Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Puspa, salah seorang warga Depok, punya pengalaman menegang-kan saat melahirkan anak yang kedua-. Ia dinyatakan harus menjalani operasi caesar ketika hendak melahirkan, tetapi rumah sakit tempat dia biasa berkonsultasi dengan dokter kandungan tak memiliki ruang operasi.
”Terpaksa saya dibawa ke rumah sakit lain, di mana dokter itu juga berpraktek,” katanya. Celakanya, di hari operasi, dokter anestesi terlambat hingga dua jam. ”Tekanan darah saya sampai naik. Dokter kandungan saya juga lupa hari itu saya operasi, dikiranya libur,” ujarnya.
Rasa cemas akibat kinerja dokter yang praktek di banyak tempat, seperti yang dialami pasien seperti Puspa tadi, boleh jadi lantaran konsentrasi ”dokter terbang” tersebut terbelah.
Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 29/2004 tentang Praktek Kedokteran sejak 6 April lalu—setelah enam bulan disosialisasi—lahan praktek para dokter dipersempit menjadi tiga tempat saja. Beleid ini memang bertujuan agar para dokter lebih konsentrasi dalam memberikan pelayanan kesehatan.
Aturan itu memberi pengecualian bagi dokter spesialis yang telah memiliki tiga izin praktek dokter. Ia tetap bisa bekerja di rumah sakit pendidikan yang juga berfungsi sebagai pendidik. Di sini ia dihitung memiliki satu izin praktek.
”Jadi, dia boleh berkeliling di bebe-rapa rumah sakit yang termasuk rumah sakit pendidikan,” ujar Kepala Suku Dinas Pelayanan Kesehatan Kota Medan-, drg Usma Polita Nasution.
Kendati tujuannya mulia, penerapan undang-undang itu memiliki konsekuen-si yang kurang baik. Di Medan, misalnya, sekitar 76 tempat praktek dokter terpaksa tutup. Dokter yang menutup tempat praktek tersebut umumnya dokter spesialis.
Usma Polita Nasution mengakui, begitu undang-undang itu berlaku, para dokter kemudian memilih di mana me-reka akan praktek. Rumah Sakit Herna di Jalan Bantam, Medan, termasuk yang kehilangan dokter gara-gara beleid baru itu.
Si dokter yang spesialis kanker kandungan terpaksa mengundurkan diri karena sudah praktek di tiga tempat. ”Ini cukup menyulitkan, karena untuk spesialis itu hanya ada dua orang ahli di Medan,” kata Dr Limenta, Direktur Rumah Sakit Herna Medan.
Hal yang sama dialami Dr Umar Zein, ahli penyakit dalam di Rumah Sakit Adam Malik, Medan. Ia satu dari dua orang ahli Penyakit Infeksi dan Tropika di Medan. Masalahnya, ia sudah memiliki tiga izin praktek: di RS Gleneagles, Permata Bunda, dan rumah kediamannya.
Umar merasa aneh jika mesti meng-urus lagi izin praktek di RS Adam Ma-lik-. Padahal, khusus untuk rumah sa-kit itu, ia malah mendapat SK Penetapan Prak-tek langsung dari Menteri Kesehat-an sejak 1997. ”Saya lihat dari segi po-si-tifnya saja. Berarti kini saya bisa menolak pasien yang ingin dirawat di ru-mah sa-kit yang kita tak punya izinnya,” ujar-nya-.
”Apa boleh buat. Daripada melanggar dan didenda Rp 50 juta. Jumlah pasien jelas berkurang, tapi tenaga saya jadi hemat,” Umar menambahkan.
Lain di Medan, lain di Surabaya. Dr Da-vid Sontani Perdanakusuma, spesialis bedah plastik di Rumah Sakit Dr Soe-tomo, Surabaya, mensyukuri berla-kunya peraturan tersebut. Menurut dia, UU ini mestinya memacu klinik mening-katkan kualitas pelayanannya. Sejauh ini, katanya, tak terdengar kabar ada klinik yang tutup gara-gara beleid itu.
Bila sebuah klinik tak mampu memberikan pelayanan atau fasilitasnya kurang lengkap, David menyarankan- agar klinik tersebut merger dengan kli-nik yang lain.
Seperti di Surabaya, di Jakarta belum terdengar kabar ada tempat praktek dokter atau klinik yang terancam tutup akibat pemberlakuan undang-undang itu. ”Saya belum dengar, ” kata Dr Halida, seorang ahli kulit.
Kendati setuju dengan tujuan peraturan baru tersebut, Dr Titi Moertolo, yang selama ini sudah praktek di tiga tempat di Jakarta, menilai pembatasan jumlah praktek belum pas diberlakukan di Indonesia.
Membiarkan dokter praktek di lebih dari tiga tempat, menurut Titi, mungkin bisa tetap dilakukan, melihat kondisi Indonesia yang masih butuh banyak tenaga medis. ”Asal profesionalitasnya bisa dipertanggungjawabkan.” ujarnya.
Utami Widowati, Bambang Soedjiartono, Hambali Batubara (Medan), Sunudyantoro (Surabaya)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo