Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hasilnya? "Badan segar terus," kata Gunawan, yang berusia 63 tahun. Sejak sepuluh tahun silam, Gunawan, yang juga staf teknisi RSAL Mintohardjo ini, rutin menghirup oksigen dengan tekanan tinggi. Dengan terapi itu, Gunawan mengaku jarang diganggu penyakit langganannya selama bertahun-tahun: flu, pegal, atau linu-linu. Saking mantapnya dengan terapi yang dijalaninya, Gunawan dengan bangga mengaku, "Banyak yang bilang, saya tampak sepuluh tahun lebih muda."
Terapi yang dilakoni Gunawan itudisebut oxygen hyperbaric (OHB)sebenarnya bukan barang baru. RS Mintohardjo sudah menerapkan metode ini sejak 12 tahun lalu. Tapi, sebagai terapi alternatif, hiperbarik menarik perhatian setelah dari ke hari terapi ini menjadi salah satu layanan favorit kedokteran kelautan dan banyak yang melakukannya untuk tujuan membugarkan tubuh. Makin meluasnya terapi ini di kalangan umum memunculkan kekhawatiran tersendiri karena pemakaiannya tidak bisa sembarangan. Hal itu mengemuka ketika, dua pekan lalu, 19 dokter spesialis kelautan angkatan pertama dilantik Ikatan Dokter Indonesia (IDI).
Tahun lalu, RSAL Mintohardjo menerima hampir 17 ribu pasien terapi oksigen atau lebih dari dua kali lipat pasien tahun 1998. Tren peningkatan juga terlihat di empat rumah sakit tempat terapi oksigen diterapkan, di RS Dr. Soetomo Surabaya, RS Umum Pusat Medan, RSAL Ambon, dan RSAL Tanjungpinang.
Menurut Adi Riono, Kepala Bagian Hyperbaric Medicine Center RSAL Mintohardjo, OHB punya dasar medis yang kuat untuk dipergunakan sebagai terapi beberapa penyakit. Secara teoretis, Adi menjelaskan, oksigen (O2) mengikat hemoglobin atau sel darah merah menjadi HbO2. Senyawa inilah yang memacu lancarnya aliran darah sampai ke wilayah yang sulit dijangkau karena penyakit. Lalu lintas metabolisme pun jadi rapi dan tubuh terasa nyaman. Pada kondisi kelebihan oksigen (hiperoksia), sel-sel yang ausakibat radiasi, luka kronis, atau memang sudah tuaseperti mendapat baterai baru. Dengan pertolongan energi oksigen, sel-sel aus tadi memperbarui diri sehingga segar kembali. Kemampuan sel darah putih yang bertugas memangsa kuman dan racun juga terdongkrak. Singkatnya, "Bibit-bibit penyakit dibuat tak berdaya," kata Adi.
Meski punya sederet keunggulan, terapi hiperbarik bukan segala-galanya. Pengobatan konvensional tetap dibutuhkan untuk mengobati penyakit berat. "Jadi, hiperbarik itu seperti pembuka jalan," kata Adi.
Berkembang di Eropa sejak awal 1930-an, terapi OHB pada mulanya dipergunakan dalam misi penyelamatan awak kapal selam militer. Setelah terbukti sukses, terapi serupa diterapkan di darat dengan berbagai penyesuaian. Tekanan udara, misalnya, dibuat mirip dengan kondisi 12-14 meter di bawah laut. Dalam kondisi ini, oksigen lebih mudah masuk dan "mereparasi" sel tubuh.
Tentu saja, OHB punya dampak negatif. Itu yang membuat OHB tidak bisa dipakai sembarangan. Kadang kala, kelebihan pasokan oksigen bisa membuat kejang beberapa saat. Kalau hanya begini, biasanya tubuh bisa menyesuaikan diri sehingga kejang-kejang pun akan hilang. Yang lebih gawat adalah bila terjadi keracunan kronis akibat proses oksidasi oleh oksigen yang menghasilkan radikal bebassubstansi tak stabil yang bersifat merusak sel. Bila yang dirusak adalah sel pembuluh darah di jantung dan otak, pasien bisa terkena serangan jantung dan stroke.
Namun, menurut Adi, keracunan kronis hanya timbul pada OHB tiga minggu berturut-turut dengan tekanan ekstrem tinggi. Sesuai dengan patokan medis, tekanan yang aman adalah 2-3 atmosfer. "Dokter pasti memakai prosedur standar yang aman," katanya. Selain itu, sebelum menjalani OHB, pasien harus melalui uji kesehatan menyeluruh. Pasien dengan pneumothorax (penyumbatan aliran napas ke paru-paru), misalnya, tak boleh menjalani OHB. Sebab, pada pasien seperti itu, pasokan oksigen akan menyebar secara tidak normal dan akibatnya justru membahayakan si pasien.
Pendapat senada juga muncul dari Agus Purwadianto, Ketua Wilayah IDI Jakarta. Sejauh ini, IDI memang belum mencatat keluhan serius tentang terapi hiperbarik. Namun, Agus mengingatkan, terapi ini hanya boleh digelar rumah sakit yang komplet dengan dokter yang kompeten. Jadi, bila ada tawaran hiperbarik dari klinik kecil yang tak jelas statusnya, kata Agus, "Abaikan saja."
Mardiyah Chamim, biro Jakarta
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo