BOLEH dikatakan Indonesia mencapai kedudukan juara umum SEA
Games X semata-mata mengandalkan bakat alam. Artinya prestasi di
berbagai cabang olahraga tadi belum didasarkan pada ilmu dan
teknologi olahraga sebagaimana yang sudah dipraktekkan di dunia
barat.
Melly Mofu dan Nanik Soewadji berhasil memperbaiki rekor renang
dan lari SEA Games IX. Begitu juga Than Than dari Birma. Tapi
siapa tahu kalau dengan tehnik tinggi dan gii tepat mereka pun
bisa menyamai prestasi atlit-atlit dunia. Soalnya sebagaimana
dikatakan Menteri P & K Daoed Joesoef, atlit di kawasan Asia
Tenggara ini terbelakang dalam bidang ilmu dan teknologi. "Di
lain pihak kondisi perekonomian yang payah mengakibatkan pula
kurangnya fasilitas dan jeleknya gizi, yang banyak, berpengaruh
terhadap kesegaran jasmani."
Hal itu dikemukakannya di depan The Tenth SEA Games Scientific
Seminar yang berlangsung di Hotel Kartika Plaza, 18-20 September
berbarengan pesta olahraganya. Selain ahli Indonesia tamu dari
luar negeri juga ikut memberikan paridangan mengenai hubungan
teknologi olahraga dan prestasi atlit.
Gizi dan olahraga adalah dua hal yang saling mengait. Di
Indonesia, sebagaimana dikatakan dr Johanna S.P. Rumawas dari
Baian Gizi Fakultas Kedoktcran Universitas Indonesia, Jakarta,
"ilmu gizi masih merupakan salah satu ilmu yang sangat muda.
Baru dikenal sejak 1950." Tak heran jika ada dokter yang salah
paham mengenai hubungan olahraga dan gizi. Apalagi awam.
Otak
Menurut dr Johanna di tengah masyarakat kita hidup tahyul
mengenai makanan tertentu. Misalnya orang harus memakan tepung
dari gigi naga supaya kuat. Ada pula yang beranggapan supaya
otot kekar haruslah makan telur mentah atau menyedot kuning
telur. Sementara di kalangan wanita ada tabu untuk tidak memakan
ketimun, pisang dan nenas. Banyak pula atlit wanita yang tidak
makan nasi, buah dan sayur-sayuran karena katanya untuk mencegah
kegemukan. Padahal untuk seorang atlit makanan tersebut sangat
diperlukan hanya di Indonesia di negara tetangga sikap ini juga
dijumpai.
Persoalan lain adalah selera. Banyak atlit Indonesia yang tidak
bisa memakan makanan yang berlemak dan tinggi protein. Tapi
katanya, persoalan itu sebenarnya bisa diatasi kalau mereka
memperoleh penjelasan yang cukup. Sehingga mereka mengerti
makanan apa yang harus dimakan. "Dan tidak lagi makan hanya
dengan selera dan lidah tapi juga dengan otak," kata Johanna.
Makanan yang tepat ujarnya haruslah diberikan sejak kecil, dan
tidak hanya di pusat-pusat latihan.
Makanan atlit dengan orang yang bukan sebenarnya sama saja.
Walujo Soerjodibroto Ph.D, juga dari Bagian Gizi FKUI,
menyebutkan 6 macam unsur yang harus melengkapi makanan seorang
atlit: Karbohidrat, lemak, protein, vitamin-vitamin, mineral
dan air. Semua ini katanya dapat diperoleh dari makanan yang
kita santap sehari-hari. Cuma harus dijaga perbandingannya.
Protein 13-15%. Lemak 20-30% dan Karbohidrat 55-67%.
Untuk olahraga yang memerlukan daya tahan seperti lari
jarakjauh, bahan bakar yang datang dari Karbohidrat tentu lebih
banyak diperlukan. Tapi di pusat latihan antara makanan pelari
jarak jauh dengan atlit lain nampaknya tak dibedakan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini