SEBENTAR lagi Pasar Modal di Jakarta akan ramai tampaknya.
Selama ini bursa di Jl Merdeka Selatan, Jakarta itu hanya
melayani saham-saham PT Semen Cibinong dan PT Centex, sebuah
perusahaan tekstil. Tapi dua bulan lagi British American Tobacco
(BAT) dan Teijin Indonesia Fiber Corporation (Tifico) akan
menjual sahamnya kepada publik.
BAT, perusahaan sigaret raksasa yang sudah beroperasi di
Indonesia sejak 1917, bermaksud menjual 6,6 juta sahamnya kepada
publik dengan harga nominal Rp 1.000 tiap sahamnya. Dana yang
diperoleh dari penjualan saham ini akan digunakan BAT untuk
memperluas kapasitas produksinya selama lima tahun lagi.
Tahun lalu hasil penjualan BAT mencapai Rp 52 milyar, yang
setelah dipotong ongkos-ongkos dan segala macam pajak,
memberikan laba bersih Rp 2,95 milyar cuma 5,6% dari seluruh
penghasilan. Tapi BAT menguasai sekitar 35% pasaran rokok putih
di Indonesia.
Tawaran saham BAT ini diduga akan sangat menarik. Ini makin
terasa setelah Kenop 15, ketika saingan rokok putih impor dengan
sendirinya menjadi menurun. Karena peluang yang baik inilah,
beberapa pengamat meramalkan harga saham BAT akan bisa laku
sampai Rp 2.400 per saham, jauh melampaui nilai nominalnya.
Akan halnya Tifico, perusahaan tekstil terbesar di Indonesia,
menawarkan sahamnya kepada publik sebanyak 1,1 juta lembar,
bernilai nominal Rp 4.150 per lembar. Dengan penjualan sahamnya
ini, perusahaan milik Teijin Ltd. dan Tokyo Menka Kaisha, dua
raksasa tekstil di Jepang, pada akhirnya hanya akan memiliki
17,7% saham saja.
Kejutan 20%
Penawaran saham di bursa akan menjadi tambah menarik dengan
keputusan Centex baru-baru ini membagikan dividen Rp 1.000,
kepada setiap pemegang sahamnya. Karena nilai nominal saham PT
Centex yang dijual tempo hari Rp 5.000, banyak orang menilai
pembagian dividen sebesar 20% nilai saham itu merupakan
kejutan. "Ini membuat beberapa perusahaan yang lagi
berkemas-kemas untuk go public marah-marah," kata J. Eddy Adenan
kepada TEMPO pekan lalu.
Menurut kordinator urusan saham PT Centex itu, laba
perusahaannya kurang lebih 40% untuk tahun buku 1 April 1978
sampai dengan 31 Maret 1979. Dari jumlah itu laba ekonomisnya
sebesar 20,9%. Lebihnya, yang 19,1%, merupakan laba ekstra. Ini
antara lain diperoleh dari pembelian bahan baku, bahan penolong
dan bahan pelengkap dengan harga sebelum Kenop-15, menurut Eddy.
Juga, katanya, disebabkan keuntungan kurs valuta asing.
Ekspornya juga meningkat, disebabkan fasilitas sertifikat
ekspor. Dan Centex yang memasyarakat 22 Mei lalu itu, sejak
April lalu boleh dibilang rata-rata setiap bulan mengekspor
700 ribu yard. Grey dan dyed fabrics (1 yard 91,44 em).
Adapun laba bersih PT Centex, di akhir Maret lalu (selama
setahun anggaran) cuma Rp 1,6 milyar lebih sedikit. Dari jumlah
tersebut, disalurkan untuk dividen Rp 678 juta. Ini diperoleh
setelah dikurangi bonus Dewan Komisaris dan Direksi Rp 25 juta,
di samping cadangan Rp 881,3 juta. Dividen Rp 1.000 per saham
atau 20% dari nilai nominal itu mulai dibayarkan per 1 Nopember
nanti melalui cabang-cabang Rank Bumi Daya.
Cadangan sebesar itu, menurut Sadao Naruse, Dir-Ut PT Centex di
depan rapat pemegang saham belum lama berselang, adalah "untuk
menampung berbagai. kemungkinan yang kurang menguntunkan dan
untuk memperkuat posisi likuiditas perusahaan." Memang, pada
saat Centex mau menjual sahamnya kepada publik, terjadi Kenop
15, yang mengakibatkan kerugian belum terealisir sebanyak Rp
10,5 milyar. Tapi dengan suatu cara pembukuan yang cukup
kontroversil, kerugian ini ditutupi dengan surplus revaluasi
aktiva tetapnya.
Centex yang penjualannya mencapai Rp 8 milyar pada akhir Maret
1978, merupakan perusahaan patungan yang didirikan pada 1971
oleh Hadi Budiman. Bergerak sejak 1940-an di bidang tekstil,
Hadi terjun dalam Centex di tengah lima Perusahaan tekstil
Jepang, antara lain Toray dan Kanematsu sebagaipemegang saham
terbesar.
Perkembangan yang akan memperlancar bursa saham ini dengan
sendirinya akan menarik mereka yang memiliki uang lebih. Dividen
yang diberikan PT Semen Cibinong dan Centex menunjukkan bahwa
hasil dari pemilikan saham ternyata masih lebih menarik dari
pada bunga deposito berjangka atau Tabanas. "Bunga Tabanas dan
deposito berjangka itu digerogoti inflasi, sedang saham kan
mengikuti inflasi," kata J.A. Turangan, Ketua Bappepam. "Jangan
lupa, saham itu mewakili kekayaan (assets) perusahaan yang ikut
naik bersama inflasi," tambah J.E. Sereh, Dir-Ut PT Danareksa.
Kalau saja peluang untuk memperoleh laba bagi industri dalam
negeri makin baik, terutama sesudah devaluasi rupiah, dengan
sendirinya banyak orang akan tak sabar menunggu untuk bisa
membeli saham di bursa Merdeka Selatan. Kabarnya, setelah BAT
dan Tifico masuk, beberapa perusahaan terkenal lain sudah
menyatakan dirinya siap antri.
Beberapa di antaranya, menurut Turangan, adalah perusahaan
farmasi asing PT Richardson & Merrill Indonesia dan PT Squibb
Indonesia di jalan menuju ke Bogor. Juga produsen Bir Bintang,
PT Unilever Indonesia, PT Prodenta dan Good Year. Tak
ketinggalan PT Union Carbide dan PT Sinar Surya produsen
petromak di Surabaya, yrng sempat menunda niatnya setelah
terpukul Kenop dulu.
Tentu bukan karena anjuran pemerataan kiekayaan itulah yang
membuat para pengusaha pada antri mau go-public.
Tapi, "adanya fasilitas keringanan perpajakan dari pemerintah,"
kata Turangan Fasilitas itu rupanya juga diberikan kepada para
pembeli saham atau sertifikat. Bagi pembeli saham perorangan
sebanyak Rp 10 juta misalnya, tak akan dilakukan pengusutan
fiskal. Juga kekayaan saham dan sertifikatnya tak dapat
digunakan sebagai dasar pengenaan pajak. Mereka pun dibebaskan
dari pajak pendapatan, pajak atas bunga dividen dan royalti dan
pajak kekayaan yang terhutang atas nilai saham.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini