Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DESAU angin pantai dan tinggal perempuan itu seorang diri. Memipil bulir-bulir jagung yang tersisa dari sapuan tsunami yang dahsyat. Perempuan dalam film pendek itu (diperankan Septina Rosalina Layan) menyusuri bentangan gumuk pasir. Kemudian, seperti teleportasi, sang perempuan yang mengenakan gaun selutut warna biru langit pucat tiba di panggung Teater Jakarta, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Kamis petang, 16 Januari lalu. Dia menyibak tirai tipis keperakan serupa ombak lautan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dengan suara lirih, dia melantunkan larik-larik yang bahasanya terdengar tak asing. Walau tak terang juga apa makna syair itu, perhatian penonton terserap padanya. Syair itu adalah Yaimendo, salah satu lament (kidung ratapan) yang berkisah soal kematian. “Ratapan ini dinyanyikan perempuan saat menangisi kepergian orang yang dia kasihi,” kata Septina saat ditemui seusai pentas. Lament itu ditimpali arak-arakan kor dari tujuh lelaki dan tujuh perempuan yang muncul dari belakang panggung. Warna pakaian mereka senada dengan Septina: turkuois atau biru kehijauan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Lament Yaimendo dan paduan suara yang indah itu membuka pentas teater Planet-Sebuah Lament yang diarahkan sutradara Garin Nugroho. Seperti karya Garin sebelumnya, baik yang berformat teater maupun film, tarian, kritik sosial, dan isu minoritas mengemuka di sini. Sementara Kucumbu Tubuh Indahku (2018) bercerita soal seniman lengger lanang khas Banyumas dan Aku Ingin Menciummu Sekali Saja (2002) berputar pada isu tuntutan kemerdekaan Papua, dalam Planet-Sebuah Lament Garin menyuarakan perisakan alam oleh manusia. Persoalan itu dibungkusnya dengan vokal, gerak tubuh, dan kearifan lokal dari Melanesia atau Indonesia timur.
Planet-Sebuah Lament adalah persamuhan antara kehancuran dan harapan. Antara kematian dan kehidupan. Antara alam yang penuh kasih tapi juga rentan dan menyimpan daya destruktif. Ketidakberdayaan manusia atas gerakan alam disimbolkan lewat si perempuan (Septina) dan 14 penyanyi kor yang hanya bisa meratapi kehilangannya. Mereka dihadapkan pada monster-monster pemburu energi (diperankan empat penari Melanesia), jelmaan sampah dan rongsokan yang tak dapat diurai.
Pada saat yang sama, muncul harapan akan sebuah planet baru yang menyediakan pangan dan energi. Planet baru ini terkandung dalam sebuah telur raksasa yang dijaga seorang lelaki berbalut noken (tas khas Papua yang dibuat dari serat kayu) dan seekor cenderawasih, simbol keselamatan dalam cerita rakyat Melanesia. Keduanya berjuang untuk lari dari terkaman monster-monster buas, tapi pada akhirnya si lelaki noken mengorbankan dirinya. Hingga akhir pentas, telur itu tak pernah menetas. Kita hanya mendapatinya ada dalam pelukan si perempuan, yang dalam rekaman video terlihat kembali ke kampungnya.
Menurut Garin, naskah yang ditulis Michael Kantor, sutradara teater dan opera dari Melbourne, ini memang menyetop perjalanan si telur sampai di situ. “Kami memilih akhir cerita yang terbuka, tidak menjadi ‘Hollywood’ dengan semisal membuat adegan telur ini pecah dan mengeluarkan cahaya menyilaukan,” ucapnya, bergurau. Ini sekaligus membiarkan penonton bebas menafsirkan, apakah humanisme atau kebinatangan yang mengambil kendali dalam perang energi.
Ide Planet-Sebuah Lament diendapkan Garin sejak tujuh tahun lalu. Awalnya ia terpikat pada aura mistis sekaligus indah dari lament, ekspresi menumpahkan kepiluan yang tak bisa diungkapkan secara verbal. Ratapan purba ini mengiringi perjalanan Garin yang terlibat aktivitas pascabencana seperti tsunami Aceh 2004 dan gempa Yogyakarta, mengingatkannya akan kebakaran hutan di Riau, serta peristiwa berdarah lain di negeri ini. Sampai kemudian tiga tahun lalu ia berjumpa dengan Septina Rosalina Layan di Papua. Septina, yang sarjana musik Institut Seni Indonesia, Yogyakarta, adalah guru di Merauke.
Lament hidup di tengah masyarakat Papua, tempat Septina yang berasal dari keluarga Maluku ini lahir, tumbuh, hingga kini menetap dengan keluarganya. Sementara sang ibu lahir dari keluarga yang menghidupi lament, ayah Septina adalah pembantu pastor. Garis keturunan ini yang membuat lament, kor, dan bermusik begitu dekat dengan hidup Septina sejak kecil. Dia tergerak untuk mencatatkan lament-lament leluhurnya ke dalam partitur, yang kemudian dinyanyikan ulang oleh para muridnya. Salah satu yang dia dokumentasikan adalah nyanyian tradisi Eb suku Yaghai Mappi, yang mendiami Papua selatan.
Dalam Planet-Sebuah Lament, tercatat ada sepuluh ratapan yang didendangkan. Dari jumlah itu, tiga di antaranya khusus diciptakan Septina untuk pentas berdurasi sekitar 90 menit ini, yakni lament berjudul Bekai Kasasodla (tentang hati yang bersedih melihat alam yang rusak karena tangan manusia), Kababor (berlayar ke samudra), dan Ihil Sakil (ratapan cenderawasih). Selain Septina, komposer Taufik Adam dan Nursalim Yadi Anugerah turut menyumbang komposisi dan instrumentasi yang dalam pentas ini hanya diwakili kor belasan penyanyi Indonesia timur.
Karakter lament yang sangat halus itu diadu dengan olah gerak khas Melanesia yang dibawakan Douglas D’Krumpers dan kawan-kawan. Mereka menjajah panggung dengan tarian yang digarap koreografer Joy Alpuerto Ritter dari Filipina, Otniel Tasman, dan Boogie Papeda. Ritter mengambil elemen gerak dari Nusa Tenggara Timur dan Papua, yang ia kawinkan dengan gerakan kontemporer seperti hip-hop dan free dance. Hasilnya adalah tarian ritmis yang keras dan banal dari para monster durjana bertubuh liat, juga si cenderawasih penyelamat. Kadang gerakan mereka yang ekstrem itu membikin tegang, apalagi yang dilakoni pemeran cenderawasih, Priscilla E.M. Rumbiak. Perempuan ini meloncat-loncat di panggung dalam posisi duduk dengan dua kaki terlipat ke belakang.
Hadirnya gerakan yang keras bak perkelahian itu kadang menjauhkan kesan syahdu yang sudah terbangun dari kor lament. Namun bisa jadi itu adalah bagian dari imaji Garin untuk membenturkan tenangnya alam dengan monster-monster sampah yang terus mengintai kehidupan. Soal sampah yang susah terurai, kata Garin, membuatnya gelisah. Ini pula yang mendorongnya untuk memakai plastik bekas--salah satu sampah anorganik--sebagai tirai panggung. Sedangkan untuk latar panggung, Garin membuat instalasi dari pakaian bekas yang terlihat seperti mozaik. “Baju-baju bekas itu kami ambil dari NTT. Total ada sembilan karung baju bekas yang kami bawa,” tutur Garin.
Baju berkarung-karung itu akan diboyong Garin saat tim Planet-Sebuah Lament melawat ke tempat lain. Seusai pentas perdana di Teater Jakarta, Garin menyebutkan mereka akan tampil di Asia-Pacific Triennial of Performing Arts di Melbourne, Australia, serta di Duesseldorf, Jerman, dan Amsterdam, Belanda. “Ini bagian upaya kami mengenalkan kekayaan Indonesia, terutama dari wilayah timur, yang selama ini sering dibicarakan tapi jarang mendapat tempat,” ujarnya.
ISMA SAVITRI
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo