Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SENYAP dan hitam. Di ruangan yang bercahaya berkelebatan itu, empat anak muda tenggelam dalam permainan jelangkung. Tak sukses mendatangkan hantu, mereka pun bubar jalan. Dalam keremangan, seperangkat korek api pun bergerak-gerak di atas meja, pertanda yang dipanggil telah hadir. Dan malam itu, sang "tamu" menteror para remaja itu dalam bentuk yang menyeramkan. Selamat datang di dunia horor Indonesia!
Tusuk Jelangkung garapan sutradara Dimas Djajadiningrat dimaksudkan sebagai sekuel dari film Jelangkung karya Rizal Mantovani dan Jose Purnomo, yang membeludak dan menggegerkan Indonesia itu. Film dahsyat? Dari segi penonton, ya. Dari segi kehebohan, ya. Dari segi isi, sebaiknya baca saja resensi majalah ini dua tahun silam.
Jadi, marilah kita tak terlalu berharap banyak. Ini adalah sebuah keputusan komersial yang bisa dimaklumi. Tak cukup dengan judul yang cuma ditambahi kata "tusuk", film yang juga diproduksi oleh Rexinema ini memakai pola cerita yang sama dengan pendahulunya. Sekelompok anak muda kaya di Jakarta, penasaran mau ketemu hantu, iseng-iseng main jelangkung dan, jreng, sang hantu betul-betul datang. Mereka diuber-uber sampai akhirnya harus datang ke "tanah tumpah darah" si setan di Desa Angkerbatu untuk mencabut kutukan itu.
Kini mereka menggunakan tokoh-tokoh yang berbeda, yang lebih muda dan segar, dan sosok hantu yang baru (hostes bunting). Tapi, selebihnyanamanya juga keputusan komersialtentu mereka harus menggunakan pola yang sama. Improvisasi yang tampak di film ini adalah teknis pengambilan gambar yang nyaris menyerupai klip video. Pendekatan ini juga wajar saja karena Dimas Djajadiningrat adalah seorang sutradara klip yang terkemuka saat ini.
Lalu, kenapa film-film hantu (di televisi atau layar lebar) menjadi primadona baru bagi para produser dan sineas? Memancing desir adrenalin melalui rasa takut yang "seru" seperti yang telah dilakukan genre The Sixth Sense? Lupakanlah. Hantu-hantu dalam berbagai film Indonesiatermasuk film inibelum berhasil meyakinkan kita tentang realitas hantu. Mereka terkesan tempelan, bahkan lebih terlihat menggelikan. Ada hostes bunting, ada beberapa sosok seram lain yang tak jelas hubungannya. Yang penting hantu. Belum lagi setting yang dipaksakan untuk terlihat seram. Memang, tak mudah menjadi yang kedua.
Andari Karina Anom
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo