PARA dokter kini harus lebih cermat menggunakan peralat an mahal ketika memeriksa pasiennya. Pedoman tersebut dapat dilihat dalam buku Standar Pelayanan Profesi Medis. Buku ini telah diserahkan oleh ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Kartono Mohamad, kepada Menteri Kesehatan Kamis pekan lalu. Buku yang mengatur standar pemeriksaan penyakit mulai dari diagnosis hingga terapinya itu akan menjadi pegangan dokter. Buku ini baru pertama kali ada di Indonesia. ''Di kawasan ASEAN baru Indonesia yang punya,'' kata Kartono. Selama ini, dalam mendiagnosis pasiennya, dokter berpedoman pada standar menurut buku pegangan (text-book) selama dalam pendidikan. Namun dalam prakteknya terkadang tiap dokter menjalankan metodenya sendiri ketika memeriksa pasien. Apalagi satu penyakit memang ada beberapa cara untuk mendiagnosisnya. Untuk menentukan seseorang menderita tifus, misalnya, seharusnya diperiksa Wydal terlebih dahulu. Tapi ada dokter langsung mengatakan pasiennya menderita tifus. Padahal, ia belum tentu menderita penyakit ini. Maka, perlu ada standarisasinya. Dan penyusunan buku ini, selain berdasarkan text-book yang ada, juga disesuaikan dengan kondisi Indonesia. Di Amerika Serikat standar semacam ini mulai disusun awal tahun 1980-an, yang disebut Practice Parameter. Di Indonesia niat untuk menyusun buku tadi, menurut Kartono, sudah timbul sejak tujuh tahun lalu, tetapi baru tergarap pada tahun 1990, setelah ada kerja sama antara IDI dan Departemen Kesehatan melalui Proyek Pengkajian Sumber Daya Kesehatan. Dengan melibatkan lebih dari 50 dokter umum dan spesialis, disusunlah standar pelayanan untuk 100 penyakit serta standar pelayanan penunjang. Buku yang tebalnya lebih dari 285 halaman ini menjadi pegangan dan wajib dilaksanakan tiap dokter. Tahap awalnya masih dalam masa uji coba. Dan nanti isinya dilengkapi dengan bahan dari daerah serta ditambah dengan Peraturan Menteri Kesehatan. Buku ini juga mencantumkan pengontrolan memakai peralatan mutakhir dan mahal. Jika pelayanan dokter berlebihan atau kurang, ia bisa dianggap menyimpang dari standar. Sebagai contoh, pasien yang tidak perlu dioperasi lalu dioperasi. Atau ia tidak perlu di-USG (ultrasonografi, alat untuk melihat janin, misalnya) tapi di-USG. Jika ada tindakan berlebihan terhadap seorang pasien, sekarang si pasien bisa mengajukan protes ke Departemen Kesehatan, IDI, dan ke pihak rumah sakit. Ada kalanya pemakaian peralatan mahal justru karena permintaan pasien. Misalnya, hanya perut terasa mulas, pasien minta disorot ronsen. Jika permintaan pasien seperti ini dituruti, si dokter bisa disalahkan. Seorang dokter, kata Kartono, harus mengerti bahwa tindakan itu tidak perlu dilakukan. Jadi, dia harus menjelaskan, menyorot dengan ronsen memang tidak perlu. Buku standar ini juga memecahkan masalah malapraktek yang selama ini menyulitkan pihak pengadilan. Pedoman untuk menentukan seorang dokter apakah melakukan malapraktek atau tidak selama ini memang belum ada standarnya. Dengan lahirnya buku standar ini, seorang dokter juga akan bisa menangkis dari tuduhan malapraktek atas dirinya. Setiap dokter, nanti, wajib melakukan diagnosis sesuai dengan buku standar. Jika menyimpang, ada sanksinya. Pelaksanaannya tergantung Menteri Kesehatan. IDI mengusulkan sanksi itu dijalankan tiga tahun kemudian. ''Bisa cepat lebih baik lagi,'' kata Kartono. Dengan lahirnya buku standar itu, menurut Menteri Kesehatan Adhyatma, pelayanan kesehatan di Indonesia memiliki standar mutu. Masyarakat akan mendapat perlindungan dari tindakan medis yang tidak sesuai. Tapi, sebelum buku ini dimasyarakatkan secara nasional, Departemen Kesehatan akan mengkajinya lebih dulu. Gatot Triyanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini