PERSIS seperti yang sudah dibicarakan. Akhirnya, kongres Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) memilih Soegeng Widjaja, Pemimpin Redaksi Berita Yudha sebagai Ketua Umum. Juga, kongres memilih Pemimpin Redaksi Pos Kota, Sofyan Lubis, dalam jabatan Sekjen. Yang semula tak santer jadi bahan ramalan ialah tampilnya Dja'far Husin Assegaf sebagai Ketua Dewan Kehormatan (DK) PWI, menggantikan tokoh pers lama, Rosihan Anwar. Bukan jabatan enak memang. Mereka inilah yang mewarisi banyak persoalan pers yang belum sempat beres. Misalnya saja tentang kode etik pers, yang menurut penilaian DK pimpinan Rosihan Anwar sering dilanggar oleh banyak media. Ini dilaporkan pada kongres ke-18 di Samarinda pekan lalu. Selain menghitung jumlah pelanggaran kode etik, DK juga telah merinci jenis pelanggaran. Ada pers yang terpaksa diperingatkan karena memuat tulisan atau gambar yang dianggap "porno". Soal pemotretan dan penyiaran foto yang dianggap "tidak pada tempatnya" pun tak luput disebut. Selama periode itu pula, DK mengirimkan 47 surat peringatan untuk surat kabar harian, mingguan, majalah, dan buletin. Dan dari jumlah ini, 44 surat peringatan menyangkut pemuatan foto tersangka atau gambar si korban kriminalitas secara terang-terangan. Soal ini memang sering membingungkan para wartawan. DK, misalnya, menginginkan agar identitas korban perkosaan yang masih berusia remaja tak dimuat lengkap. Alasannya, itu akan menghambat masa depan yang bersangkutan. Tapi yang dipersoalkan para penulis berita: sampai batas berapa tahun yang dimaksudkan dengan usia remaja? Belum ada kesepakatan. Begitu pula untuk para tersangka yang terlibat tindak pidana. DK mengharapkan, identitasnya -- foto maupun nama -- tak dimuat secara jelas. Alasannya: pers harus menghormati asas praduga tak bersalah. Tapi benarkah si tersangka sendiri merasa keberatan jika identitasnya dimuat lengkap? Senangkah mereka, misalnya, jika gambar wajahnya dimuat dengan bagian mata ditutup warna hitam oleh redaksi? Ini jadi soal dalam hal si tertuduh tersangkut tindak pidana subversif, misalnya. Mereka bukan pelaku kriminal biasa. Karena itu, mereka mungkin akan lebih suka kalau gambarnya dimuat dengan senyum mengembang ketimbang dengan muka cemberut dengan mata tertutup. Apalagi jika orang umumnya telah tahu siapa yang sedang diadili. Dalam sejarah Indonesia, bahkan pengadilan yang menyangkut kasus subversi lazim disiarkan dengan luas untuk kepentingan pemerintah. Misalnya sidang Mahkamah Militer Luar Biasa (Mahmilub) di awal masa Orde Baru dipancarkan langsung oleh RRI. Menghadapi kemungkinan seperti ini, DK baru mungkin tak akan menutup mata. Dja'far Assegaf, seperti dikatakan seorang pakar, "Punya pengalaman yang banyak dan cukup matang." Lagi pula, ia juga seorang cendekiawan, hingga bisa diharapkan akan terbuka bagi alternatif dan gagasan baru dalam bidang kode etik pers, yang memang selalu harus mengikuti perkembangan itu. Soegeng Widjaja, dengan latar belakang ABRI, juga dikenal bukan sekadar seorang tentara yang baru datang dari pertempuran. Ia sudah biasa menghadapi soal yang tak bisa diatur dengan komando. Katanya, "Untuk menertibkan wartawan, dan tugas-tugasnya diperlukan waktu yang panjang. Tak cukup dalam satu masa kepengurusan saja." Namun, sejauh ini Soegeng Widjaya nampaknya belum melihat perlunya kode etik pers PWI disempurnakan. Ketua DK Assegaf juga begitu. Ia hanya mau menambah: ia tak setuju kalau suasana persidangan yang menampilkan wajah terdakwa dimuat di surat kabar. Alasannya, itu merupakan intervensi terhadap proses jalannya sidang. Kecuali kalau terdakwa mengizinkan potretnya dimuat. "Itu pun harus di luar acara sidang pengadilan," tambah Assegaf. Sebagai gantinya, untuk menggambarkan suasana sebuah sidang, Assegaf cenderung meniru yang berlaku di Amerika. Di sana obyek hanya digambarkan dengan sket, alias gambar yang dibuat dengan tangan. Kesulitan wartawan selama ini ialah bahwa majelis hakim sendiri yang sering mempersilakan wartawan foto untuk mengabadikan suasana sidang, sebelum sidang dimulai. Kecuali bila sidang tertutup. Larangan memotret proses pengadilan di AS juga nampaknya lebih untuk menghormati mahkamah. Sebab, pemuatan foto terdakwa juga bisa dilakukan bila diambil di luar sidang. Di Singapura lain lagi: The Straits Times yang dikenal sebagai koran pemerintah yang menginginkan ketertiban, dengan terang memuat wajah tertuduh. Juga untuk kasus yang memalukan, misalnya seorang guru yang didakwa menggerayangi murid putri. Tentu saja kebutuhan di Indonesia bisa lain. Assegaf sendiri melihat masih banyak hal yang perlu dibereskan. Ia menyamakan pers Indonesia masih hidup seperti di zaman Wild West: "Kurang tahu sopan santun etika, dan main hantam saja." Maksudnya, tentu saja, kembali ke soal kode etik pers yang masih kerap dilanggar. Sebagai contoh, kata Assegaf lagi, masih ada berita yang cenderung menghakimi seorang tersangka yang belum tentu bersalah. Tapi Assegaf sadar, DK tak berhak untuk melarang. "Hak kami hanya mengimbau," katanya. Maka, ada usul agar kode etik pers itu ditumbuhkan di kalangah wartawan sendiri. Kata seorang wartawan senior di Jakarta, "Cara yang baik tentu berdialog dan mendengarkan apa yang dialami di lapangan, dan mengolah masukan dari situ". Bagaimana kalau sebuah berita yang dianggap tak sebaiknya dimuat tapi telanjur dipublikasikan ? Kalau tak terlalu berat kasusnya, menurut Soegeng, peringatan blsa dilakukan Deppen sampai tiga kali. Kalau salahnya "terlalu besar", tambah Soegeng pula, tak tertutup kemungkinan untuk dibreidel langsung. Dari pengalaman selama ini, mungkin itu yang menyebabkan pers Indonesia - dengan gaya Wild West di sana-sini -- sebenarnya cukup tak gegabah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini