Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gaya Hidup

Memacu peran rs swasta

Depkes mengharapkan peran rumah sakit swasta menjadi 50% dalam pelayanan kesehatan masyarakat, dengan status rumah sakit umum. Tapi RS swasta belum siap, dan ada yang cuma adu mewah. tantangan bagi RS swasta.

27 Februari 1988 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

RUMAH sakit swasta di masa lalu tak berbeda jauh dari hotel. Membantu keterbatasan rumah sakit pemerintah, RS swasta menawarkan fasilitas rawat menginap - perawatan intensif yang tidak mungkin dilakukan di rumah. Sebagian rumah sakit berusia tua - umumnya rumah sakit Katolik - masih menampakkan ciri ini. Tenaga kesehatan yang ada di sana cuma perawat. Tenaga dokter umumnya berstatus konsulen - dikonsul dan dipanggil bila diperlukan. Rumah sakit ini berbeda dari rumah sakit umum - general hospital - yang biasanya dikelola pemerintah Rumah sakit yang membutuhkan investasi sangat besar ini lengkap. Selain memiliki fasilitas rawat menginap, juga tenaga dokter dari semua bidang keahlian berikut fasilitas peralatannya. Di samping itu, juga harus memiliki Unit Gawat Darurat, sebuah spesialisasi baru dalam ilmu kedokteran, khusus untuk mengatasi keadaan-keadaan gawat, yang memerlukan organisasi dan peralatan khusus. Namun, di masa kini hampir tak ada RS swasta - khususnya yang baru didirikan - yang berniat mengandalkan perawatan saja. Umumnya berusaha menyediakan pula tenaga dokter. Maka, perkembangan rumah sakit swasta praktis sama dengan rumah sakit pemerintah. Mula-mula menjadi rumah sakit khusus, untuk satu dua penyakit, kemudian menargetkan diri untuk menjadi general hospital. Melihat perkembangan ini, Departemen Kesehatan membuka peluang bagi RS swasta untuk berperan dengan status rumah sakit umum. Dalam seminar Peran Rumah Sakit Swasta di Hotel Horison, Jakarta, Sabtu pekan lalu, Direktur Jenderal Pelayanan Medik dr. Moh. Isa mengemukakan hal itu. Depkes, menurut Isa, mengharapkan peran RS swasta menjadi 50% dalam waktu dekat. Dan di tahun 2000, kalau mungkin malah menjadi lebih besar. Klasifikasi untuk RS swasta pun sudah disiapkan RS Pratama dengan syarat-memiliki fasilitas dan tenaga perawatan untuk 4 bidang spesialisasi (umumnya: penyakit dalam, bedah, kandungan, dan anak-anak), RS Madya, harus memiliki semua bidang keahlian (ditambah bagian anestesi atau pembiusan untuk keperluan operasi), dan RS Utama yang harus mampu mengembangkan bagian-bagiannya ke subspesialisasi. Ternyata, tidak mudah bagi RS swasta untuk menjawab tantangan Depkes itu. Salah satu masalah utama yang muncul pada seminar di Horison itu adalah masalah tenaga ahli. Sementara ini hampir semua dokter - yang terkena wajib kerja sarjana - menjadi pegawai negeri dan berkumpul di RS pemerintah. Pemanfaatan tenaganya di RS swasta umumnya menjadi tidak teratur, dan sering tidak terkendali. Tanpa tenaga tetap ini, Moh. Isa mengakui tidak mudah bagi RS swasta untuk mengembangkan diri. "Soal ini nantinya kita atur untuk mempermudah, bukan untuk mempersulit," katanya, "sebab sekarang ini selain dokter part timer banyak juga yang self timer, berstatus pegawai negeri tapi kerjanya cuma dua jam, selebihnya praktek di RS swasta." Dilema lain yang dihadapi RS swasta adalah besarnya investasi yang berkaitan langsung dengan tingginya tarif. Sebenarnya, bila dikelola dengan manajemen yang baik, tidak sulit bagi RS swasta untuk mendapat modal. Bank Perkembangan Asia yang ikut seminar Sabtu lalu itu menyatakan sejak tahun 80-an, usaha membangun rumah sakit cukup menarik bagi bank. Namun, menurut Moh. Isa, rumah sakit tak bisa dikelola hanya dengan pola komersial. Karena itu, untuk menghindari investasi awal yang terlampau besar, Moh. Isa menyatakan Depkes sedang menyusun rencana untuk menswastakan beberapa rumah sakit pemerintah. Akhir bulan ini Menteri Kesehatan akan mengungkapkannya. Mengelola RS swasta untuk berkembang sehat memang relatif lebih mudah, daripada menghitung pendanaan RS pemerintah. Ahli ekonomi kesehatan Dr. Ascobat Gani beberapa waktu lalu mengemukakan, 60% dari dana pengobatan di Indonesia pada dasarnya dibiayai oleh masyakarat sendiri. Kontribusi pemerintah hanya 40% dengan perincian, 20% diturunkan untuk membiayai RS pemerintah, dan 20% lagi untuk menunjang 500 puskesmas. Dalam seminar di Horison, Moh. Isa memang mengisyaratkan pendanaan RS pemerintah sebaiknya dialihkan ke sektor lain. Bila Sistem Kesehatan Nasional diperhatikan, tugas utama pemerintah adalah melaksanakan pelayanan kesehatan masyarakat yang bersifat preventif melalui puskesmas, misalnya imunisasi dan pencegahan penyakit menular. Dalam batasan WHO (Organisasi Kesehatan Sedunia) program ini dikenal sebagai PHC atau Prima Health Care. PHC dibedakan dari medical care atau praktek pengobatan. Medical care di negara maju umumnya ditangani RS swasta. Dengan memanfaatkan dana asuransi, RS swasta kemudian berhasil menekan biaya pengobatan. Di samping itu, dengan investasi yang berasal dari dana asuransi juga, RS swasta berhasil mengembangkan teknologi kedokteran. Di Indonesia, sistem asuransi kesehatan praktis belum berfungsi sebagaimana mestinya. Karena ini investasi serta manajemen RS swasta, mau tak mau harus mengikuti perhitungan komersial. RS Pondok Indah Jakarta, yang dibangun dengan invenstasi Rp 14 milyar adalah salah satu contohnya. Toh dr. Kiagoes, direktur medik RS swasta itu, merasa optimistis. Rumah sakit yang telah melengkapi empat bidang kedokteran ini (penyakit dalam, bedah, kebidanan, anak-anak, dan anestesi) berusaha keras meningkatkan servis. Antara lain dengan memperhatikan menu makanan agar lebih bervariasi, juga meminta perawatnya memakai lipstik. Dalam manajemen rumah sakit, kemewahan memang bukan hal prinsip, tapi di Indonesia sektor ini lebih bisa diharapkan hasilnya, daripada rencana mengembangkan tenaga ahli yang hingga kini masih menjadi persoalan ruwet. Hasilnya bed occupation rate - terpakainya tempat tidur rata-rata ukuran paling utama untuk menilai kesehatan dana rumah sakit - RS Pondok Indah, bisa mencapai 80%. Bila hotel bisa berhasil, mengapa rumah sakit tidak? Jim Supangkat, Syafiq Basri (Jakarta)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus