MUSIK tak lagi harus merdu merayu, tak lagi harus mematuhi
rumusan harmoni yang rapi yang simetris atau sejenisnya. Bunyi
breng-breng-breng, atau tok-tok-tok, bukan lagi barang asing.
Juga dengung seperti suara pesawat, atau bunyi kerinyit engsel
pintu karatan, telah menjadi unsur musik yang kini umum
diterima.
Memang belum semua orang mau menerimanya-- termasuk sejumlah
orang musik sendiri. Karena itulah Slamet Abdul Syukur, dosen
pada Akademi Musik Institut Kesenian Jakarta (IKJ), membuka
lokakarya musik kontemporer. Diundangnya Ton de Leeuw,
komponiskon-temporer Belanda, untuk memimpin lokakarya yang
berlangsung 13 sampai 29 Oktober ini. Pesertanya para pengajar
dan orang-orang musik dari Medan, Surabaya, Yogyakarta, Solo dan
Jakarta sendiri. Tapi entah mengapa, direncanakan ada 80
peserta, ternyata hanya hadir 28 saja.
"Supaya sekolah musik di Indonesia tidak menjadi menara gading
terjepit," kata Slamet, 47 tahun, orang Surabaya yang lama
berkecimpung di dunia musik Prancis. Dengan kata lain, katanya,
agar cakrawala dunia musik kita bertambah luas, bukan melulu
bergerak dari musik klasik dan musik pop.
Lokakarya itu sendiri, yang berlangsung dari pagi sampai sore
tiap hari kerja, menyuguhkan banyak hal. Dari acara belajar
mendengarkan, hingga menyusun, komposisi bersama-sama, dan
mendiskusikan komposisi hasil ciptaan mereka sendiri itu.
Menurut Ton de Leeuw, si Belanda itu, dengan aktif menyusun
komposisi sendiri, seseorang lebih gampang memahami apa itu
musik kontemporer.
Tiga pianis dari Surabaya, misalnya, yang masih berusia dua
puluhan tahun, mengaku kini telinga mereka bisa menerima musik
kontemporer. Juga Landas Purba, dosen ethnomusik di Universitas
Sumatera Utara, melihat manfaat dari lokakarya ini sebagai
apresiasi musik yang jarang diberikan di sekolah musik kita.
Ton de Leeuw sendiri sebenarnya tidak bermaksud hanya memberikan
apresiasi musik kontemporer, tapi yang lebih mendasar, ialah
"untuk membukakan 'ketulian' terhadap musik." Maka musik yang
diperdengarkan dalam lokakarya ini tidak sejenis. Ada sejumlah
karya klasik ciptaan Debussy dan Bella Bartok. Tapi ada juga
musik tradisional India Utara yang disebut raga. Juga musik
gamelan Jawa. Dan sudah tentu musik elektronik karya Leeuw
sendiri.
Mungkin dengan cara itu Leeuw ingin menunjukkan, musik memang
hanya bunyi dan bisa berbentuk macam-macam. Bagi yang terdidik
dalam disiplin musik klasik, agaknya memang bisa canggung
menghadapi berbagai ragam bunyi yang mungkin aneh-aneh itu.
Soalnya pendidikan musik klasik kebanyakan hanya mengajarkan
bagaimana memainkan sebuah instrumen dengan komposisi yang sudah
tertentu. Cara mendengarkan musik itu sendiri, apalagi
pengertian tentang musik, sedikit sekali diberikan. Akibatnya
bisa dilihat dalam lokakarya ini. Mereka yang terdidik dalam
disiplin musik tradisional ternyata lebih mudah melakukan
improvisasi ketika memainkan komposisi ciptaan mereka bersama,
daripada tiga pianis Surabaya tadi. Rustopo misalnya, dosen dari
Akademi Seni Karawitan Indonesia di Solo, tidak merasa sulit
mengikuti lokakarya ini. Mungkin karena di akademinya ia sudah
terbiasa "merasakan hanya musik, tanpa membeda-bedakan itu musik
apa dan dari mana asalnya."
Pertunjukan musik yang tergolong musik kontemporer itu sendiri
sebenarnya cukup menarik. Slamet Abdul Syukur sendiri misalnya,
pernah mempergelarkan Parrentbese-nya pada 1977 dan 1978 di
Taman Ismail Marzuki (TIM). Suara-suara Parrenthese memang tidak
biasa. Bunyi kadang keluar dari gesekan antara penggesek cello
dan tubuh instrumen itu -- jadi bukan dari penggesek dan dawai
cello.
JUGA piano, terkadang tidak dibunyikan sewajarnya, tapi
diketuk-ketuk saja tutupnya atau di bagian lainnya. Dan ketika
beberapa waktu lalu Slamet menggubah sebuah puisi Chairil Anwar,
Beta Pattirajawane, menjadi komposisi musik, maka baris-baris
sajak Chairil tak lagi menjadi kalimat. Tapi dipenggal-penggal
sedemikian rupa, hingga yang dinyanyikan penyanyinya hanyalah
benar-benar bunyi itu saja.
Musik Rumah Sakit Harry Roesli, yang dipertunjukkan di TIM pada
1980, menyertakan sejumlah kaleng kosong yang ditaruh di sebuah
meja. Pada suatu ketika kaleng itu disapu, berjatuhan
menimbulkan bunyi gedobreng. Dan itulah musik. Juga komposisi
Sikat Gigi -diambil dari puisi Yudhistira Ardi Noegraha -- yang
dipergelarkan Harry di Bandung Januari lalu, menyuguhkan musik
sebagai bunyi saja.
Acara Festival Komponis Muda yang diselenggarakan Dewan Kesenian
Jakarta tiap tahun, sejak 1977, menampilkan karya-karya yang
boleh dibilang kontemporer. Tahun lalu misalnya, kelompok dari
ASKI Denpasar menyuguhkan musik yang bunyinya keluar dari
macam-macam media: dari janur yang disabetkan, dari pikulan yang
dibengkokluruskan.
Adakah dari lokakarya ini akan lahir komponis dalam jalur musik
kontemporer? "Tidak sejauh itu," kata Ton de Leeuw. "Yang
penting para peserta kemudian mempunyai pemikiran tentang musik
dengan lebih aktif." Dan kemudian ditularkan kepada teman atau
murid-muridnya. Itu saja.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini