H~ARI-hari ini Polda Sum-Bar sedang mengusut seorang notaris. Ketika diperiksa polisi akhir Desember lalu, Yuyu Tristanti, bahkan menangis. "Saya khilaf, keliru," ujar notaris berparas cantik itu. Ia telah menerbitkan 4 di antara akta jual beli sebidang tanah yang itu ke situ juga. Akibatnya, sekitar 8 hektar tanah milik 18 penduduk di Desa Sungai Sapih, Padang, jatuh ke tangan yang tak berhak. Tersebutlah Rajo Intan, 66 tahun. Pada 1981 ia menjual 2 hektar tanah milik suku Tanjung kepada Zainal seharga Rp 8 juta, secara kredit. Empat hektar lagi dijual Rajo kepada Cuaca Usmanto senilai Rp 14 juta. Tapi yang baru dibayar hanya Rp 6,5 juta. Sisanya, dijanjikan dilunasi belakangan. Untuk menguatkan transaksi, akta jual beli tanah yang 6 hektar dibuat di depan Notaris Yuyu. Waktu itu disepakati, sertifikat tanah yang 8 hektar dipegang Cuaca Usmanto. Setahun kemudian, Cuaca, yang pedagang kelontong itu, memanfaatkan kecelakaan lalu lintas yang menimpa Rajo sewaktu dirawat di RSUP dr. M. Jamil, Padang. Berlagak hendak melunasi utangnya, ia minta Rajo berkenan menandatangani dua surat. Rajo, yang saat itu diinfus pada bagian mulut dan hidungnya, tak lagi meneliti berkas yang disodorkan Cuaca. Ia percaya surat itu untuk melengkapi permohonan kredit Cuaca ke bank, agar sisa jual beli tanah itu bisa ditunaikan. Merasa umpannya kena, Cuaca menyelipkan duit Rp 50 ribu ke kantung Rajo. Setelah pulang dari rumah sakit, Rajo kaget. Apa yang ia teken dulu rupanya akta jual beli "lunas" dari tanah yang 8 hektar itu - padahal yang dibeli Cuaca hanya 4 hektar. Ia semakin curiga karena akta yang dibuat Notaris Deetje Farida Djanas tersebut tertanggal 7 Januari 1982. Ia ingat bahwa surat yang ditekennya ketika dia masih di RSUP bertanggal 2 Juni 1982. "Saya telah dikecoh," ujar Rajo. Ia blingsatan pula setelah tanah yang seolah sudah milik Cuaca itu di~jual kepada Feriyanto Gani, 42 tahun. Feri, dealer mobil dan pemilik apotik Farmasia, membeli tanah tersebut Rp 241 juta, dengan uang muka Rp 51 juta. Akta jual-belinya diterbitkan Yuyu. Bertahun-tahun Rajo berupaya menempuh jalan damai. Gagal. Dan pada Desember 1986 Cuaca kabur dari Padang. Rajo panik. Malah upaya wakil suku Tanjung yang berulang kali menghubungi Deetje dan Yuyu itu buntu pula. "Mereka tak mau melayani saya," ujar Rajo. Merasa hak sukunya melayang begitu saja, pada 18 Desember 1986 Rajo mengadu ke Kapolda Sum-Bar. Setelah itu, polisi menyatakan Cuaca sebagai buron. Sementara itu, kedua notaris itu diperiksa polisi sebagai tersangka yang dianggap telah bersekongkol dengan Cuaca. Mereka dikenai tahanan luar. "Saya yakin, mereka tak akan lari," ujar Kapolda Sum-Bar, Kolonel Drs. Sieman Supardi kepada TEMPO. Tapi Deetje tak merasa bersalah dan menyangkal membuat akta jual-beli lunas. "Yang saya bikin adalah akta perjanjian jual beli," katanya. Menurut dia, akta semacam itu boleh diminta oleh siapa saja, asal memiliki syaratnya. "Dan Cuaca memiliki semua syarat itu, seperti sertifikat yang dipegangnya, dan itu membuktikan bahwa dialah pemiliknya," ujar Deetje. Lain dengan Yuyu. Ia mengakui telanjur menerbitkan akta tumpang tindih. "Saya lupa pernah mengeluarkan akta jual beli untuk Zainal itu," katanya. "Saya terpengaruh pada sertifikat yang dipegang Cuaca." Feri, yang tertipu Rp 51 juta, hingga kini tak mengadu ke polisi. Ia sudah tiga kali dipanggil, ogah hadir. Sebaliknya, Zainal ikut mengadukan Cuaca. Dan polisi terpaksa bekerja keras mengusut, apa ada kongkow-kongkow antara Cuaca untuk menguasai tanah ulayat yang telah bersertifikat sejak 1980 itu. Kini tanah terperkara itu berstatus "tak bertuan". Pengadilan Negeri Padang telah menyita tanah itu -- berikut surat-suratnya -- untuk kepentingan pemeriksaan polisi. Bersihar Lubis, Fachrul Rasyid & Teguh Sulistio (Padang)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini