Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sebuah kamar dalam latar yang suram. Di dalamnya cuma ada meja, kursi, laci, tape recorder, arsip rekaman lama, dan lampu penerangan yang enggan menyala. Seorang lelaki tua, Krapp namanya, 69 tahun usianya, duduk dengan tatap-an kosong. Wajahnya tampak letih.
Ia kemudian bergumam sendiri. Krapp tua berjalan mengelilingi meja, membuka laci, menutupnya, membuka-nya kembali. Kali ini, ia menemukan se-potong pisang. Ia memakan pisang itu, membuangnya, kemudian kembali berjalan bolak-balik di depan meja. Sebuah keputusan tampaknya tengah ia buat: ya ia kembali duduk di kursi yang reyot itu. Ia juga kembali memutuskan tenggelam dalam pikirannya sendiri.
Krapp yang ”mengembara” di dalam ka-marnya itu adalah Krapp yang ter-jebak dalam kamar pengembaraan pikiran-nya. Putu Wijaya, yang me-nyu-tra-darai dan sekaligus memainkan- sen-diri naskah Rekaman Terakhir- Krapp karya Samuel Beckett di Ge-dung- Ke-senian Jakarta pekan lalu itu-, me-nyu-guhkannya dalam kemasan yang mu-ram.
Rekaman Terakhir Krapp, bersama- tiga naskah pendek drama Beckett yang lain, dimainkan untuk memper-ingati 100 tahun kelahiran Beckett. Tiga re-per-toar lain adalah Laku Tanpa Kata II yang disutradarai Laksmi Notokusumo, Bara dengan sutradara F. Joseph Ginting, dan Datang dan Pergi yang diarahkan oleh Ags. Arya Dipayana.
Empat naskah drama pendek Beckett- tersebut belum pernah dimainkan di In-donesia. Selama ini peraih Nobel Sas-tra- 1969 itu lebih ba-nyak dikenal le-wat kar-ya- panjangnya: Waiting for Go-dot dan Endgame. Bengkel Teater Ren-dra pernah mementaskan Menunggu Godot pa-da 1969 yang dipenuhi penonton- selama empat jam. Studi Teater Bandung- juga kerap mementaskan dua reper-toar itu.
Di panggung, dalam kesendirian dan- kesepiannya, Krapp tua kemudi-an mencoba berkomunikasi dengan di-ri-nya sendiri melalui tape recorder. Ia meng-aduk-aduk rekaman lamanya ketika ia berumur 39 tahun dan memutarnya ulang.
Rekaman itu bertutur tentang Krapp di usia 39 tahun, dan ia tengah menge-nang pengalaman-pengalaman di usia-nya yang le-bih- muda, yakni 12 tahun sebelum rekaman itu diambil. Jadi, ada dua lapis memori yang terhi-dang dalam monolog di atas panggung: Krapp 69 tahun yang me-ngenang masa mudanya di usia 39 tahun, dan Krapp di usia 39 tahun yang melayangkan inga-t-annya pada saat ia berusia 27 tahun.
Dalam lapisan-lapisan kenang-an itulah tergambar berbagai pe-ristiwa yang pernah hinggap dalam hidupnya: kematian ibunya, kegemarannya makan pisang, petualangan cintanya, pe-nga-la-mannya menikmati seks de-ngan seorang wanita di semak belukar, dan pelbagai lompatan pikiran lainnya.
Suara-suara masa muda tersebut terus berdengung di kepalanya. Pa-da akhirnya, di ujung pertunjukan, Krapp bergumam, ”Mungkin tahun-ta-hun terindahku sudah berlalu, ketika di sana ada kesempatan untuk bahagia. Ta-pi aku tak ingin mereka kembali. -Tidak dengan api yang kini ada dalam diriku. Tidak, aku tidak menginginkan mereka kembali.”
Sosok Krapp dalam naskah yang di-tulis Beckett di Inggris pada 1958 ini adalah sosok yang terus mencari- di-ri-. Dalam kesendirian dan penanti-an yang entah kapan berujung, Krapp ”ber-main-main” dengan masa lalunya- mela-lui sekotak alat rekam. Terasa- ada nuan-sa kenyerian dalam naskah yang di-pen-taskan pertama kali di Royal- Court Theatre London, 28 Oktober 1958, itu.
Ekspresi yang muncul dari tokoh- Krapp pun ekspresi yang muram. ”Co-lor-less,” menurut istilah Ags. Arya Di-payana yang mementaskan Datang dan Pergi di malam yang sama de-ngan Putu. Ya, tokoh-tokoh Beckett memang- menggambarkan pencarian tak ber-ujung. Termasuk dalam Waiting for Go-dot dan Endgame yang populer, ia menyuguhkan tokoh-tokoh yang aktif- bergerak, tapi tetap berada di tempatnya. Karakter yang, menurut Benny Yohannes, pekerja teater di Bandung: bergerak di dalam, berada dalam situa-si menunggu.
Dengan karakter tokoh seperti itu, tea-ter-teater Beckett tak berpretensi menyuguhkan sebuah peristiwa dari sebuah cerita. Juga, tak ada plot maupun pesan, sebagaimana banyak ditemukan dalam drama-drama realis se-per-ti yang telah dibangun oleh Hendrik Ibsen atau George Bernard Shaw. Drama Beckett adalah drama ”antiperistiwa”. Kritikus teater Martin Esslin menjulukinya teater absurd.
Dalam teater ”tanpa bangunan cerita” itu, Beckett justru membangun tokohtokohnya dari sisi personalnya yang paling intim. Sang tokoh mengga-li dan terus menggali kontradiksi yang ada dalam dirinya. Kadang penggalian itu tampak sepele, berkisar pada urus-an-urusan kecil, remeh-temeh, ber-ulangulang, dan tampak tak ada kemajuan. Tokoh-tokohnya pun seperti- ber-bicara dalam omong kosong yang ber-hamburan dan tampak tak perlu,- atau dalam kalimat-kalimat patah yang tak saling berhubungan.
Pada Bara—ditulis Beckett pertama kali sebagai drama radio pada 1959—misalnya, tokoh Henry terus-menerus menyerocos tentang suara debur laut dan tapak-tapak kaki kuda yang masuk ke telinganya. Tokoh Vi, Flo, dan Ru yang saling bersahabat berkali-kali bertanya-, ”Apa pendapat kamu ten-tang...” ketika salah seorang di antara mereka tak ada. Tanpa Vi, Flo berta-nya pada Ru, ”Apa pendapat kamu tentang- Vi?” Tanpa Flo, Ru berta-nya pada Vi, ”Apa pendapat kamu tentang Flo?” Begitu seterusnya.
Absurd, tapi mengantarkan perenung-an tentang makna hidup yang lebih dalam dan, menurut Putu Wijaya, telah menjadi bahasa sehari-hari masyarakat- kita. Ada, misalnya, seorang ibu yang menju-al anak perempuannya kepada- lelaki hi-dung belang hanya untuk meng-hidupi- ekonomi keluarganya. Atau bergaji kecil, tapi bisa hidup bertahun-tahun, bahkan menyekolahkan anaknya hingga perguruan tinggi. ”Indonesia benar-benar seperti pementasan massal Waiting for Godot,” ungkap Putu.
Kontradiksi-kontradiksi dan aneka- macam absurditas itulah roh dramadrama Beckett. Di sana, dalam dramadrama itu, juga dalam drama kehidupan kita, parade kenyerian bermain-main dalam aneka macam rupa. Di saat me-nunggu, kita bertemu dengan segala- rupa kegilaan, segala bentuk keajaib-an. Dan manusia tak bisa mengelak da-ri episode menunggu itu.
Beckett dikenal sebagai penyair, kritikus, novelis, dan penulis naskah drama. Ia dilahirkan pada 13 April 1906 di Foxrock, County Dublin, Irlandia. Dua naskah drama pertamanya ia tulis antara 1951–1953, yaitu Eleutheria dan Waiting For Godot.
Waiting For Godot sebelum terkenal- sempat sama sekali tak ditoleh oleh kri-tikus-kritikus teater. Tapi ketika pe-mentasannya di sebuah penjara di Ame-rika, di depan manusia-manusia yang sedang menunggu hari pembebasan, di-sambut dengan antusias, naskah itu mulai menggelegak. Dengan sangat ce-pat Beckett kemudian menjadi nama yang melegenda.
Adakah Godot akan datang atau tidak, tak penting lagi bagi Beckett. Titik perhatian Beckett, kata Putu, ”justru pada while waiting-nya itu. Dengan menunggu, maka akan ada pencarian yang tak ada habis-habisnya”. Inilah ritus penca-rian diri yang berlangsung diam-diam, tapi sesungguhnya sangat spiritual.
Yos Rizal Suriaji
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo