Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Kontemporer, artinya bunyi

Lokakarya musik kontemporer, dibuka oleh dosen ikj, slamet abdul syukur. hadir komponis kontemporer belanda, ton de leeuw. (ms)

30 Oktober 1982 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MUSIK tak lagi harus merdu merayu, tak lagi harus mematuhi rumusan harmoni yang rapi yang simetris atau sejenisnya. Bunyi breng-breng-breng, atau tok-tok-tok, bukan lagi barang asing. Juga dengung seperti suara pesawat, atau bunyi kerinyit engsel pintu karatan, telah menjadi unsur musik yang kini umum diterima. Memang belum semua orang mau menerimanya-- termasuk sejumlah orang musik sendiri. Karena itulah Slamet Abdul Syukur, dosen pada Akademi Musik Institut Kesenian Jakarta (IKJ), membuka lokakarya musik kontemporer. Diundangnya Ton de Leeuw, komponiskon-temporer Belanda, untuk memimpin lokakarya yang berlangsung 13 sampai 29 Oktober ini. Pesertanya para pengajar dan orang-orang musik dari Medan, Surabaya, Yogyakarta, Solo dan Jakarta sendiri. Tapi entah mengapa, direncanakan ada 80 peserta, ternyata hanya hadir 28 saja. "Supaya sekolah musik di Indonesia tidak menjadi menara gading terjepit," kata Slamet, 47 tahun, orang Surabaya yang lama berkecimpung di dunia musik Prancis. Dengan kata lain, katanya, agar cakrawala dunia musik kita bertambah luas, bukan melulu bergerak dari musik klasik dan musik pop. Lokakarya itu sendiri, yang berlangsung dari pagi sampai sore tiap hari kerja, menyuguhkan banyak hal. Dari acara belajar mendengarkan, hingga menyusun, komposisi bersama-sama, dan mendiskusikan komposisi hasil ciptaan mereka sendiri itu. Menurut Ton de Leeuw, si Belanda itu, dengan aktif menyusun komposisi sendiri, seseorang lebih gampang memahami apa itu musik kontemporer. Tiga pianis dari Surabaya, misalnya, yang masih berusia dua puluhan tahun, mengaku kini telinga mereka bisa menerima musik kontemporer. Juga Landas Purba, dosen ethnomusik di Universitas Sumatera Utara, melihat manfaat dari lokakarya ini sebagai apresiasi musik yang jarang diberikan di sekolah musik kita. Ton de Leeuw sendiri sebenarnya tidak bermaksud hanya memberikan apresiasi musik kontemporer, tapi yang lebih mendasar, ialah "untuk membukakan 'ketulian' terhadap musik." Maka musik yang diperdengarkan dalam lokakarya ini tidak sejenis. Ada sejumlah karya klasik ciptaan Debussy dan Bella Bartok. Tapi ada juga musik tradisional India Utara yang disebut raga. Juga musik gamelan Jawa. Dan sudah tentu musik elektronik karya Leeuw sendiri. Mungkin dengan cara itu Leeuw ingin menunjukkan, musik memang hanya bunyi dan bisa berbentuk macam-macam. Bagi yang terdidik dalam disiplin musik klasik, agaknya memang bisa canggung menghadapi berbagai ragam bunyi yang mungkin aneh-aneh itu. Soalnya pendidikan musik klasik kebanyakan hanya mengajarkan bagaimana memainkan sebuah instrumen dengan komposisi yang sudah tertentu. Cara mendengarkan musik itu sendiri, apalagi pengertian tentang musik, sedikit sekali diberikan. Akibatnya bisa dilihat dalam lokakarya ini. Mereka yang terdidik dalam disiplin musik tradisional ternyata lebih mudah melakukan improvisasi ketika memainkan komposisi ciptaan mereka bersama, daripada tiga pianis Surabaya tadi. Rustopo misalnya, dosen dari Akademi Seni Karawitan Indonesia di Solo, tidak merasa sulit mengikuti lokakarya ini. Mungkin karena di akademinya ia sudah terbiasa "merasakan hanya musik, tanpa membeda-bedakan itu musik apa dan dari mana asalnya." Pertunjukan musik yang tergolong musik kontemporer itu sendiri sebenarnya cukup menarik. Slamet Abdul Syukur sendiri misalnya, pernah mempergelarkan Parrentbese-nya pada 1977 dan 1978 di Taman Ismail Marzuki (TIM). Suara-suara Parrenthese memang tidak biasa. Bunyi kadang keluar dari gesekan antara penggesek cello dan tubuh instrumen itu -- jadi bukan dari penggesek dan dawai cello. JUGA piano, terkadang tidak dibunyikan sewajarnya, tapi diketuk-ketuk saja tutupnya atau di bagian lainnya. Dan ketika beberapa waktu lalu Slamet menggubah sebuah puisi Chairil Anwar, Beta Pattirajawane, menjadi komposisi musik, maka baris-baris sajak Chairil tak lagi menjadi kalimat. Tapi dipenggal-penggal sedemikian rupa, hingga yang dinyanyikan penyanyinya hanyalah benar-benar bunyi itu saja. Musik Rumah Sakit Harry Roesli, yang dipertunjukkan di TIM pada 1980, menyertakan sejumlah kaleng kosong yang ditaruh di sebuah meja. Pada suatu ketika kaleng itu disapu, berjatuhan menimbulkan bunyi gedobreng. Dan itulah musik. Juga komposisi Sikat Gigi -diambil dari puisi Yudhistira Ardi Noegraha -- yang dipergelarkan Harry di Bandung Januari lalu, menyuguhkan musik sebagai bunyi saja. Acara Festival Komponis Muda yang diselenggarakan Dewan Kesenian Jakarta tiap tahun, sejak 1977, menampilkan karya-karya yang boleh dibilang kontemporer. Tahun lalu misalnya, kelompok dari ASKI Denpasar menyuguhkan musik yang bunyinya keluar dari macam-macam media: dari janur yang disabetkan, dari pikulan yang dibengkokluruskan. Adakah dari lokakarya ini akan lahir komponis dalam jalur musik kontemporer? "Tidak sejauh itu," kata Ton de Leeuw. "Yang penting para peserta kemudian mempunyai pemikiran tentang musik dengan lebih aktif." Dan kemudian ditularkan kepada teman atau murid-muridnya. Itu saja.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus