Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kesehatan

Menangkal Maag di Bulan Ramadan

Tak semua penderita maag dilarang berpuasa. Jadi kenali benar gangguan pencernaan Anda. Sebab, menurut penelitian, diperkirakan hampir separuh penduduk Jakarta mengidap penyakit maag. Dengan cara yang benar, puasa justru memperbaiki pencernaan.

1 September 2008 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

HERDIANI biasanya menyambut Ramadan dengan muram. Gadis 36 tahun itu bukan tak kuat menahan makan dan minum. Ia tak boleh berpuasa karena penyakit maag yang sudah lama dideritanya. Telat makan saja, perutnya perih dan melilit. Kadang berujung dengan muntah dan lemas. Kalau sudah dihajar obat tapi sakit tak lenyap, karyawati di perusahaan penerbitan ini mesti diboyong ke rumah sakit. Puncak penderitaan itu dialaminya pada 1999-2000.

Herdiani lalu bertekad menyembuhkan penyakit tukak lambungnya itu. Dokter meresepkan obat serta menyuruhnya mengontrol pola makan dan berusaha menanggalkan stres berlebihan. ”Semakin saya stres, asam lambung saya makin tinggi,” kata warga Utan Kayu, Jakarta Timur, ini menirukan petuah dokternya. Perlahan, ia memulai ”hidup baru” yang lebih teratur: menjauhi asam atau pedas serta mempersering makan, meskipun dalam jumlah kecil, dan mesti tepat waktu.

Setelah merasa lebih sehat, ia berlatih puasa bak anak kecil. Awalnya Herdiani berbuka pada pukul 10, lalu pukul 12, dan berlanjut hingga beduk magrib. Usahanya tak sia-sia. Tahun ini, dokter mengizinkannya ikut saum penuh.

Herdiani masih beruntung boleh berpuasa lagi. Septriana, 38 tahun, dilarang berpuasa sama sekali. Perempuan yang bekerja di perusahaan minyak di Jakarta ini sudah tujuh tahun didera maag. Penyakitnya sudah sangat parah sehingga tak mempan lagi dengan obat minum. Ia harus diinjeksi. Setiap kali maag-nya kambuh, ia bisa berteriak histeris dan akhirnya berujung di rumah sakit.

Pengalaman dua wanita itu—yang juga mewakili banyak orang—menggambarkan betapa maag menjadi ”ancaman” di setiap Ramadan.

Pada dasarnya, maag—dalam bahasa medisnya: dispepsia—adalah gangguan pada sistem pencernaan karena produksi asam lambung tak terkontrol. Gejalanya: lambung terasa perih, terutama jika terlambat makan, perut terasa kembung, sering bersendawa, mual, dan kadang-kadang disertai muntah. Pasien yang sudah parah bahkan bisa sampai pingsan bila penyakitnya kambuh.

Ari Fahrial Syam dari Divisi Penyakit Dalam Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta Pusat, menjelaskan ada dua macam dispepsia, yaitu fungsional dan organik. Dispepsia fungsional adalah gangguan fungsi lambung akibat pola makan tak teratur, doyan camilan berlemak, kopi, dan minuman bersoda, juga stres dan merokok. Spesialis gasteroenterologi—sistem pencernaan dan penyakitnya—itu mengatakan, pada maag jenis ini, kondisi lambung si penderita sebenarnya normal. Namun, karena pola makannya tak tertib, asam lambung bergejolak sehingga menimbulkan gangguan pencernaan. Pengidap maag jenis fungsional bisa tetap menjalankan ibadah rukun Islam keempat.

Memang, kata Ari, menurut sejumlah penelitian, kekosongan saluran pencernaan saat berpuasa bisa meningkatkan kadar asam lambung. Pada saat puasa, terutama setelah 6-8 jam perut kosong, akan terjadi peningkatan asam lambung yang dapat memicu gejala maag. Namun kondisi ini akan kembali normal setelah berbuka dan biasanya hanya dirasakan di hari-hari awal puasa. Selama Ramadan, pola makan justru jadi teratur dan konsumsi makanan berlemak, rokok, serta minuman bersoda biasanya berkurang. ”Keteraturan dan perilaku makan saat berpuasa justru bisa mengurangi dan bahkan menghilangkan maag,” ujarnya.

Lain halnya dengan dispepsia organik. Jenis maag ini disebabkan oleh luka di lambung dan usus dua belas jari, antara lain akibat infeksi kuman helicobacter pylori. Jika sudah parah, bisa terjadi perdarahan di usus penderita. Karena itu, kata dokter Ari, penderita maag jenis kedua ini tak dianjurkan berpuasa. Memang, jika dispepsia organik masih tahap ringan, pasien bisa saja mencoba berpuasa setelah berkonsultasi dengan dokter. Namun penderita disarankan menyetop puasanya jika ada tanda-tanda muntah darah karena luka di saluran pencernaan, penurunan berat badan, serta kotoran berwarna kehitaman. ”Dalam kondisi ini, puasa justru bisa memperparah maag,” kata Ari.

Banyak yang mengaitkan penyakit ini dengan gaya hidup perkotaan yang serba sibuk, cepat, dan tak sehat. Ari, Wakil Sekretaris Jenderal Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam, mengungkapkan hampir separuh masyarakat Jakarta mengidap maag—dari yang tak mengganggu sampai yang parah. Bahkan, menurut sebuah penelitian yang dilakukan di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo terhadap sekitar 100 pasien dengan keluhan dispepsia, setelah dilakukan endoskopi, sebanyak 20 persen menderita dispepsia organik.

Pengajar di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia ini juga membeberkan tip agar lambung aman dan nyaman selama berpuasa. Penderita sebaiknya tak mengkonsumsi makanan yang mengandung gas, seperti sayur kol, sawi, nangka, dan buah-buahan yang dikeringkan, juga minuman bersoda. Minuman yang merangsang pengeluaran asam lambung, seperti kopi, minuman beralkohol dan bersoda, sari jeruk, serta susu, juga wajib dihindari. Begitu pula makanan yang sulit dicerna, misalnya kue tart, keju, dan daging kambing. Jenis makanan ini membuat lambung bekerja lebih keras dan memperlambat pengosongan isi lambung.

Yang juga mesti dijauhi adalah santapan yang potensial merusak dinding lambung, seperti makanan pedas dan makanan yang mengandung cuka, merica, atau bumbu yang merangsang. Termasuk sejumlah karbohidrat tertentu, seperti ketan, mi, dan bihun. Jika berdisiplin dengan makanan—dan kebetulan maag yang diderita pun jenis dispepsia fungsional—pasien bisa berpuasa selayaknya orang normal.

Dokter Ari juga mengingatkan tak semua sebah, kembung, dan mual pasti maag. Bisa jadi itu disebabkan oleh proses pemecahan makanan yang tak sempurna hingga menyebabkan tingginya produksi gas di dalam sistem pencernaan. Ia kerap menerima keluhan dari pasien yang mengalami kembung dan sebah yang dikira maag. ”Jika sakit perut di daerah pusar dan disertai diare, itu bukan maag,” katanya. Ia menjelaskan, tanda awal orang yang terganggu keseimbangan enzimnya adalah buang air sehabis menyantap makanan berlemak. Kekurangan enzim sendiri menyebabkan lemak tak dapat dicerna dengan baik. Akibatnya, tubuh pasien pun biasanya kurus.

Agar lebih gamblang, Ari membeberkan sistem kerja saluran pencernaan. Ada dua golongan, yaitu saluran cerna atas dan bawah. Saluran cerna atas itu dari rongga mulut sampai usus dua belas jari. Sedangkan bagian bawah dari usus dua belas jari distal (bagian bawah) hingga anus. Nah, bagian yang sakit inilah yang menentukan gangguan pencernaan apa yang dialami pasien.

Penderita gangguan saluran cerna atas mengalami nyeri ulu hati, mual, muntah, kembung, nafsu makan berkurang, cepat kenyang, dan sering bersendawa. Sedangkan gangguan pencernaan bawah ditandai dengan perut membesar, buang angin berlebihan, dan sembelit. Menurut Ari, gangguan saluran cerna bawah ini umumnya disebabkan oleh infeksi usus besar dan usus halus, gangguan penyerapan atau malabsorpsi, usus sensitif, dan yang terparah tumor usus.

Mereka yang mengalami usus sensitif biasanya lebih dipengaruhi faktor psikis, seperti stres berlebihan. Sedangkan gangguan penyerapan umumnya berkaitan dengan enzim di dalam tubuh. Enzim adalah protein yang dibutuhkan tubuh untuk memecah makanan agar mudah diserap usus. Ada sedikit enzim yang diproduksi di kelenjar liur di mulut, tapi sebagian besar diproduksi kelenjar pankreas. Selain untuk mencerna, enzim bertugas memperbaiki sel-sel dalam tubuh. Problem pencernaan ini lebih mudah diatasi ketimbang maag dan—tentu—tak perlu membuat alpa berpuasa tahun ini.

Andari Karina Anom

Jalan Panjang Mencerna Makanan

Makanan yang kita santap melalui proses yang panjang untuk dicerna. Salah memilih santapan ataupun tak tepat mengunyah bisa memunculkan banyak penyakit, termasuk maag. Kenali isi perut Anda:

  1. Rongga mulut

    Di gerbang pertama ini ada kelenjar liur yang mengandung enzim yang bertugas mencerna makanan di tahap awal.

  2. Kerongkongan/esofagus

    Jembatan penghubung berupa tabung (tube) yang dilalui makanan dari mulut ke lambung.

  3. Lambung

    Organ ini berfungsi menghancurkan atau mencerna makanan yang ditelan dan menyerap zat-zat bergizi yang dibutuhkan tubuh. Pada penderita sakit maag, lambung yang kosong menyebabkan asam lambung tinggi. Akibatnya, perut perih dan melilit. Begitu juga jika menyantap makanan yang asam, pedas, atau berbumbu tajam.

  4. Usus dua belas jari/duodenum

    Di bagian dari usus halus ini terdapat kelenjar Brunner yang bertugas, antara lain, melindungi usus dari zat asam hasil pencernaan sebelumnya dan mengaktifkan enzim pencernaan. Penderita maag kelas berat biasanya menderita luka di organ ini, yang jika parah, bisa menyebabkan perdarahan.

  5. Usus penyerapan/ileum

    Inilah bagian terakhir dari usus halus yang panjangnya 2 sampai 4 meter. Tugasnya, antara lain, menyerap vitamin yang dibutuhkan tubuh.

  6. Anus

    Inilah gerbang akhir pencernaan. Organ ini yang bertugas membuang hasil pencernaan dari tubuh berupa feses melalui proses buang air besar.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus