Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KOTAGEDE baru memulai pagi. Renjani (Ria Irawan) terpekur menatap tanah pekuburan. Jasad seorang bayi baru dimakamkan pagi itu. Peristiwa yang tak luar biasa bagi wanita itu. Sangat biasa. Sebagai pengurus panti asuhan khusus bayi cacat, Renjani akrab dengan sakit, kematian, dan kepedihan. Dalam dunia yang muram itu, dia temukan kebahagiaan yang bahkan tak bisa ditukar dengan cinta seorang Bisma (Nicholas Saputra).
Sayang, kebahagiaan (dan kepedihan) itu tak bisa ditularkan ke penonton. Sepanjang film, kita akan disuguhi adegan penuh kemuraman dan pesimisme yang tak berhasil menyentuh, apalagi mengharukan. Latar belakang kehidupan anak cacatyang menurut Bisma "bagaikan biola tak berdawai karena tidak ada gunanya hidup di dunia"adalah pilihan yang berani sekaligus riskan. Walhasil, film ini hanya terjebak pada kesedihan dan kelambanan belaka.
Film debut Ayu Asmara ini dibuka dengan adegan kematian, ditingkahi musik yang menyayat (yang lebih menarik jika dinikmati tanpa film ini). Lalu, meluncurlah dialog-dialog yang lamban dan berpretensi menggapai "ketinggian". Pretensi dialog "serba tinggi" ini terasa semakin kental setiap kali adegan itu melibatkan Renjani dan Mbak Wid (Jajang C. Noer). Dan apa boleh buat, Nicholas Saputra ikut terseret ke dalam arus besar film ini.
Belum lagi, banyak hal yang menggantung. Tidak jelas juntrungannya mengapa pemain biola yang muda dan tampan itu tiba-tiba jatuh cinta pada Renjani, yang jauh lebih tua dan mempunyai masa lalu kelam. Tak terlihat adanya chemistry di antara mereka berdua. Di layar, mereka berakting bak sebuah adegan teatrikal dengan dialog "tingkat tinggi".
Kehadiran seorang Dewa (Dicky Lebrianto), bayi cacat penghuni Rumah Asuh, lebih tepat disebut pemanis ketimbang jiwa seluruh film. Dia menjadi sekadar penegas karakter Renjani sebagai peri baik hati. Begitu putih hatinya sampai ia tak mau membuka pintu untuk Bisma (yang diperankan oleh Nicholas Saputra yang tampan itu lo) lantaran "sudah sampai pada hidup yang dicita-citakannya". Wow .
Sangat disayangkan, kemampuan Ria Irawanyang pernah berdiri di puncak kejayaannya dalam Selamat Tinggal Jeannettetak tergarap dalam film ini. Pada akhirnya, segalanya banyak bergantung pada sentuhan sutradara. Untunglah, masih ada Nicholas Saputra, yang masih "menolong" segala yang lamban dalam film ini.
Andari Karina Anom
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo