Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Sisi gelap sang

Profil Jusup Handojo Ongkowidjaja, ketua umum Yayasan Keluarga Adil Makmur (KAM). Para anggota KAM menganggapnya "pahlawan" yang berjuang untuk memberantas rentenir & kemiskinan. Kisah Endang Wahyuni.

27 Februari 1988 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

RUMAH itu terletak di kompleks perumahan mewah Pluit, di atas tanah seluas 1.000 m2. Persisnya, di Jalan Pluit Indah II, blok A/6, Kelurahan Penjaringan, Jakarta Utara. Atapnya tcrbuat dari kayu sirap. Tamannya hijau dan ditumbuhi bunga-bungaan. Sekeliling berpagar besi yang tinggi. Sungguh sulit untuk dlpercaya, rumah semewah im ternyata milik Jusup Handojo Ongkowidjaja, ketua umum KAM yang selalu berpidato berapi-api mengobarkan semangat kaum ekonomi lemah. Selama ini, di mata para pengurus dan puluhan ribu anggota KAM, Ongko adalah seorang yang amat sederhana. Seluruh hidup dan pemikirannya sepertinya tertumpah untuk memajukan yayasan yang dikoar-koarkannya sebagai sistem baru untuk mendobrak ketidakadilan perbankan. Menurut Ongko, bank hanya memberi kredit bila ada agunan, padahal yang memiliki agunan adalah orang-orang kaya juga. "orang miskin mana punya barang agunan? Makan saja sudah sulit," katanya suatu kali. Karena itu, KAM datang memberi kredit tanpa mensyaratkan barang jaminan, cukup dengan fotokopi KTP dan kartu keluarga. Yayasan itu pulalah yang dijanjikan Ongkowidjaja akan menolong anggotanya dari jerat kaum rentenir. Ongko memberi contoh betapa sederhana hidup yang dijalaninya. Bersama "istri"-nya Endang Wahyuni dia tinggal di sebuah kamar yang sumpek, empat kali empat meter, di lantai tiga kantor di Jalan Zainul Arifin itu. Baju yang dipakainya - demikian juga Endang - terbuat dari bahan murahan dan selain tampak lusuh. Lihat pula betapa sederhananya peralatan yang ada di kantor itu. Semua dari bahan murahan, termasuk meja kerja sang pemimpin sendiri. Mobilnya memang Mercedes, tapi sudah butut, keluaran tahun 1976. Dia rupanya memang membangun sebuah pentas yang sempurna di kantor KAM. Tapi di depan polisi, sandiwara itu rontok. Dalam pemeriksaan Jumat malam pekan lalu, Ongko mengaku bahwa dia membeli rumah di kompleks Pluit yang disebut di atas. Menurut akta jual heli yang dibuat Notaris Didi Sudjadi, 24 Desember 1987, rumah itu dibeli Ongkowidjaja dari Sujono Wirjoprawiro, alias Tan Kian Hong, seharga Rp 150 juta. Tapi diduga harga yang tercantum lebih rendah dari yang sebenarnya. Berdasarkan harga pasaran setempat, rumah dan tanah itu paling tidak bernilai Rp 400-an juta. Sejak dibeli dan sampai disita polisi, Sabtu pekan lalu, rumah itu belum pernah ditempati dan masih diperbaiki. Menurut rencana Ongko, rumah itu akan diberikan kepada anaknya yang sulung, Ribkah Handayani Ongkowidjaja, 21 tahun, dan adiknya James, 19 tahun. Pada hari itu juga polisi menyita uang kontan Rp 21,5 juta dari tangan James, mahaslswa sebuah perguruan tinggi swasta, putra kedua Ongko. Sebulan yang lalu, sang ayah membelikan James sebuah mobil Taft GT baru'seharga Rp 27 juta. Entah mengapa sehari setelah Ongko mendekam di sel polisi, Kamis pekan lalu, James menjual mobilnya. Uang itulah yang kemudian disita polisi. "Ada orang KAM yang datang menyuruh saya jual mobil, ya saya jual. Saya nggak ngerti apa-apa," kata James kepada TEMPO. Ribkah dan James adalah dua dari empat anak Ongko dari istrinya, Nyonya Maria (bukan nama sebenarnya). Tapi, seperti dituturkan James, ayahnya sudah meninggalkan mereka sejak delapan tahun yang lalu. Keluarga ini tinggal di sebuah rumah kecil 54 m2 di kawasan Muara Karang, Jakarta Utara. Adalah sang ibu yang bekerja menjadi guru di sebuah sekolah SMP dan SMA swasta di sekitar Mangga Besar, untuk menghidupi anak-anaknya. Selain itu, Nyonya Maria juga bertugas sebagai seorang penginjil. "Paling sekali-sekali Bapak datang kasih belanja Rp 100.000,00," tutur James. Sebagai seorang anak, James tentu saja gembira mendapat hadiah mobil dari ayahnya. Akan tetapi, setelah tahu apa yang terjadi, anak muda itu sedih sekali. "Darah tinggi Ibu pun jadi kumat," keluhnya. Ongko menikahi Maria, wanita asal Malang itu, pada 1960-an. Setelah belasan tahun hidup rukun, Ongko meninggalkan Maria dan anak-anaknya, setelah dia akrab dengan seorang wanita bernama Yuli. Dari wanita ini lahir seorang anak laki-laki tapi meninggal karena kecelakaan lalu lintas di Jagorawi, pertengahan tahun lalu. Agak aneh juga bagaimana seorang yang mengaku bekas pendeta bisa meninggalkan istri dan pergi dengan wanita lain. Tapi ini jugalah agaknya sisi gelap kehidupan "pahlawan kaum ekonomi lemah" itu yang tak banyak diketahui oleh para anggota KAM. Pertengahan 1986, Ongko berkenalan pula dengan Endang Wahyuni. Ketika itu, wanita berhidung mancung dan berkulit hitam manis ini sudah delapan tahun bekerja di berbagai klub malam dan panti pijat Jakarta. "Jelasnya, saya ini hostess-lah," katanya. Waktu itu Ongkowidjaja lagi sibuk mengurus surat Izin undian SSB. "Bapak sering menjamu tamu-tamunya para pejabat untuk urusan SSB itu dan saya melayaninya, menemani minum-minum," kata Endang Wahyuni kepada TEMPO Sabtu pekan lalu. Setelah sekian lama berhubungan, sekitar November 1986, Ongko membawa Yuni begitu ia dipanggil sehari-hari tinggal bersamanya di Hotel Borobudur, Jakarta. Wanita yang belum pernah menikah ini diangkat Ongko menjadi sekretaris pribadi. Semula, menurut Yuni, 26 tahun, Ongko dilihatnya cuma sebagaimana layaknya seorang langganan biasa yang punya banyak duit. Ketika diajak Ongko tinggal bersama di hotel. itu, Yuni bersedia saja dengan syarat, diberi bayaran sekitar Rp 200.000,00/hari. Tapi setelah sebulan bersama Ongko, Yuni tak lagi minta bayaran. Perempuan asa Semarang ini mengaku akhirnya mengagum Ongko. "Dia berwibawa dan tegas dalam pendirian. Kalau dia bilang hitam, ya mesti hitam," katanya. Selain itu, Ongko rajin memberinya nasihat, mengajarinya untuk mencari jalan yang benar. Misalnya, kata Yuni, yang mengaku berasal dari keluarga Kristen itu, "Dia setiap hari mengajari saya kisah-kisah dari Bibel, seperti yang saya terima dalam sekolah Minggu dulu." Itu sebabnya, ketika kemudian Ongko meninggalkan Hotel Borobudur, Yuni ikut bersamanya. Ongko tak mampu lagi tinggal di hotel itu karena proyek SSB-nya berantakan. Surat izin SSB yang diperolehnya berkat bantuan Fachrurrozy ternyata palsu. Mereka lalu berpindah dari satu hotel murah ke hotel lain. Dan akhirnya mengontrak rumah kecil di Jalan Batu Ceper, Jakarta Pusat. Untuk kantor, Ongko mengontrak sebuah rumah toko di Jalan Zainul Arifin, di depan kantor KAM sekarang, dengan harga Rp 500.000,00/bulan. Apa lagi usaha Ongko? "Saya tak tahu jelas, tapi saya lihat duitnya selalu ada," ujar Yuni. Yang pasti, menurut Yuni, Ongko adalah seorang yang tak pernah bisa diam. Dia pernah merencanakan akan membangun pabrik minyak jarak. Setelah itu ia, membuat percobaan akan membuat "es ajaib" dengan peralatan, dari dibuat sendiri. Kedual duanya gagal. Sejak Maret 1987, siang malam Ongko sibuk dengan kertas dan mesin hitung, membuat tabel dan deretan angka. Dia sibuk pula berunding dengan beberapa teman di rumahnya, atau pergi menemui sejumlah orang. "Di antara temannya yang saya tahu ya Pak Ibnu Hardjanto," kata Yuni. Lalu pada Juni 1987, hitungan dan tabel-tabel Ongko itu direalisasikan dengan mendirikan KAM. Melalui KAM ini pula dia tampil sebagai seorang pembela kaum miskin dan korban ketidakadilan. "Setahu saya,memang Bapak hanya memikirkan orang lain, terutama orang-orang yang susah," jawab Yuni. Sebelum ada KAM, Ongko sudah dikenalnya sebagai orang yang sangat dermawan pada teman. Sebaliknya, dia kurang memperhatikan diri sendiri atau keluarganya. Endang Wahyuni mengaku hidup lebih berkecukupan semasa masih sendiri dulu. Masa itu setiap bulan dia bisa mengirim duit pada orangtua. Setelah bersama Ongko malah tidak. Tapi dia merasa tetap senang karena membantu Ongko untuk menolong orang-orang yang susah. Tatkala diangkat Ongko sebagai ketua II yayasan, Yuni masih terus bekerja sekalipun dalam keadaan hamil berat. Sabtu pagi dua pekan lalu, tiba-tiba Yuni mengalami pendarahan, dan terpaksa digotong pegawai-pegawai KAM ke rumah sakit bersalin Harapan Kita. Siang itu Yuni melahirkan bayi pertamanya. "Kalau dia nunggu empat hari lagi baru lahir, 'kan saya dapat bayi shio naga, naga emas lagi," katanya sedikit kesal. Tapi dia lebih kesal, karena Ongko tak menemaninya di rumah sakit saat melahirkan. Suaminya itu - mereka tak pernah menikah resmi - lebih asyik di kantor KAM karena kebetulan hari itu lagi ada pembayaran paket. Hampir tengah malam, baru dia menjenguk bayinya dan membujuk Yuni, "Saya mesti pikirin nasib orang-orang lebih dulu," kata Ongko. Bayi laki-laki itu diberinya nama Kurnia KAM. "Sekarang gimana namanya itu, ya? KAM sudah berantakan," katanya. Melalui KAM ini pula nasib Yuni berantakan. Baru berumur lima hari, 18 Februari yang la!u, bayinya terpaksa mendekam satu malam bersama Yuni di kantor Mabes Polri di Kebayoran Baru. Dia harus memberi keterangan sebagai pengurus KAM sekaligus istri Ongkowidjaja. Dari tangannya polisi menyita uang kontan Rp 9 juta ditambah sejumlah perhiasan yang dipakainya. "Ya, kira-kira bernilai 5 jutaan rupiah," katanya sendu. Keesokan harinya, dia dan bayinya dibebaskan, tapi mereka terpaksa menyewa kamar di sebuah rumah di kawasan Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. "Habis, saya tak bisa pulang ke kantor KAM, 'kan sudah disegel polisi," katanya. Di situ, Yuni tinggal bersama bayinya dan seorang pembantu. Mereka tidur di atas tilam yang digelarkan di semen, karena tak ada tempat tidur. Setelah diperiksa polisi, Yuni terkejut bukan main. Ternyata, Ongko dituduh melakukan perbuatan yang sama sekali tak disangka Yuni bisa dilakukan orang.seperti suaminya itu. Misalnya, tuduhan mengedarkan meterai palsu itu. Begitu pula pembelian rumah mewah, mobil, dan tanah yang dimiliki Ongko secara pribadi. Padahal, selama ini Yuni selalu mengikuti kegiatan Ongko. Bila sang ketua KAM itu turun meninjau cabang-cabang di daerah, biasanya sang istri turut mendampingi. "Saya terus-terusan 24 jam bersamanya, ternyata banyak perbuatannya yang bertentangan dengan kata-katanya selama ini, dan saya bisa tak mengetahuinya. Kok aneh, ya?" keluh Yuni tampak masih bingung. Lebih-lebih sekarang dia dibebani seorang bayi. "Mau pulang ke rumah orangtua malu. Kalau Pak Ongko lama di tahanan, mungkin saya akan kerja lagi," katanya. Amran Nasution, Tri Budianto Soekarno

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus