S~EORANG anak Campe Lubis meninggal. Dia tidak gusar ketika tetangganya~J di Desa Rantau Panjang, Kecamatan Natal, Kabupaten Tapanuli Selatan, pulang serentak. Padahal, mereka hanya setengah jam melayat. Maka, acara penguburan anak Campe Lubis cuma diikuti famili dekat saja. "Kami seperti tak berada lagi. Tapi keadaan memaksa," kata Badiul Rangkuti, 38 tahun, Kepala Desa Rantau Panjang, kepada TEMPO . Disebut keadaan memaksa karena hampir semua anak di bawah tujuh tahun di desa itu dan dua desa tetangganya, Lubuk Kapundung dan Huta Imbaru, diserang penyakit campak (morbili). Penyakit itu terjadi akhir Oktober dan mengganas sampai akhir Desember tahun lalu. "Sedikitnya 704 anak terserang," kata dr. Hariadi, Kepala Dinas Kesehatan Sum-Ut. Penyakit ini menyebabkan demam tinggi selama beberapa hari, diikuti munculnya bintik-bintik merah sekujur tubuh. Anak-anak yang menderita umumnya gelisah, sebentar-sebentar minta minum, dan tidak mau makan. Juga terganggu oleh bercak-bercak di tubuhnya. Dalam usaha menaklukkan sang morbili banyak penduduk minta bantuan dukun. Air minum pun dimantrai. Ada yang menelan Bodrex, seperti yang dilakukan Mujid kepada anaknya yang berusia 2 tahun. Ada pula yang cuma mengompres kepala dan paha anaknya. Yang lain menenggak susu kaleng setelah diaduk dengan telur dan madu. Sedang sebagian besar pasrah dan berdoa. "Pengetahuan kesehatan kami cethek," kata Badiul Rangkuti. Penduduk ketiga desa dengan 550 keluarga itu akhirnya berkabung berkepanjangan. Kematian berpindah dari satu rumah ke rumah lain. Dua pekan kemudian seorang lagi anak Campe meninggal. Dia tak punya anak lagi. Dan air mata Paet Lubis meleleh. Dalam tempo tiga pekan, 3 dari 4 anaknya berpulang. "Kematian seperti tidak terbendung," kata Badiul Rangkuti. Dirundung dukacita yang dalam, penduduk tetap menggalang solidaritas. Tahlilan diatur waktunya. Jam sekian di rumah Campe, lalu jam berikutnya di rumah Paet. "Kepedihan kami tak tanggung. Sering terjadi, dalam sehari dua anak meninggal. Kadang-kadang 3 orang," kata Mujiddan. Sampai akhir pekan lalu, 55 orang sudah meninggal. Yang terbanyak, 31 orang, terdapat di Desa Rantau Panjang. Keadaan itu dilaporkan Badiul kepada Camat di Natal. Entah apa sebabnya, bantuan yang dimintanya tak kunjung datang. Akhirnya, penduduk mengadu kepada Tuhan. Mereka menyelenggarakan upacara tolak bala. Di Desa Rantau Panjang, acara doa itu berlangsung empat kali, di Desa Lubuk Kapundung, dua kali. Menurut Badiul, mereka sama sekali tak menduga korban akan sebanyak itu. "Kalau demam saja, 'kan biasa," katanya. Lantas mereka mulai kalang kabut ketika dalam waktu singkat, morbili mencabut lima nyawa di Desa Rantau Panjang. Badiul mengatakan, mereka sebenarnya ingin membawa para penderita ke puskesmas. Namun, sulit. Puskesmas terdekat terdapat di Desa Singkuang, yang bisa dicapai setelah menempuh perjalanan sehari dengan perahu motor di Sungai Perlampungan. Kalau hendak ke Natal, ibu kota kecamatan, perjalanannya dua hari. Ini pun ditempuh estafet.~Mula-mula berjalan kaki satu jam, lalu bersampan 45 menit menuju Lubuk Parira. Dari sini menunggu truk pengangkut kayu balok ke Pondok Rambe. Lalu berlayar lagi hampir sehari di Sungai Tabuyung, dan kemudian menyusur pantai Samudra Indonesia. Nasib baik kalau kendaraan tersedia. Pada musim hujan, truk sering terperosok ke lubang berlumpur. Morbili sebenarnya bukan penyakit yang mematikan. Penderita akan sembuh dengan sendirinya bila perawatan diberikan dengan baik. Kematian tak terhindarkan karena perawatan yang buruk dan kurangnya pengetahuan mengenai penyakit ini. Setelah demam hilang dan bintik-bintik merah memudar, biasanya penderita dilepas dari pengawasan, padahal saat-saat itu tubuh justru berada dalam kondisi yang sangat lemah. Pada masa transisi inila,h penderita terserang pneumonia atau radang paru-paru, yang bisa merenggut nyawa. Kematian juga terjadi karena buruknya gizi dan infeksi-infeksi sekunder - akibat komplikasi. Untuk mengatasi inilah vaksinasi morbili biasanya diberikam Pertimbangannya: mencegah epidemi di daerahdaerah yang kondisi kesehatannya sangat rendah -- seperti terjadi di Kecamatan Natal itu . Epidemi di ketiga desa itu akan lebih parah bila Budiman seorang mantri dari puskesmas Singkuang, tidak segera datang. Tanpa menunggu perintah atasan, mantri itu sejak November lalu berkeliling memberi penjelasan dan perawatan. Dari Budiman yang ~disebut-sebut sebagai "dewa penolong" itu barulah penduduk tahu anak-anak yang digasak campak harus dilindungi dari terpaan angin udara terbuka -- mencegah ter~adl,iya radang paru-paru. Ketika korban genap 50 orang, Tim Gerak Gcpat Kesehatan (TGCK) yang dikirim Dinas Kesehatan Sum-Ut dari Medan akhir Desember lalu tiba. Mereka segera melakukan vaksinasi. Kepada korban, diberikan sirup Ampicilin untuk mencegah infeksi sekunder. Sumber TEMPO di Dinas Kesehatan Sum-Ut mengutarakan, kematian akibat morbili diakibatkan buruknya gizi. "Daya tahan tubuh mereka lemah, ketika virus di tubuh mereka mengamuk," kata sumber tadi mengutip laporan TGCK. Ini nampaknya bertolak belakang dengan keadaan ekonomi penduduk di sana. Rata-rata mereka mempunyai kebun karet selain sawah. Harga karet sekarang Rp 700 per kilo. Haji Sakep Pulungan, misalnya, yang mempunyai 4 hektar kebun karet, mengutip hasil Rp 10 ribu sehari. Karena itu, mereka mampu menggaji penduduk dari desa lain untuk menderes getah. "Uang ada. Tapi bukan digunakan membeli makanan bergizi," kata sumber TEMPO di Kantor Gubernur Sum-Ut. Sukar menemukan sayur di ketiga desa itu. Ikan segar kadang-kadang saja datang dari Desa Tabuyung. Akibatnya, penduduk ~lebih ~anyak makan dengan lauk ikan asin atau ikan limbat salai. Dilihat dari aspek lingkungan, nampaknya ketiga desa itu sulit digempur penyakit menular Perkampungannya bersih. Ternyata, semua kelebihan ini ambruk dijebol morbili. Karena itu, sekarang Badiul mengerti betul makna puskesmas beserta perangkatnya. "Tolonglah, puskesmas dibangun disini. Supaya kami melek kesehatan," kata Badiul, mengibakan. ~Monaris Simangunsong & Affan Bay (Medan)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini