Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Jaap Kunst yang Terlupakan

LEBIH dari seratus tahun silam, Jakob “Jaap” Kunst menjejakkan kaki di Nusantara. Sarjana hukum kelahiran Groningen, Belanda, itu datang ke Hindia Belanda pada 1919 untuk menjalani tur bersama grup musiknya. Sementara dua rekannya kembali ke Belanda, Jaap, pemain biola, memilih tinggal di Indonesia. Usianya 28 tahun ketika dia terpikat pada gamelan Jawa dan memutuskan menyelami alat musik tersebut. Jaap juga mendokumentasikan alat musik tradisi lain. Ia pergi ke pelosok Jawa, Sumatera, Kalimantan, Nusa Tenggara, Bali, juga Papua. Jaap merekam bebunyian dari alat musik tersebut dengan silinder lilin dan piringan hitam, yang sebagian dipampang dalam pameran “Melacak Jejak Jaap Kunst: Suara dari Masa Lalu” di Museum Nasional, Jakarta, 28 November 2019-10 Januari 2020. Semangat Jaap, buku-buku yang ia terbitkan, dan segudang arsipnya menjadi cikal-bakal munculnya istilah “etnomusikologi”.

18 Januari 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Jaap Kunst, 1927. KITLV

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEKILAS tabung-tabung mungil itu mirip botol bumbu rempah kemasan yang dijual di supermarket. Tutupnya cokelat dengan label stiker yang sudah lusuh dan usang. Kita akan sadar bahwa itu alat rekam bila membaca tulisan di labelnya: “Edison Recording Blank”. Silinder lilin berumur hampir seabad itu milik Jakob “Jaap” Kunst, peneliti musik tradisi asal Belanda. Kunst sempat bekerja di Koninklijk Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen, yang kelak kantornya menjadi Museum Nasional, Jakarta Pusat. Di silinder itulah tersimpan bunyi-bunyi alat musik tradisi dan nyanyian khas daerah di Indonesia yang direkam Kunst selama ia tinggal di sini pada 1919-1934. Salah satunya suara nyanyian ratapan dari Nias Utara berjudul Boli-Boli yang direkam Kunst saat dia datang ke sana pada April 1930.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Nyanyian itu bisa kita dengarkan lewat tablet digital yang dipasang dalam pameran “Melacak Jejak Jaap Kunst: Suara dari Masa Lalu” di Museum Nasional pada 28 November 2019-10 Januari 2020. Pameran yang dikurasi Nusi Lisabilla Estudiantin itu memampangkan perjalanan Jaap Kunst sebagai etnomusikolog, dari saat ia tiba di Hindia Belanda pada 1919 hingga kembali ke Belanda 15 tahun kemudian. Selain menampilkan poster berisi narasi perjalanan hidup Kunst, pameran ini memuat silinder lilin, piringan hitam, rekaman video dan foto, serta sejumlah alat musik tradisi, seperti bundengan, yang bentuknya mirip kumbang kelapa raksasa. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Jaap Kunst dan alat musik tradisional Indonesia. Tropen Museum

Nusi menjelaskan, ratusan rekaman Kunst ia unduh di Berliner Phonogramm-Archiv (BPA) setelah museum itu menandatangani nota kesepahaman dengan Direktur Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Hilmar Farid. Total ada 300-an rekaman Kunst dalam format digital yang tersimpan di BPA. “Dengan satu file mencapai 200 megabytes, saya sampai sebulan mengunduh semua rekaman Jaap Kunst,” kata Kepala Bidang Pengkajian dan Pengumpulan Museum Nasional itu saat ditemui di kantornya, Jumat, 10 Januari lalu. Rekaman yang kebanyakan berdurasi tiga menit itu sebagian masih cukup jernih. Namun ada juga yang sudah rusak sehingga terdengar gangguan bunyi kresek-kresek yang mengiringi rekaman. 

Menurut Hilmar, peran Kunst dalam etnomusikologi belum terbandingi sampai kini. Sebab, pada masa yang masih serba terbatas secara teknologi ataupun akses infrastruktur, Kunst teguh meriset ke pelosok Nusantara dan mendokumentasikan hasilnya dengan rapi. Bahkan buku-buku hasil penelitiannya menjadi kitab bagi para penerusnya sesama etnomusikolog. “Jaap Kunst adalah peletak dasar musik tradisi, yang membantu kita mengenal bunyi-bunyi di masa lampau, juga visualnya,” ujarnya. 

Palmer Keen, etnomusikolog asal Amerika Serikat yang menetap di Yogyakarta, menyebutkan studi musikologi komparatif pada masa Kunst memang mencuat di Eropa. Sebab, orang-orang di sana senang membandingkan musik di Barat dengan halwa telinga di belahan bumi lain. Tak aneh, misalnya, bila Kunst kadang merasa ada kemiripan bunyi alat musik di Flores dengan instrumen tradisi di Bulgaria. Padahal, menurut Keen, kemiripan itu kebetulan belaka. “Warisannya luar biasa. Namun salah satu kekurangan Jaap Kunst adalah dia tidak pernah mencatat dan mencantumkan nama pemain alat musik yang didokumentasikannya. Ini menjadi perbedaan kami,” katanya. 

Kunst tercatat menghibahkan seribu koleksi alat musik ke Koninklijk Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen saat pulang ke Belanda pada 1934. Namun, hingga 16 tahun lalu, tak ada catatan yang mengungkap detail instrumen apa saja yang ditinggalkan Kunst. Hasil penelusuran mutakhir Museum Nasional menyebutkan baru 471 instrumen pemberian Kunst yang sudah terinventarisasi. Cucu Kunst, Clara Brinkgreve, menduga kakek-neneknya buru-buru kembali ke Belanda sehingga keberadaan sejumlah alat musik tak jelas. 

Jaap Kunst membuat rekaman fonograf di Nias, 1930. Tropen Museum

Walau Kunst meninggalkan ribuan warisan di Museum Nasional, tak mudah bagi Nusi untuk membongkar hasil risetnya. Nusi bercerita, pada 2004, Museum Nasional hendak menggelar pameran alat musik. Ia, yang ketika itu masih menjadi pegawai Seksi Koleksi Etnografi, menemukan sejumlah alat musik dengan nomor inventaris janggal, yakni memakai angka Romawi I-VII diikuti abjad A-D dan diakhiri angka. Penomoran itu tak lumrah di Museum Nasional. Bertahun-tahun Nusi menelusuri rahasia kode itu, tapi tak satu pun pegawai senior ataupun pensiunan museum tersebut yang paham. Sialnya, Nusi melanjutkan, tak ada catatan tentang klasifikasi, nama, juga cara memainkan alat musik di lembar nomor inventaris. 

Akhirnya, Nusi mengelompokkan instrumen itu berdasarkan urutan angka Romawi-nya. Dari situlah rasa penasarannya mulai terjawab. Ternyata bilangan itu merujuk pada pulau asal alat musik. Angka Romawi I adalah klasifikasi untuk Sumatera, II Kalimantan, III Sulawesi, IV Jawa, V Bali-Nusa Tenggara, VI Maluku-Papua, dan VII diduga Papua Nugini. Adapun abjad mengacu pada sistem organologi, seperti idiofon, membranofon, kordofon, dan aerofon, sementara angka adalah urutan alat musik. 

Jaap Kunst di Tropenmuseum, Amsterdam, Belanda, 1951. Tropen Museum

Namun Nusi membutuhkan waktu lama untuk mengetahui siapa pembuat kode inventaris itu. Ia baru mendapati soal Jaap Kunst saat berkunjung ke Leiden, Belanda, pada 2009. Di sana, ia diarahkan koleganya untuk menyambangi perpustakaan Universiteit van Amsterdam. “Di situ terungkaplah semua kode Kunst,” ucapnya. Kunst memang senang membikin kode. Silinder lilin dan positif kaca yang menjadi bagian dari hibah Kunst pun mempunyai kode inventaris sendiri. Hingga kini tercatat 600 silinder lilin Kunst disimpan Museum Nasional, tapi sebagian kosong.

 

•••

JAAP Kunst lahir di Groningen, Belanda, pada 1891 dari pasangan musikus. Ayahnya kritikus dan praktisi musik serta guru piano, sementara ibunya pianis. Namun Kunst kecil lebih tertarik pada biola ketimbang piano. Saking sukanya pada instrumen ini, Kunst pernah ngamuk karena mendapat biola mainan sebagai kado ulang tahunnya yang keempat. Dia menginginkan alat musik betulan yang mengeluarkan bunyi saat digesek. Setelah impiannya itu terwujud, Kunst mulai serius mempelajari cara memainkan instrumen tersebut. Kedua orang tua Kunst membuka akses baginya untuk berguru kepada musikus terkenal Louis Zimmerman, W. Dehe, dan E.C. Schroder. 

Meski kuliah dan akhirnya menjadi sarjana hukum di Rijksuniversiteit Groningen, Kunst tak menepikan kesenangannya bermusik. Dia bergabung dengan Groningen Symphony Orchestra, mulai meriset musik tradisi lokal, dan pada umur 26 tahun merilis buku pertamanya tentang kehidupan warga Pulau Terschelling. Setelah lulus, Kunst sempat bekerja di Amsterdam Bank cabang Utrecht dan lalu di Departemen Pendidikan Kantor Wali Kota Amsterdam. Tapi, ujung-ujungnya, ia memilih karier sebagai pemusik. Ia mulai menjalin kontak dengan dua rekan musikusnya, penyanyi Kitty Roelants-de Vogel dan pianis Jan Wagenaar. 

Saat itu, Kunst merasa cobaan hidup bertubi-tubi menderanya. Pekerjaan yang tak menyenangkan, juga pertunangan yang kandas, membuat Kunst memilih melawat ke Hindia Belanda bersama Roelants-de Vogel dan Wagenaar pada musim semi 1919. Trio ini menggelar tur ke Jawa, Sumatera, Kalimantan, juga Sulawesi, manggung di sejumlah markas komunitas seni dan klub sosial. Setelah mereka 95 kali berpentas, pada Mei 1920 Roelants-de Vogel dan Wagenaar kembali ke Belanda. Sedangkan Kunst tertambat di Jawa. “Dia terpikat pada bunyi gamelan yang didengarnya pertama kali saat Natal 1919 di Keraton Pakualaman, Yogyakarta,” tutur Nusi Lisabilla Estudiantin. 

Pameran “Melacak Jejak Jaap Kunst: Suara dari Masa Lalu” di Museum Nasional, Jakarta, 8 Januari 2020. TEMPO/Nurdiansah

Sejak itu, Kunst tergerak untuk meriset gamelan. Namun, karena tak punya cukup duit, ia juga bekerja sebagai pegawai negeri di kantor pemerintahan Belanda di Batavia. Pada 1921, ia menikah dengan Kathy van Wely dan menetap di Bandung hingga 1932. Van Wely, guru bahasa Prancis, mendukung kiprah suaminya sebagai peneliti musik tradisi. Bahkan, saat berbulan madu di Bali, keduanya tetap produktif meriset. Dari perjalanan itu, lahir buku De Toonkunst van Bali (Musik di Bali) jilid pertama pada 1924. Setahun kemudian, terbit jilid keduanya. Buku itu membahas sistem nada, notasi musik, gong dan instrumen gamelan lain, juga perbandingan musik di Jawa dengan di Bali. Dalam buku ini, Kunst melampirkan lontar berisi kidung-kidung, peta Bali, serta foto alat musik dan para pemainnya. 

Kunst melakukan risetnya di sela pekerjaan kantoran. Ia sempat bekerja di Kantor Urusan Sosial, lalu di Dewan Rekonsiliasi untuk Kereta Api dan Trem Jawa-Madura. Akhirnya, pada 1930, ia ditunjuk sebagai peneliti musikologi sistematis yang berbasis di Bandung. Setelah itulah ia mulai menyusuri Nusantara untuk mendokumentasikan musik tradisi. Aktivitas ini terus dia lakukan sampai pindah ke Batavia dan menjadi kurator koleksi alat musik di tempat yang menjadi cikal-bakal Museum Nasional. Ia tinggal di Jalan Kebon Sirih Nomor 14, Jakarta. Di tempat yang kini menjadi lokasi Sekretariat Wakil Presiden RI inilah Kunst menyimpan ribuan alat musik dan setumpuk dokumen risetnya. 

Menurut Nusi, selama di Indonesia, Kunst hidup berkecukupan dengan istri dan ketiga anak mereka: Sjuwke, Jaap Jr., dan Egbert Diederik. Selain karena pemerintah mendanai perjalanan riset ke pedalaman Indonesia, Kunst punya cara sendiri untuk memenuhi hasratnya meneliti peranti musik tradisi. “Dia rela mengurangi uang jatah makannya demi tetap bisa pergi ke daerah-daerah untuk meneliti,” kata Nusi.

 

•••

JAAP Kunst memakai taktik barter untuk mengorek bebunyian alat musik tradisi milik warga di pelosok Nusantara. Karena itu, saban kali pelesiran, dia mengusung seabrek amunisi. Misalnya saat ia menyambangi sebuah kampung di Nias, Sumatera Utara, pada April 1930. Selain membawa biola, Kunst menggembol rokok, permen rasa mint, kopi—yang waktu itu masih jarang dijumpai—juga kalung manik-manik. Tak lupa ia membawa segepok silinder lilin untuk merekam suara serta kamera guna memotret pemain dan alat musik tradisi. Fonograf dibeli Kunst di Surabaya, sementara silinder lilin kosong berdurasi empat menit ia pesan dari Berlin, Jerman. 

Kadang Kunst membayar nyanyian pemujaan dengan kalung dan permen. Namun pernah juga dia membarter alat musik dengan ternak, seperti kambing dan babi. Ada kalanya Kunst juga memainkan biola untuk membius warga dan setelah itu giliran dia disuguhi atraksi permainan instrumen tradisi setempat. Kelihaian Kunst mengambil hati penduduk lokal membuatnya tak pulang dengan tangan kosong. Dari lawatannya, ia bisa mendokumentasikan puluhan nyanyian dan bunyi alat musik sekaligus. 

Nusi Lisabilla Estudiantin, Kepala Bidang Pengkajian dan Pengumpulan Museum Nasional sekaligus kurator pameran pameran “Melacak Jejak Jaap Kunst: Suara dari Masa Lalu” saat ditemui di Museum Nasional, 10 Januari 2020. TEMPO/Nurdiansah

Di Nias, Kunst datang bersama Rudolf Bonnet, pelukis Belanda yang lama menetap di Bali. Hatinya remuk mendapati seni musik tradisi di Nias, terutama Nias Utara, perlahan lenyap seiring dengan masuknya misionaris ke daerah ini. “Dia merasa telat datang ke Nias karena banyak nyanyian warga lokal yang sudah punah,” ucap Nusi, master arkeologi Universitas Indonesia. Kala itu, misionaris melarang praktik menyanyikan lagu tradisi untuk memuja leluhur dan pada saat yang sama mengenalkan instrumen musik Eropa kepada warga. Hal ini mendorong Kunst mendata alat musik yang sudah terserak dan mendokumentasikan cara memainkannya. 

Salah satu yang dia rekam adalah bunyi doli-doli hagita, alat musik silofon asal Nias Utara yang dimainkan di paha. Doli-doli tersusun dari beberapa batang dengan potongan berbeda bentuk. Ada yang datar, bulat bagian pucuknya, ada juga yang bagian bawahnya memanjang. Perbedaan bentuk itu menghasilkan nada berbeda. Doli-doli sering dimainkan lelaki di sawah pada masa panen padi. Selain itu, Kunst sempat mendokumentasikan lagu ratapan di Pulau Tello, Nias, berjudul Boli-Boli. Lagu berlarik puitis ini dulu biasa disenandungkan dalam upacara adat. Namun, saat Kunst datang, tinggal segelintir orang yang masih hafal. Karena dianggap sakral—berbeda dengan doli-doli yang profan—nyanyian tersebut ditabukan gereja. Kunst mengabadikan dokumentasi itu dalam buku. 

Kunst juga menulis belasan buku lain yang kebanyakan naratif berdasarkan kawasan riset. Ada buku tentang musik di Bali (dua jilid), Jawa, Nias, dan Flores Barat. Nusi menduga Kunst juga menulis mengenai musik di Sulawesi, walau sampai sekarang buku itu belum ditemukan. “Kalau buku ini ditemukan, mungkin kita mendapat jawaban soal ratusan alat musik pemberian Kunst yang sampai sekarang tak jelas rimbanya,” ujarnya. Pada 1926-1927, Kunst menulis dua jilid buku Hindoe-Javaansche Muziekinstrumenten (Alat Musik Hindu-Jawa). Edisi pertamanya adalah adaptasi ceramahnya dalam kongres Java Instituut pada tahun itu, yang mengulas alat musik abad ke-8 hingga ke-14. 

Alat musik tradisional Indonesia yang didokumentasikan Jaap Kunst di Museum Nasional, Januari 2020. TEMPO/Nurdiansah

Hampir semua buku itu ditulis Kunst berdasarkan hasil pengamatan langsung di lapangan. Menurut Nusi, Kunst biasanya membawa serta kawannya saat datang ke pelosok, baik sesama peneliti, fotografer, maupun pembuat film dokumenter. Dari foto-foto Kunst, dia tercatat berkawan dengan dua fotografer: seorang Cina dan seseorang bernama Andi. Walau demikian, Kunst sesekali memotret sendiri alat musik dan suasana kampung yang didatangi. Mereka bepergian dengan beragam alat transportasi, seperti kapal, mobil, perahu, kano, atau kuda. 

Ia sekali menulis tanpa datang ke lapangan, yakni saat menggarap buku A Study on Papuan Music Volume 1, yang terbit pada 1931, bersama etnograf Le Roux. Merasa kurang puas, pada 1932, Kunst datang langsung ke Papua untuk melanjutkan penelitiannya. Ia membikin rekaman silinder lilin di Waigeo, Raja Ampat, serta membawa pulang banyak foto. Dari perjalanan ini, Kunst sekali lagi membuktikan produktivitasnya sebagai penulis. Dia kemudian membukukan hasil risetnya dengan judul Song of North New Guinea dan The Native Music of Western New Guinea. “Pada 1967, Kathy, istri Kunst, membuat kompilasi tiga buku suaminya soal musik di Papua,” tutur Nusi.

 

•••

SETELAH lima belas tahun menetap di Indonesia, Kunst sekeluarga berlibur ke Belanda pada Maret 1934. Rencananya, Kunst balik ke Jawa delapan bulan kemudian. Sebelum berangkat ke Belanda, Kunst memindahkan sekitar seribu alat musiknya ke kantor Koninklijk Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen, juga 325 rekaman silinder lilin, 700 positif kaca, dan 450 slide. Sayangnya, rencana Kunst kembali ke Jawa kandas. Selain ada kendala kesehatan, Kunst terhambat masalah biaya. 

Namun kondisi itu tak menyurutkan minatnya terhadap musik tradisi. Pada 1936, ia mendapatkan pekerjaan impiannya sebagai kurator Tropenmuseum di Amsterdam. Kunst juga beroleh tawaran proyek musik di Jawa, tapi lagi-lagi ia mesti meredam impiannya kembali ke Indonesia. Sebab, Perang Dunia II mulai membara dan Belanda diduduki Jerman. Pada masa perang, Kunst ditunjuk menjadi dosen khusus yang tak digaji di jurusan musikologi komparatif Universiteit van Amsterdam. Di sana, ia mengajar mata kuliah sejarah dan teori musik Jawa. 

Suatu hari, kepada sahabatnya yang seorang epigrafis, R. Goris, Kunst pernah mengungkapkan angannya kembali ke Nusantara dan menetap di Bali atau Terschelling saat pensiun. Ia mengaku di dua tempat itulah hatinya berlabuh. Namun, hingga akhir hayatnya, impian itu tak terwujud. Kunst meninggal di Amsterdam karena kanker saat berusia 69 tahun. 

Penerusnya di Museum Nasional adalah Karl Halusa. Sepeninggal Kunst, Halusa turut mendokumentasikan alat musik tradisi di pelosok Nusantara dalam media piringan hitam. Sedangkan posisinya di Universiteit van Amsterdam diisi Ernst Heins, yang bersama murid lain Kunst menulis buku Jaap Kunst: Traditional Music and Its Interaction with the West pada 1994. Bersama Felix van Lamsweerde, yang juga asisten Kunst, Heins mengkoordinasi warisan alat musik Kunst dan mengkurasinya untuk badan pengarsipan Etnomusicologisch Archief, yang kemudian berganti nama menjadi Etnomusicologisch Centrum Jaap Kunst. Pada 2003, Heins digantikan Wim van der Meer, yang lalu diteruskan Barbara Titus. 

Menurut Titus, associate professor studi musikologi budaya di Universiteit van Amsterdam, Kunst adalah pionir di bidang etnomusikologi. Sebab, pada masa itu, banyak peneliti Eropa bekerja dari meja kantor. Kunst berbeda karena berusaha meneliti tidak dengan standar estetika Eropa, melainkan dengan preferensi dan norma pemusik lokal. Nilai itu yang diadopsi Titus dalam penelitiannya tentang musik tradisi orang Zulu di Afrika Selatan pada 2008-2015. “Jaap Kunst tidak mengilhami saya secara langsung, tapi premis disiplinnya,” tutur Titus, yang mendapatkan gelar doktor dari Oxford University, Inggris. 

Jaap Kunst (kiri) saat pameran “Melodie der Tropen” di Tropenmuseum, Amsterdam, Belanda, 1951. Tropen Museum

Saat di Afrika, Titus sadar bahwa ide etnomusikologi Kunst bermasalah. Sebab, Kunst berangkat dari gagasan yang menganggap budaya sebagai entitas homogen dengan ciri statis yang membedakannya dengan entitas lain Padahal, menurut Titus, kelompok warga yang membuat musik dan mempraktikkan budaya tidak pernah seperti itu. “Mereka berubah sepanjang waktu dan membubuhi musiknya dengan unsur baru,” katanya. Itu pula yang membuat kampusnya memperbarui ide etnomusikologi Kunst menjadi musikologi budaya. Artinya, Titus menjelaskan, mereka tak lagi melanjutkan gagasan Kunst tentang etnis, melainkan keanekaragaman budaya pada tingkat yang lebih individual. “Kami mengajari siswa cara kerja lapangan, tradisi musik di seluruh dunia, juga alat musik seperti gamelan Bali. Kami memiliki Semar Pegulingan yang bunyinya indah.” 

Sebagian alat musik tradisi Indonesia yang diboyong Kunst ke Belanda kini menjadi milik Universiteit van Amsterdam. Titus mengungkapkan, setelah Kunst meninggal, sebagian koleksinya dijual karena keluarganya bangkrut. Di kampus, Kunst tak digaji. Pendapatannya hanya berasal dari Tropenmuseum, juga kuliah umumnya di Belanda ataupun di mancanegara. Di sisi lain, tabungannya habis untuk biaya riset, peralatan rekaman, juga publikasi. Walhasil, keluarga tak punya pilihan selain menjual koleksi Kunst yang seabrek. Namun, sayangnya, hingga kini koleksi itu belum didigitalkan. 

Titus menyatakan ia bekerja sama dengan Museum Nasional, Museum Sonobudoyo di Yogyakarta, Universitas Gadjah Mada, juga Institut Seni Indonesia Yogyakarta untuk menginventarisasi koleksi Kunst. “Saya masih membutuhkan dana untuk proses ini agar nantinya kita dapat menggunakan bahan kolonial untuk masa depan pascakolonial bersama,” ucapnya.

 ISMA SAVITRI
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Isma Savitri

Isma Savitri

Setelah bergabung di Tempo pada 2010, lulusan Ilmu Komunikasi Universitas Diponegoro ini meliput isu hukum selama empat tahun. Berikutnya, ia banyak menulis isu pemberdayaan sosial dan gender di majalah Tempo English, dan kini sebagai Redaktur Seni di majalah Tempo, yang banyak mengulas film dan kesenian. Pemenang Lomba Kritik Film Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan 2019 dan Lomba Penulisan BPJS Kesehatan 2013.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus