Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kesehatan

Berita Tempo Plus

Maaf, Langsing Bukanlah Sulap

Seorang gadis menjemput maut setelah menjalani terapi akupunktur pelangsing badan. Adakah tips memilih diet yang aman?

15 Maret 2004 | 00.00 WIB

Maaf, Langsing Bukanlah Sulap
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Selembar kain mengubah hidup Rizal, bukan nama sebenarnya. Selembar kain yang sejatinya akan digunakan untuk kemben atau dodot, busana tradisional pengantin perempuan dalam perkawinan ala Keraton Surakarta. Tapi, apa boleh buat, selembar kain itulah yang antara lain memicu kematian Nina, 29 tahun, calon istri Rizal.

Bagaimana bisa?

Pekan lalu, Rizal, warga Pinang Ranti, Jakarta Timur, ini membagi kisahnya kepada TEMPO. Menjelang akhir tahun 2003, pasangan Rizal-Nina merancang pernikahan dalam adat Surakarta. Segala sesuatu sudah siap rapi jali. Hanya satu yang belum beres: tubuh Nina masih kelewat gemuk, 90 kilogram dengan tinggi 170 sentimeter. Memang agak kurang elok untuk dibalut kain dodot bila hari besar pernikahan tiba.

Dengan tekad kuat, Nina kemudian mengikuti program perampingan di sebuah klinik akupunktur di kawasan Jakarta Selatan. "Saya yang nganterin ke klinik seminggu sekali," Rizal mengenang. Di klinik ini, Nina menjalani terapi tusuk jarum untuk membuat tubuhnya berukuran ideal. Agar lebih efektif, Nina juga dibekali kapsul obat racikan yang berfungsi menekan selera makan.

Tusuk jarum plus obat diet itu membuahkan hasil. Setelah lewat satu bulan, dengan lima kali terapi tusuk jarum, berat badan Nina menyusut 12 kilogram. Nina merasa lebih siap menyambut kain kemben.

Sang gadis tak sadar tragedi sedang menanti. Memasuki minggu keenam masa terapi, Nina jatuh sakit hingga harus dibawa ke ruang gawat darurat RS Haji Pondok Gede, Jakarta. "Kata dokter, asam lambung Nina tinggi karena pengaruh obat diet yang kelewat keras," kata Rizal. Dokter meminta Nina pulang untuk beristirahat dan menyetop konsumsi obat-obat diet.

Malang tak dapat ditolak. Beberapa hari sepulang dari rumah sakit, Nina pingsan. Keluarga yang panik segera menolong dan membawanya ke rumah sakit. Apa daya, Nina mengembuskan napas terakhir di dalam taksi yang mengantarkannya ke rumah sakit. Selembar kain dodot pun tak jadi menghiasi tubuh sang calon pengantin.

Rizal tentu saja berduka. "Saya curiga, kematian Nina ada kaitannya dengan diet yang dia jalani," katanya. Namun dugaan ini tak bisa dipastikan karena keluarga menolak otopsi pada Nina. Satu-satunya keterangan dokter: Nina meninggal tanpa diketahui sebabnya.

Berkaca pada tragedi Nina, Rizal menyarankan kepada kawan kerabatnya agar tidak sembrono memilih program diet. "Jangan percaya, deh, sama janji diet yang muluk-muluk. Akibatnya bisa fatal," kata Rizal.

Banyak orang perlu serius menimbang nasihat Rizal. Sebab, saat ini kegemukan (obesitas) telah menjadi masalah dunia. Tahun 1995, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyebut ada 200 juta orang mengalami kegemukan di seluruh dunia. Kini angka tersebut membengkak hingga 300 juta, yang tersebar di negara maju dan juga di Dunia Ketiga. WHO menyebutnya fenomena globesity—kegemukan yang mengglobal.

Indonesia juga tak lepas dari soal kegemukan. Satu dari lima warga negeri ini tergolong kelebihan berat badan. Itu pun berdasar survei Departemen Kesehatan tahun 1997. Sekarang? Pasti jauh lebih parah.

Nah, di tengah era globesity, perampingan badan tumbuh menjadi industri yang agresif. Sedot lemak, pil pelangsing, akupunktur, ratusan jenis pola diet gencar ditawarkan ke masyarakat. Model diet seperti Atkins, yang menjauhi asupan karbohidrat, juga ramai diserbu peminat. Padahal keampuhan diet ini masih riuh diperdebatkan (lihat Metode Diet dari Suhu Gendut).

Ada dua alasan yang memotivasi orang mengejar tubuh ramping. Pertama: penampilan. Dunia hiburan tv-film-musik yang banjir pujaan berwajah ganteng-ayu dan bertubuh langsing. Penonton pun tergoda jadi seramping para idola. Kedua: kesehatan. Semakin banyak bukti bahwa kegemukan mendorong beragam keluhan medis yang bisa berdampak fatal, misalnya hipertensi, diabetes, penyempitan pembuluh darah, serangan jantung, dan stroke.

Nina, sang calon pengantin, juga ingin betul tampil lebih cantik dan lebih sehat. Tapi metode perampingan yang dia pilih rupanya kelewat ekstrem. Betapa tidak, dalam satu minggu, tubuh Nina turun 3-4 kilogram. Bandingkan dengan diet dan olahraga yang menurunkan berat badan ons demi ons dalam tempo berbulan-bulan.

Berbahayakah terapi akupunktur? "Tentu saja tidak," kata Mochtar Kusumawijaya, ahli akupunktur yang berpraktek di kawasan Jakarta Selatan. Tubuh manusia pada dasarnya dialiri energi (disebut qi) yang semestinya berada dalam keseimbangan. "Jika qi terganggu, sakitlah dia," kata Mochtar, yang tak lain putra ahli tanaman obat Hembing Wijayakusuma.

Kegemukan, Mochtar melanjutkan, adalah tanda yin-yang tubuh tidak seimbang. Agar seimbang, ada banyak titik yang perlu digarap dengan tusuk jarum. Fokus yang terutama adalah titik-titik yang terkait hipotalamus (otak kecil). Di sinilah terletak jaringan saraf pengirim pesan lapar. Menekan titik ini berarti menghambat sinyal lapar sehingga kita tidak terpacu makan berlebihan.

Mochtar menjamin, "Tak ada efek samping selama pasien tetap mengikuti anjuran kami untuk makan seimbang." Kasus semacam yang menimpa Nina, kata Mochtar, boleh jadi lantaran pasien yang kelewat batas menjauhi makanan. Padahal tubuh tetap membutuhkan makanan sebagai sumber energi.

Hanya, patut dicatat, dalam kasus Nina, terapi tusuk jarum dilengkapi pil diet yang juga menekan nafsu makan. Agaknya, kombinasi inilah yang membuat Nina hampir-hampir tak pernah makan. "Bagaimana mau makan se- imbang?" tanya Rizal emosional, "Setiap kali makanan masuk mulut, dia langsung mual dan muntah." Karena itu, Rizal menuntut pemerintah untuk mengetatkan pengawasan pada praktek akupunktur agar tak ada lagi korban seperti Nina.

"Gunakan akal sehat kalau mau diet," kata Murni Prakoso, ahli gizi yang juga Ketua Umum Asosiasi Dietisien Indonesia (ASDI).

Konsultasi dengan dokter dan ahli nutrisi adalah langkah pembuka diet yang benar. Melalui konsultasi, seseorang akan dipandu mengenali karakter dan kondisi tubuhnya untuk mendapatkan metode diet yang cocok.

Ada lagi satu aturan penting: jangan tergoda janji-janji penurunan bobot drastis dalam waktu singkat. Rentang penurunan berat badan yang aman, Murni menjelaskan, adalah 0,5-1 kilogram per minggu atau 2-4 kilogram per bulan. Jika jauh melampaui rentang tadi, metabolisme tubuh akan terguncang. Langsing mungkin didapat, tetapi tubuh jadi tidak sehat. Kata Murni, "Apa sih gunanya ramping jika tak bisa dinikmati?"

Langsing memang bukan sulap. "Perlu disiplin dan konsistensi," kata Murni. Diet seimbang, sesuaikan makanan dengan kebutuhan kalori, olahraga, istirahat yang cukup, adalah resep yang sepintas terdengar klise. Tapi, mohon maaf bagi Anda semua yang berminat diet, belum ada jurus yang sanggup mengalahkan resep kuno tadi.

Mardiyah Chamim, Hani Pudjiarti, Nurhayati, D.A. Candraningrum (Tempo News Room) Ussy Sulistyawati


Denada Tambunan
26 Tahun, penyanyi

Saya dulu nekat banget kalo lagi diet. Yang namanya makan tuh cuma menyantap buah-buahan atau menyeruput air rebusan mi instan. Akibatnya, saya sering jatuh sakit.

Sekarang saya punya jurus diet yang lebih aman. Rajin olahraga taebo dan menyantap menu seimbang dengan kebutuhan kalori sehari-hari. Artinya, saya enggak segan makan karbohidrat. Cuma, saya selalu berhenti sebelum merasa kenyang banget. Terus, berapa berat badan? Ah, sekarang saya enggak pernah mau nengok timbangan. Biar enggak nervous.

Indah Sita Nursanti
28 Tahun, penyanyi

Dua tahun aku mati-matian menurunkan berat badan yang melar sampai 88 kilogram. Segala cara udah aku lakukan, tiger diet, food combining, tapi selalu gagal. Awal 2002, aku bulatkan tekad melakukan diet tambah olahraga squash dan joging.

Biarpun udah kerja keras, berat badanku sempat mandek di level 71 kilogram. Lalu aku mendatangi dokter yang memberikan obat diet khusus. Akhirnya, aku berhasil mengikis 25 kilogram berat badan. Hidupku lebih nyaman kini dengan bobot 63 kilogram.

Ussy Sulistyawati
23 Tahun, presenter

Tahun lalu, berat badanku naik dari 47 jadi 50 kilogram. Aku langsung mendatangi ahli gizi yang memberiku daftar menu pagi, siang, malam. Bukannya menaati menu, aku malah enggak makan sama sekali. Sampai, beberapa hari kemudian, aku pingsan. Lambungku meradang gara-gara tak pernah diisi makanan.

Sebetulnya aku mesti nginep dua minggu di rumah sakit, tapi aku cuma sanggup empat hari. Enggak betah, sih. Sekarang aku juga diet tetapi lebih santai. Kalau lapar, ya, tetep makan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus