Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Salah Kelola Limbah Berbahaya

Pengelolaan limbah bahan berbahaya dan beracun dari rumah sakit di Jawa Timur bermasalah dari hulu hingga hilir. Mengancam kesehatan masyarakat.

Liputan ini bagian dari program Investigasi Bersama Tempo 4 dan terselenggara berkat kolaborasi Tempo, WartaBromo, dan Free Press Unlimited.Logo 

 

18 Januari 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Tumpukan limbah medis di belakang gudang RSUD Bangil, Pasuruan, Jawa Timur./Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Rumah sakit di Jawa Timur memilih menjual limbah medisnya ke pengepul sampah plastik.

  • Melanggar aturan pengelolaan limbah B3.

  • Satu-satunya pabrik pengolah limbah B3 di Jawa Timur malah terindikasi mengolah limbah secara serampangan.

RIBUAN kantong bekas wadah infus menggunung di tempat penampungan sampah sementara Rumah Sakit Umum Daerah Bangil, Pasuruan, Jawa Timur, November 2019. Tidak jauh dari sana, tampak tumpukan kantong plastik besar berisi kantong bekas infus yang telah dipotong-potong menjadi lembaran yang siap diangkut. Beberapa bulan sekali pengepul sampah plastik datang untuk membeli sampah medis tersebut.

Sejumlah penampung mengambil sampah medis dari rumah sakit milik Pemerintah Kabupaten Pasuruan itu. Salah satunya pabrik pengolahan plastik CV Alam Jaya, yang beralamat di Kecamatan Sumbersari, Jember, Jawa Timur. “Kami mengolahnya menjadi timba. Sebagian kami jual ke pabrik daur ulang plastik,” ujar Yuli, pemilik CV Alam Jaya, saat dihubungi pada Jumat, 17 Januari lalu.

Penanggung jawab kesehatan lingkungan RSUD Bangil, Nabil, mengakui mereka menjual limbah medis tersebut. “Kami jual Rp 6.000 per kilogram. Uang itu masuk ke kas rumah sakit,” kata Nabil ketika ditemui di lantai dua kantor manajemen RSUD Bangil. Rata-rata dalam satu bulan RSUD Bangil menghasilkan sekitar 21 ribu kantong bekas wadah infus yang beratnya mencapai 300 kilogram.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sampah medis yang ditemukan di Tempat Pembuangan Akhir Kenep, Kabupaten Pasuruan, April 2019. TEMPO/Mochammad As'ad 


Nabil mengklaim limbah medis yang mereka jual bukan bahan berbahaya dan beracun (B3). “Kan, tidak ada darahnya,” ucapnya.

Rumah sakit lain juga menjual limbah medisnya. Misalnya Rumah Sakit Mitra Sehat Medika, Pandaan, juga di Pasuruan. Penanggung jawab kesehatan lingkungan Rumah Sakit Mitra Sehat Medika, Samsul, mengatakan mereka menjual kantong bekas wadah infus ke pengepul dengan harga Rp 4.500 per kilogram. Seperti Nabil, Samsul membantah anggapan bahwa kantong bekas wadah infus tergolong limbah B3. “Apalagi kantong-kantong bekas itu sudah kami sterilisasi dengan cara direndam cairan desinfektan,” tuturnya.

Ketua Asosiasi Pengusaha Sampah Indonesia Saut Marpaung mengatakan sebagian rumah sakit di Jawa Timur menjual plastik limbah medisnya kepada para pengumpul dan pengolah plastik. “Satu pabrik anggota saya yang di Jember saja menampung kantong bekas wadah infus dari sekitar 50 rumah sakit,” ujarnya. Pabrik yang dia maksud adalah CV Alam Jaya. Yuli dari CV Alam Jaya membenarkan informasi itu. “Saya ambil barang dari berbagai rumah sakit dari Surabaya hingga Banyuwangi,” katanya.


Para penampung sampah plastik menghargai kantong bekas wadah infus lebih tinggi dibanding sampah plastik lain. Sebagai perbandingan, harga botol plastik bekas wadah air kemasan, misalnya, rata-rata Rp 2.000 per kilogram. Harga kantong plastik lebih murah, Rp 500 per kilogram.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Petugas RS Medika Pandaan menunjuk­kan potongan wadah infus yang akan dijual, Agustus 2019.TEMPO/Mochammad As'ad

 

Kantong bekas wadah infus lebih mahal karena plastik wadah infus berjenis polietilena dengan kepadatan rendah. Plastik jenis ini tergolong bermutu tinggi karena kuat, tidak bereaksi terhadap zat kimia lain, serta mudah dibentuk ketika panas.

Persoalannya, kantong bekas wadah infus itu adalah limbah medis yang masuk kategori bahan berbahaya dan beracun. Peraturan Pemerintah Nomor 101 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Limbah Berbahaya dan Beracun menyebutkan salah satu jenis limbah B3 adalah limbah yang bisa menyebabkan infeksi atau menularkan penyakit. Hal tersebut dipertegas Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 56 Tahun 2015 tentang Tata Cara dan Persyaratan Teknis Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun dari Fasilitas Pelayanan Kesehatan. Kantong bekas wadah infus tergolong limbah medis yang berkarakter infeksius.

Berdasarkan data Kementerian Kesehatan, terdapat 400 rumah sakit di Jawa Timur. Dari jumlah tersebut, menurut Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, hanya 23 rumah sakit yang memiliki izin pengelolaan limbah B3. Artinya, terdapat 377 rumah sakit yang tidak memiliki izin pengelolaan limbah B3. Pemerintah mewajibkan semua rumah sakit yang tidak memiliki izin dan fasilitas pengelolaan limbah medis B3 bekerja sama dengan perusahaan pengelola limbah jenis itu. Tentu, rumah sakit mesti membayar jasa pengelolaan limbah tersebut.


Di Jawa Timur, hanya ada satu perusahaan yang memiliki izin pengelolaan limbah B3, yaitu PT Putra Restu Ibu Abadi atau PT PRIA. Perusahaan yang berlokasi di Desa Lakardowo, Kecamatan Jetis, Mojokerto, itu memiliki dua unit insinerator—alat pemusnah sampah yang menggunakan suhu tinggi untuk membakar sampah B3—berkapasitas masing-masing 300 kilogram per jam. Jika kedua mesin itu dihidupkan 24 jam tanpa henti, dalam satu hari PT PRIA mampu membakar 14,4 ton limbah medis. PT PRIA mematok biaya Rp 14 ribu per kilogram limbah B3.

Masalahnya, volume limbah medis B3 rumah sakit di Jawa Timur mencapai 39 ton per hari, jauh melebihi kapasitas PT PRIA. Jumlah tersebut belum mencakup limbah medis B3 yang dihasilkan fasilitas kesehatan lain, seperti klinik dan pusat kesehatan masyarakat. Sebagian limbah yang tidak terkelola itu yang lantas dijual atau dibuang begitu saja ke tempat pembuangan sampah. 

•••

PERSOALANNYA bukan itu saja. PT PRIA ternyata terindikasi mengolah limbah secara serampangan. Nursalim, tokoh warga Lakardowo, mencatat 50 warga Desa Lakardowo yang tinggal di sekitar pabrik pengolahan limbah B3 PT PRIA terjangkit sakit kulit. Gejalanya, muncul bercak-bercak merah pada kulit disertai gatal-gatal yang lajat. Pada tahap yang lebih akut, kulit menjadi bersisik. Sebagian korban adalah anak-anak. “Setiap tahun selalu ada puluhan orang yang sakit kulit. Itu terjadi setelah PT PRIA beroperasi,” kata Nursalim.

Menurut Nursalim, aktivitas pabrik yang berdiri di atas lahan seluas 3 hektare sejak 2010 itu diduga menyebabkan air sumur warga berubah menjadi keruh dan berbau sehingga tidak bisa diminum. “Padahal dulu jernih dan bisa dikonsumsi,” tuturnya. Akibatnya, warga terpaksa membeli air bersih untuk kebutuhan memasak dan minum. “Kalau untuk mandi, kami masih pakai air sumur karena terlalu mahal kalau beli.”

Tim dari Laboratorium Mitralab Buana mengambil sampel tanah dari lokasi di belakang PT Putra Restu Ibu Abadi, Desa Lakardowo, Mojokerto, Oktober 2019.TEMPO/Mochammad As'ad

 




  

Lokasi PT Putra Restu Ibu Abadi, November 2019.TEMPO/Mochammad As'ad

 

Tempo dan WartaBromo.com bersama PT Mitralab Buana menguji kandungan udara dan tanah di sekitar pabrik PT PRIA pada akhir Oktober tahun lalu. Dalam uji udara yang dilakukan selama satu jam, ditemukan sejumlah senyawa yang berpotensi mengakibatkan gangguan kesehatan. Senyawa yang teridentifikasi dalam pengujian tersebut antara lain sulfur dioksida dan karbon monoksida.

Makin dekat ke area pabrik, kandungan senyawa berbahaya di udara makin padat. Adapun uji sampel tanah di sekitar pabrik menemukan kandungan senyawa kimia berbahaya amonia, potasium, juga timah hitam atau timbal.

Direktur Lembaga Kajian Ekologi dan Konservasi Lahan Basah (Ecoton) Prigi Arisandi mengatakan pencemaran udara itu mungkin ditimbulkan oleh aktivitas pembakaran PT PRIA. Setiap kali pabrik beroperasi, asap hitam pekat mengepul dari cerobong pabrik. “Mungkin karena ada proses pembakaran yang tidak sempurna sehingga mencemari udara,” ucapnya.

Manajer Riset Ecoton Ndaru Setyorini mengatakan dia pernah melakukan riset di sekitar area pabrik PT PRIA pada 2016. Ia mengambil 12 sampel air tanah dan air permukaan yang diuji di Laboratorium Jasa Tirta. Hasilnya, air sumur warga dan air permukaan di sekitar area PT PRIA di atas ambang batas baku mutu air. “Pencemaran itu bisa saja terjadi dari lindi limbah abu batu bara dan limbah B3 lain,” ujarnya.


Posisi pabrik milik Tulus Widodo itu lebih tinggi dibanding daerah sekitar pabrik sehingga memungkinkan air dari area tersebut mengalir ke sumur warga. Berdasarkan pengukuran, PT PRIA memiliki ketinggian 63 meter di atas permukaan laut. Adapun area permukiman berada pada elevasi 41-52 meter di atas permukaan laut.

 

Rudy Kurniawan/Tempo


Juru bicara PT PRIA Group, Rudy Kurniawan, membantah pendapat bahwa pabriknya sumber pencemaran di Desa Lakardowo. Ia mengklaim PT PRIA telah mengikuti standar pengolahan limbah B3 dengan membakarnya di insinerator. “Kami melakukan uji emisi cerobong setiap tiga bulan,” katanya. Abu hasil pembakaran pun dibawa ke lokasi penimbunan milik PT Prasadha Pamunah Limbah Industri di Cileungsi, Bogor, Jawa Barat. Ia juga mengklaim perusahaannya memiliki instalasi pengolahan air limbah yang baik sehingga tidak mencemari air sumur warga.

Kepala Badan Lingkungan Hidup Jawa Timur Diah Susilowati mengatakan limbah medis B3 mesti diawasi secara ketat lantaran berbahaya bagi lingkungan dan kesehatan. Tapi instansinya sulit mengawasi karena jumlah tenaga pengawas tidak memadai. “Semua izin dari pemerintah pusat, tapi pemerintah pusat tidak turun ke lapangan,” tuturnya.

MOCHAMMAD AS'AD
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus