Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEMUA sepakat: membengkaknya KAM sampai memilikl sekitar 70 ribu anggota karena lembaga itu menawarkan kredit dengan prosedur yang mudah. Para peminat itu sepertinya tak ambil peduli pada sah atautidaknya KAM. Mereka juga tak pernah mempertanyakan bagaimana kredibilitas Yusup Ongkowidjaja sebenarnya. Mengapa bisa demikian? "Saya butuh modal," ujar Safrudin, seorang anggota KAM. "Terkatung-katung punya utang ke rentenir yang mencekik itu membuat saya kapok." Ini jawaban yang umum. Siapa yang tak tergiur dengan tawaran pinjaman, tanpa harus menyediakan agunan, yang begitu menggoda? Ekonom Anwar Nasution melihat, "Muncul dan berkembangnya YKAM merupakan pertanda kelemahan struktural lembaga-lembaga keuangan. Banyak orang yang membutuhkan kredit, tapi lembaga penyuntik dana buat orang kecil sangat kurang." Orientasi lembaga-lembaga keuangan formal yang tadinya diharapkan, melayani rakyat kecil, seperti BRI, BPD, Bukopin, dan Bank Pasar menurut Anwar - sudah mulai berubah. Mereka lebih suka melayani nasabah skala besar dan menengah. Kalaupun masih melayani kredit-kredit teri, tetap saja ditempuh tata cara yang membikin masyarakat bawah enggan. "Sementara itu, koperasi simpan pinjam belum.tumbuh." Pusat Penelitian Pembangunan Pedesaan dan Kawasan Universitas Gadjah Mada (P3PK UGM), dalam diskusi bulanannya Oktober tahun lalu, membikin kejutan. "Di Temanggung, rentenir dianggap dewa penolong," kata Hudiyanto, yang bersama Handry Imansyah - keduanya peneliti muda P3PK UGM -- mengetengahkan materi diskusi itu. Sebuah penelitian tahun 1986 yang diketuai oleh Prof. Dr. Mubyarto dipakai sebagai dasar. Ada empat desa di Jawa Tengah yang diteliti. Yakni Desa Babadsari Kecamatan Kutowinangun, Kebumen Desa Ujung Batu, Jepara Desa Mranggen Kidul Kecamatan Parakan, Temanggung dan Desa Wiro Kecamatan Bayat, Klaten. Keseluruhannya melibat 400 responden. Ketika diminta tanggapannya soal lembaga kredit macam tukang rente, sebagian besar responden menginginkan agar tukang rente tetap beroperasi. Di Ujung Batu, 30 persen responden setuju agar tukang rente dibiarkan ada. Di Babadsari, jumlah setuju lebih besar: 57,1 persen. Sedang di Desa Mranggen Kidul dan Wiro, angka itu bahkan mencapai seratus persen. Penelitian itu juga mengungkapkan berbagai pendapat masyarakat desa tentang peminjaman uang. Masyarakat Mranggen Kidul 96 persen memilih meminjam uang pada lembaga yang memberi kemudahan peminjarnan. Di Babadsari keadaannya sama: 96 persen masyarakatnya memilih lembaga yang tidak meminta jaminan. "Ini berarti masyarakat pedesaan tidak terlalu memperhatikan berapa bunga yang harus mereka bayar," kata Hudiyanto. Merasa dipercaya oleh yang memberi utangan juga merupakan pertimbangan penting bagi mereka, di Wiro 60 persen dan di Babadsari 50 persen. Ini, kata Hudiyanto, menyangkut nilai moral masyarakat: mereka tidak ingin dicurigai hendak menipu. Mereka malu bila diketahui banyak orang bahwa mereka berutang. "Kredit bagi sebagian masyarakat desa adalah persoalan pribadi," kata Hudiyanto. Maka, banyak yang memilih mencari pinjaman dari tukang rente. Menurut Prof. Dr. Mubyarto, kehadiran tukang rente di pedesaan memang tidak mengganggu dan malah diharapkan masyarakat. "Meskipun bunganya tinggi, peminjam tidak merasa tercekik." Sebab, menurut dia, peminjam bisa membayarnya dengan barang, misalnya hasil panen. Kalau tidak- mereka bisa membayar dengan tenaga - yakni dengan bekerja pada si pemberi pinjaman. "Hubungan peminjam dan pelepas uang di sana bersifat sangat kekeluargaan. Dasarnya adalah saling percaya," ujar Mubyarto. Anggapan bahwa tukang rente adalah lintah darat yang selalu mengisap darah korbannya serasa langsung terbantah melihat suasana Desa Mranggen Kidul. Desa ini terletak di kaki Gunung Sindoro, 31 km dari Temanggung, persis di titik tengah provinsi Jawa Tengah. Desa di ketinggian 1.000 meter itu dihuni 1.163 pcnduduk. Hampir keseluruhannya adalah petani tembakau, yang kadang menanam jagung dan bawang putih sebagai selingan. Sebenarnya, petani Desa Mranggen Kidul hidup cukup dari hasil tembakaunya. Hampir semua rumah sudah berdinding tembok dan dilengkapi televisi. Bahkan mobil, kulkas, dan video pun bukan barang asing bagi mereka. Ternyata, justru dengan kehidupan macam begitu mereka jadi pelanggan tukang rente. Bila hasil panen melimpah, masyarakat setempat beramai-ramai membangun rumah, membeli sepeda motor, mobil dan kebutuhan konsumtif lainnya. Tapi, begitu musim tanam tiba, mereka pun kelabakan - tak lagi punya uang buat modal menanam tembakau. Ke mana lagi mereka kalau tidak ke tukang rente yang bisa memberinya uang cepat. Menurut Purwoto, petani berusia 65 tahun pemilik 0,5 hektar tanah, "Hubungan petani di desa ini dengan tukang rente sudah terjadi sejak zaman kolonial." Para petani setempat menyebut tukang rente sebagai juragan, sebab tukang rente itu sekaligus menjadi pedagang tembakau yang membeli hasil panen mereka. Saat ini ada 5 juragan yang beroperasi di desa itu. Semuanya pedagang Cina yang tinggal di Parakan atau Temanggung. Setiap juragan, tutur Purwoto, meminjamkan uang pada sekitar 10 petani. Dikisahkan pula, hubungan petani dengan tukang rente di situ adalah hubungan antara sanak (saudara) dan juragan. "Juragan itu kebanyakan orangnya semanak (ramah)," kata Purwoto. Kapan saja petani butuh uang, bisa datang ke juragan, dan langsung mendapatkan pinjaman. Mereka sama sekali tidak bicara soal jaminan, bunga, dan jangka waktu pengembalian. Dengan tidak bercakap soal itu, berarti mereka sepakat bahwa waktu pengembalian uang diserahkan pada kemampuan peminjam, sedang sistem bunganya adalah ngitmolas. Nglimolasi berarti setiap meminjam 10 harus mengembalikan 15. Dengan kata lain,, bunganya 50 persen tanpa terikat waktu. Kalau panen baik, 3-4 bulan kemudian, saat itulah peminjam melunasi utangnya. Tapi kalau benar-benar tak ada uang, utang itu bisa diangsur 2-3 tahun dengan bunga yang tetap nglimolasi. Pada kenyataannya, tak pernah ada kasus Juragan yang menyita barang milik peminjamnya. Soalnya, petani memang selalu melunasi utangnya, cepat atau lambat. Purwoto sendiri memuji-muji juragannya. "Mereka itu perwiro, tidak tegel-tegelan (sewenang-wenang) pada petani." Mereka juga tidak mau menagih utang pada peminjam dengan datang ke rumah. Karena itu, Purwoto sering berutang pada tukang rente. Sudah 40 tahun ini ia selalu pinjam uang dari tukang rente. Tak hanya mendapat pinjaman, Purwoto juga mengaku sering mendapat bantuan lainnya. Ketika istrinya melahirkan, Purwoto juga disumbang kain, kue, dan kebutuhan dapur. Tapi kebaikan tukang rente itu ada imbal baliknya. Purwoto, seperti juga para petani setempat lainnya, sering menjual tembakau pada juragannya lebih murah dari harga pasaran. Ketika harga pasaran tembakau per kg Rp 8 ribu, bila juragan menawar Rp 7,5 ribu pun tembakaunya mereka lepas. "Saya 'kan sudah berutang budi," ujarnya. Kepala Desa Mranggen Kidul, Abu Yamin, mengatakan bahwa hubungan tukang rente dengan para petani di desanya teramat lekat. Pada musim tanam tahun lalu, menurut Abu Yamin, sepertiga jumlah petani di desanya berutang pada Juragan Joling. Joling meminjami para petani itu mulai dari Rp 100 ribu hingga Rp 2 juta. Salah seorang tukang rente di situ yang paling terkenal adalah Tan Gwa Min, yang biasa disebut Bah Gampang. Sudah 40 tahun Bah Gampang meminjamkan uang pada petani, sambil tetap berdagang tembakau. Ia mengaku memakai uangnya sendiri untuk dipinjamkan pada petani. Selama ini, menurut dia, tak pernah ada kesulitan soal pengembalian. "Kalau memang penen gagal, bunga pinjaman saya hapuskan atau diangsur tiga tahun lagi dengan bunga tetap," kata Bah Gampang. Nyatanya, uangnya selalu kembali. "Petani itu jujur. Jika memang punya uang mengaku punya, dan kalau tidak punya memang tak bisa dipaksa." Hubungan peminjam dan pelepas uang gaya Temanggung itu memang khas. Dr. Loekman Soetrisno, peneliti P3PK UGM, menyebut peran tukang rente di situ adalah sebagai patron masyarakat. "Ia merupakan sumber informasi, inovator, dan agen perubahan masyarakat pedesaan," kata Loekman. Tapi, tentu saja, peri laku tukang rente tak selalu semanis itu. Contohnya, pada 1977, Nyonya Yoyoh Yohaini harus mendekam di bui selama setahun lantaran tak mampu membayar utangnya pada tukang rente senilai Rp 500 ribu, yang telah membengkak hingga Rp. 3 juta (TEMPO, 4 November 1978). Dan lintah darat model begini masih banyak berkeliaran. Bagaimana cara membasmi lintah darat? Anwar Nasution mengusulkan agar pemerintah membangun bank sekunder lebih banyak lagi, seperti halnya koperasi simpan pinjam dan sejumlah lembaga kredit pedesaan yang kini telah ada. Hal serupa juga disuarakan oleh para ahli UGM. "Menyaingi rentenir, ya, harus dengan lembaga simpan pinjam yang efektif," kata Mubyarto. Lembaga yang dikatakan Mubyarto bukannya tak ada. Di Sumatera ada Lembaga Petitih Nagari. Jawa Tengah mengenal sistem Badan Kredit Kecamatan (BKK). Jawa Timur memperkenalkan Kredit Usaha Rakyat Kecil (KURK), dan Bali mempunyai Lembaga Perkreditan Desa (LPD). Semua itu - biarpun tak melesat seperti YKAM tetap tumbuh sehat. Di Desa Adat Luk-luk, Kabupaten Badung, Bali, LPD berjalan lancar. Berdiri tiga tahun silam, lembaga itu tahun lalu (data sampai September) mampu memberi pinjaman Rp 60 juta, dari sebelumnya hanya Rp 14 juta. LPD Luk-luk juga berhasil menarik pinjaman hingga Rp 73 juta. Lembaga itu tak menahan barang sebagai jaminan pinjaman. Namun, peminjam tetap harus mencatumkan nama barang jaminannya dalam formulir yang diisi. Bila peminjam nunggak? "LPD sepenuhnya terikat oleh Desa Adat. Adat di Bali terkait dengan agama," kata I Nyoman Sarna, Ketua LPD Luk-luk. Ia tak khawatir nasabahnya nakal. Kendati begitu, LPD masih menyiapkan tiga tingkatan sanksi, andai kata hal itu terjadi. Di Jawa Timur, Kredit Usaha Rakyat Kecil sudah dimulai sejak tahun 1979. Modal keseluruhannya adalah Rp 639 juta, bantuan USAID (United States Agency for International Development) dan pemerintah RI, yang disebarkan ke 376 desa di 4 kabupaten di Madura. "Orang Madura tidak suka bunga, karena dianggap riba," kata Hery Trisanto, staf Bappeda JawaTimur. Namun, mereka mau menerima istilah "biaya pengelolaan" yang fungsinya sama dengan bunga. Kini KURK telah meliputi 1.218 desa (sekitar 15 persen jumlah desa di Jawa Timur) dengan 264 ribu peminjam. Uang yang dikelolanya telah mencapai Rp 7,4 milyar. Salah satu KURK teladan, di Desa Banyu Sangkah, Tanjung Bumi, Bangkalan, berhasil menggelembungkan modalnya Rp 500 ribu menjadi Rp 256 juta." Di Jawa Tengah, Gubernur Ismail membanggakan Badan Kredit Kecamatannya. "Agar mereka terlindung dari para pelepas uang," ujar Ismail. Hingga November tahun lalu, ada Rp 17,9 milyar dana yang disalurkan BKK yang berada di tangan peminjam. Sedang kekayaan bersih BKK mencapai Rp 10 milyar, yang merupakan milik 390 BKK se-Jawa Tengah. Namun, mencari pinjaman di BKK tak semudah pada tukang rente. Lembaga ini tetap menuntut adanya agunan. Kredit pun baru akan keluar seminggu setelah pengajuannya. Dan pinjaman terbatas sampai 6 bulan. Bunganya jauh lebih murah dari yang diberlakukan tukang rente, walaupun untuk ukuran perbankan masih sangat mahal. Yakni 10 persen untuk tiga bulan. Betapapun menyenangkan kabar bahwa lembaga-lembaga kredit pedesaan terus tumbuh, jumlah dan kapasitasnya masih jauh dari berarti, untuk bisa mencukupi kebutuhan masyarakat bawah yang haus dana. Mereka masih kalah dengan tukang rente. Atau lembaga dengan tawaran manis dan merdu seperti YKAM. Zaim Uchrowi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo