TIGA mobil balap warna-warni itu bersiap-siap untuk start. Begitu panitia mengisyaratkan lomba dimulai, ketiga mobil itu langsung meraung-raung, melaju, dan berpacu di lintasan tiga jalur yang sepintas mirip ular sedang bergelung-gelung.
Yang diadu bukan mobil sungguhan, melainkan Tamiya—sebutan populer mobil balap mungil yang tenaga penggeraknya adalah motor listrik kecil bertenaga baterai 1,45-1,5 volt. Meski begitu, pesertanya tak biasa: seratus persen orang dewasa. Mereka datang dari Jakarta, Bandung, Surabaya, Bali, dan Lampung. Umumnya mereka berasal dari kalangan pengusaha, wiraswasta, dan mahasiswa. Malah ada yang sudah sangat senior, berusia 55 tahun. Menurut Gim Ginting, Sport Club Manager Taman Palem, Cengkareng, setidaknya 300 orang partisipan mengikuti lomba.
Lintasan yang digunakan melengkapi suasana yang tak biasa itu. Lomba yang digelar bersama sebuah perusahaan batu baterai pada bulan lalu itu menyediakan trek sepanjang 1,007 kilometer, dengan salah satu jalurnya setinggi 3,37 meter. "Belum pernah ada lintasan balap mobil mainan sepanjang ini," kata Paul Pangka, Manajer Museum Rekor Indonesia (Muri), yang mencatatnya sebagai rekor ke-873 di Muri.
Dirangkai sehari penuh, lintasan yang disusun dari tiga racing line berupa kepingan plastik warna-warni sepanjang 35 sentimeter itu terdiri atas 261 jalur tikungan dan 413 jalur lurus. Menurut Patrik S. Dharma, pengelola Taman Palem sekaligus penggagas lintasan raksasa ini, pemasangan trek itu memakan biaya kira-kira Rp 40 juta.
Lintasan raksasalah yang membuat minat berlomba dari para peserta bergelora. "Menang di lomba adalah posisi bergengsi," kata Freddy Wijaya, 48 tahun, peserta dari Kosambi, Jakarta Barat. Kemenangan di lintasan rekor Muri, ujarnya, adalah kebanggaan tersendiri karena "itu lintasan terpanjang di dunia."
Harun Zakaria, pemain paling senior dalam lomba di Palem, berpendapat serupa. Tapi ada yang paling menarik. "Saya juga memburu hadiahnya," ujar bapak tiga anak itu, yang pernah membawa pulang Isuzu Panther karena menang lomba, di samping hadiah lain yang kini ia kumpulkan di rumahnya.
Hadiah yang diharapkannya luput. Sebab, hari itu pemenangnya adalah Freddy. Tidak hanya memboyong gelar juara dengan mencatat rekor 2 menit 76 detik, Freddy bahkan memasukkan tiga mobilnya ke semifinal dan final. Lebih beruntung lagi, Freddy melenggang tanpa lawan di semifinal. Jadi, ia menyikat empat gelar sendirian.
Lintasan raksasa itulah yang membuat babak demi babak sulit dilalui. Persiapan serius, bahkan memboyong peralatan lengkap yang bisa meliputi mesin bubut, kunci pas, minyak pelumas, dinamo motor, karet ban, alat pengukur kecepatan, dan bermacam spare part lain, belum bisa menjadi jaminan.
Beginilah yang mesti dilalui mobil-mobil peserta. Selepas start, trek yang akan dilewati tiga mobil masih gampang: jalur lurus dan belokan biasa. Di setiap belokan, dari tepi lintasan terdengar suara mendesing layaknya suara knalpot dari mobil sungguhan. Memasuki meter kesepuluh, belokan dan tikungan tajam mulai menanti. Lolos dari sini, mobil harus melewati sebuah lintasan spiral yang melingkar ke atas, kemudian harus turun kembali dengan belokan tajam.
Mobil balap kemudian harus bisa melewati jalan mendaki berupa slope (gunung) untuk kemudian melakukan lompatan (jumping) melewati rintangan berupa ombak kiri-kanan (wave) dan empat buah halilintar sepanjang 43 sentimeter. Jika nyangkut, bisa dipastikan mobil terpental ke luar trek. Beberapa meter menjelang garis finis putaran (lap) pertama, ada satu rintangan lagi yang jauh lebih sulit, yakni melewati jumping putus—dirancang ke arah datangnya mobil. Setelah itu, mobil peserta harus menyelesaikan dua putaran lagi dengan jalur dan tingkat kesulitan yang sama.
Freddy, yang sudah mengenal Tamiya sejak 1990 dan pernah menang dalam sejumlah lomba, menjelaskan bahwa yang menjadi penentu adalah setting mobil. Dalam jarak sekitar satu kilometer, untuk mencapai finis dalam tiga putaran, pemain harus mencari mesin yang bisa tetap kencang dan tidak ngedrop. Hal terpenting dalam setting mobil, menurut dia, adalah memainkan dinamo. Salah satu keistimewaan mobil-mobil balap miliknya adalah kawat hitam pada dinamo, yang tidak dimiliki pemain lain. "Kalau mobil saya sudah di depan, pasti berat mengejarnya, kalau tidak mengharapkan mobil saya terjungkal saja," katanya bangga.
Untuk spesifikasi dan konfigurasi mobil dengan trek tertentu, ia punya tips sendiri. Untuk jenis speed, mobil yang dipakai adalah mobil buntung (polos). Bahan mobil ini mayoritas plastik, kecuali as. Bagian belakang dan depannya diberi roda kecil agar tetap lancar di jalur halilintar.
Jenis standar jelas lebih susah daripada speed karena ada rintangan, semisal loncat 4-6 meter tapi harus bisa masuk trek lagi. Untuk itu, pemain harus mengenali bagaimana jatuhnya mobil. Kalau jatuhnya nungging, ban belakang dikecilkan. Kalau jatuhnya mendongak, ban belakang dibesarkan. Mobil jenis ini tidak ada remnya seperti jenis yang berlaga di handicap.
Setelan dinamo pun berbeda. Gear-nya memakai gear perantara, tak seperti handicap yang memakai gear langsung. Antena di mobil standar ini pun harus diperhatikan betul, untuk kestabilan mobil. "Main 4WD mini ini seperti mobil balap beneran saja. Satu kali mobil punya hasil yang bagus di trek tertentu, jelas bisa berbeda hasilnya di trek lain," kata Freddy.
Untuk mendapatkan spesifikasi itu, Freddy pun lebih banyak memilih spare part alternatif. "Tamiya yang umum dijual di toko itu memang untuk mainan anak-anak, tidak bisa lari, bukan untuk balapan. Paling, kalau mau balap, diambil sasis dan roller-nya saja," katanya.
Tamiya di Indonesia sudah digemari sejak awal 1990-an. Karena waktu itu harganya mahal, hanya orang dari kalangan atas yang mampu membelinya. Sekarang, mengingat sudah banyak produsen yang membuat mobil balap sejenis Tamiya, harganya bervariasi, dari Rp 10 ribu hingga Rp 70 ribu. Karena itu, pemain Tamiya tak lagi cuma kalangan berada, tapi juga kalangan bawah.
Khusus untuk balapan dengan handicap tinggi, biaya yang harus dikeluarkan untuk merakit mobil yang layak tanding memang jauh lebih mahal. "Satu mobil itu bisa menghabiskan biaya Rp 600-700 ribu," ujar Freddy. Harun malah menunjuk angka Rp 1 juta.
Kenapa harus merakit Tamiya? "Mobil itu sangat sensitif. Bahkan ngeset mobil itu harus di atas pelataran yang licin seperti kaca," kata Harun. Semua itu, menurut dia, sangat bergantung pada jenis lomba yang akan diikuti. Di arena balapan, misalnya, ada batasan seperti boks start. Mobil-mobil yang masuk ke lubang start berukuran tertentu, misalnya 104 milimeter atau 148 milimeter (lebar dari ujung roller ke ujung roller). Kalau main speed, itu bebas, tidak pakai boks start. Yang penting masuk ke trek yang lebarnya 115 milimeter.
Sebenarnya Tamiya hanyalah salah satu merek dari mobil mainan ini. Masih ada merek lain seperti Academy (Korea), Auldey & Okami (Jepang), dan Gokey & Twinkk (Cina). Namun, sebagai pelopor, akhirnya Tamiya yang menyandang nama untuk produk mainan itu.
Bagi penggemar Tamiya, kesempatan menguji hasil rakitannya dengan rakitan orang lain merupakan tantangan yang tidak boleh dilewatkan. Menurut Bambang Nugroho dari ABC Alkaline, sedikitnya ada 50 tempat di Jakarta yang menggelar kompetisi Tamiya. Setiap lomba biasanya diikuti setidaknya 25 tim yang masing-masing terdiri atas 4-5 orang. Karena itu, untuk Jakarta saja, ia memperkirakan ada lebih dari 10 ribu orang penggemar aktif Tamiya saat ini. "Belum yang dari kota besar lainnya."
Freddy, Harun, dan mungkin juga penggila Tamiya lainnya akan terus berburu komponen-komponen terbaik untuk rakitannya. Mereka pun menunggu kabar baru tantangan berikutnya: lintasan yang lebih panjang dan halilintar yang lebih gila. Siapa berminat menggelarnya?
Budi Putra, Levi Silalahi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini