankan dokter untuk mengatasi komplikasi yang disebabkan oleh perdarahan berlebih, infeksi, dan cedera organ dalam.
WHO juga mempublikasikan panduan aborsi aman memakai obat-obatan. Syarat aborsi dengan obat ini antara lain adanya supervisi dari tenaga medis terlatih. Menurut Yeni, panduan itu hanya untuk dokter karena hukum di Indonesia melarang aborsi. Dalam Undang-Undang Kesehatan, aborsi hanya boleh dilakukan terhadap korban pemerkosaan atau ada indikasi medis yang diperkuat keterangan tiga dokter ahli.
Karena itu, para apoteker wajib mengkonfirmasi kepada dokter jika ada pasien yang hendak membeli obat untuk aborsi. Masalahnya, menurut Noffendri, banyak celah yang diakali para penjual obat ilegal agar lolos dari jerat aturan. Salah satunya pemilik apotek membeli langsung ke distributor tanpa diketahui apoteker penanggung jawab atau memaksa apoteker memesan obat-obatan tertentu yang sebetulnya bukan kebutuhannya. Obat-obatan ini lalu disimpan sendiri oleh pemilik apotek, tidak dimasukkan ke penyimpanan, lalu dijual secara online.
Celah lain datang dari pedagang besar farmasi. Christian, distributor obat yang meminta namanya disamarkan, mengatakan obat-obat aborsi masuk ke pasar gelap karena penjual dari pedagang besar farmasi memasoknya akibat dikejar target penjualan. “Obat yang semestinya disalurkan ke rumah sakit atau apotek akhirnya disalurkan ke toko obat secara ilegal dengan memalsukan faktur pemesanan,” katanya.
Karena itu, Christian melanjutkan, peredaran obat secara online sebenarnya hanya perluasan pemasaran offline. Pasar gelap obat aborsi masih marak, terutama di pasar obat murah, seperti di Pasar Pramuka, Jakarta Timur. Di pasar ini, para penjaja obat langsung “menembak” mereka yang datang ke sana dengan pertanyaan menohok, “Neng, cari Cyto, ya? Gastrul juga ada,” ujar Rian, seorang calo obat, kepada Tempo. Cyto adalah kependekan dari Cytotec.
Rian menawarkan paket-paket Cytotec. Satu paket obat yang bisa menggugurkan kandungan secara tuntas berisi sepuluh butir dihargai Rp 1,2 juta atau Rp 120 ribu per butir. Menurut Rian, kendati tak tentu, tiap bulan selalu saja ada konsumen yang membeli obat ini melalui dia. Pada awal tahun, ketika aborsi marak, ia bisa menjual obat itu kepada sepuluh perempuan sehari.
Di Pasar Pramuka, ada belasan pemuda seperti Rian yang menjadi calo obat aborsi. Mereka adalah pencari konsumen yang akan mengarahkannya ke toko obat di dalam pasar. Para calo mendapat komisi Rp 50 ribu per butir. Di pasar yang dikelola Perusahaan Daerah Pasar Jaya ini, terdapat 403 kios yang mengantongi izin operasi sebagai pedagang eceran obat (PEO).
Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 167/Kab/B.VII/72, PEO hanya diizinkan menjual obat bebas dan obat bebas terdaftar serta tak boleh menjual atau menerima pesanan obat dengan resep dokter. Bahkan mereka dilarang menyimpannya. Semua larangan itu agaknya dilanggar toko obat Pramuka.
Adriantono Malik—nama samaran—manajer di sebuah perusahaan farmasi, mengatakan ada cara yang biasa dipakai para salesman resmi untuk menjual obat langsung ke Pramuka. Mereka memakai pihak ketiga atau sales freelance yang berfungsi sebagai makelar dan penadah.
Sales freelance ini umumnya orang-orang yang sudah lama menjadi salesman di sebuah perusahaan pedagang besar farmasi (PBF), mengetahui celah permainan obat untuk mendapat keuntungan berlipat, lalu keluar dari perusahaan dan menjadi pemasar lepas. “Mereka tidak terikat PBF mana pun sehingga bisa menjual beragam jenis obat tanpa batasan,” tutur Malik. Mereka lalu mencari pemilik toko obat di Pramuka yang bersedia membeli produk dari pemasar yang sedang diburu target.
Badan Pengawas Obat dan Makanan menemukan modus lain: pedagang besar farmasi menyalurkan obat-obatan, termasuk obat yang mengandung misoprostol, memakai faktur apotek yang sudah tutup. Menurut Reri Indriani, yang saat itu menjabat Inspektur Utama BPOM, ada beberapa apotek resmi yang tutup tapi masih memesan obat ke pedagang besar farmasi. “Pemesanannya sangat banyak,” ujarnya.
Yoyon, Sekretaris Jenderal Himpunan Pedagang Farmasi Pasar Pramuka, menepis segala cerita dan bukti-bukti itu. Menurut dia, tak ada pedagang yang menjual obat aborsi ilegal seperti Cytotec atau Gastrul karena produksinya sudah dihentikan. Pernyataan Yoyon didukung PT Ethica Industri Farmasi, pemegang izin edar Cytotec. Melalui pernyataan tertulis kepada Tempo, mereka menyatakan telah menghentikan distribusi obat tersebut.
Di lapangan, klaim itu terpatahkan. Sebulan setelah pertemuan pertama dengan Rian, kami mengontaknya lagi menanyakan Cytotec dan Gastrul. Tanpa bertanya lagi, ia mengatakan kedua obat itu siap diambil. “Ke sini saja langsung, enam butir Rp 500 ribu,” ujarnya. Seorang apoteker juga mengatakan kedua obat lambung itu masih bisa dipesan di apoteknya. Data BPOM pun menyatakan Cytotec masih diizinkan beredar hingga 6 Juli 2020.
Karena itu, tak mengherankan jika penjualan secara online tetap berlangsung. Penjual obat online mengambil obat-obatan itu dari toko obat. Beberapa penjual terang-terangan menjajakan paket obat ini di Shopee atau Tokopedia. Mereka mencantumkan nomor telepon yang bisa dihubungi jika pelanggan tak ingin bertransaksi lewat aplikasi tersebut.
Teknik penjualannya sama dengan yang dijalankan dalam situs atau media sosial. Obat ini dijajakan seharga Rp 750 ribu-1,2 juta per paket yang berisi 8-12 butir. Dalam deskripsinya, penjual menyatakan obat ini berkategori herbal. Kami menghubungi seorang penjual obat aborsi pada Desember 2019. Ia mengaku bernama Wawan.
Ia menjelaskan, harga satu butir Cytotec Rp 70 ribu. Ia menjualnya dalam lima paket. “Sesuaikan saja dengan usia kehamilannya,” tuturnya. Paket tersebut ia jajakan seharga Rp 600 ribu-1,5 juta. Setiap paket terdiri atas Cytotec, antibiotik, dan obat pembersih Menurut Wawan, pencantuman deskripsi obat herbal adalah cara dia agar dagangannya tak ditolak pengelola toko online. Penjual lain, dia menambahkan, biasanya mencantumkan deskripsi obat diet.
Meski Cytotec dan Gastrul kurang populer sebagai obat mengatasi tukak lambung, impornya melonjak dalam tiga tahun terakhir. Pada 2017, jumlahnya mencapai 893 kilogram senilai Rp 20 triliun. Impor per tahun rata-rata 102 kilogram. Menurut Reri Indriani, BPOM tak punya data pasti jumlah Cytotec atau Gastrul yang beredar dan jumlah yang terserap apotek resmi. Alasannya, kendati BPOM tahu banyak penyalahgunaan obat ini, obat yang mengandung misoprostol tak masuk kategori diawasi.
Kelonggaran-kelonggaran itu membuat obat-obat ilegal aborsi marak di dunia nyata ataupun maya.
Dini Pramita
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo