Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hari masih pagi, sekitar pukul 06.30, tapi di ruang tunggu kamar bedah Halimun Medical Center, Jakarta Selatan, sudah ada dua pasien menanti. Pada Selasa pekan lalu itu keduanya sama-sama akan menjalani terapi penataan kembali posisi tulang atas keluhan sakit yang diderita.
Di ruang bedah pasien pertama mengeluhkan nyeri di leher dan kesulitan berjalan. Ia lalu dibaringkan di sebuah dipan, dan ada empat tenaga medis yang mengelilinginya, lengkap dengan masker, penutup rambut, plus baju medis. Keempat orang itu adalah dua perawat, dokter anestesi, dan dokter spesialis tulang Briliantono M. Soenarwo, yang kerap dipanggil Dokter Toni.
Dokter 59 tahun itu melihat hasil roentgen pasien. Kemudian ia memegang bagian yang dikeluhkan terasa nyeri pada kaki dan tangan. Sebelumnya, kepada pasien disuntikkan obat pelemas otot, yang membuatnya tak sadarkan diri. Setelah itu, Toni mengangkat lengan pasien ke atas, memegang pangkal ketiak dan membujurkan tangan ke depan dada. Perlakuan yang sama ia terapkan untuk lengan satunya.
Rampung urusan tangan, Toni menangkup kepala pasien dan sedikit memutarnya. Terakhir, dia menuju kaki, menekuk tepat di lutut, lalu meluruskannya. Tak sampai empat menit, semua prosedur itu selesai dilakukan. Total hanya butuh waktu tujuh menit untuk menuntaskan urusan pasien pertama.
Kelihatannya penanganan yang dilakukan Toni itu sepele dilihat dari kelaziman di dunia kedokteran. Nyatanya, di Klinik Halimun, kian banyak pasien yang ditangani dengan cara tersebut. Menurut Toni, dari seratus pasien yang datang, hanya tiga yang ditangani dengan pisau bedah. Sisanya dengan cara terapi manual.
Masanah, 70 tahun, termasuk yang merasakan khasiat cara tersebut. Ia pernah mengalami perubahan postur tubuh, yakni menjadi terbungkuk. Keadaan itu diperolehnya setelah ditangani tukang urut yang mencoba menyembuhkan rasa nyeri di bagian pinggangnya.
Seperti dua pasien di atas, saat ditangani, ia tak merasakan apa-apa karena tak sadarkan diri. "Tahu-tahu dibangunin sudah selesai," katanya. Jadi pada pagi hari itu dia datang, segera ditangani, dan siang sudah pulang. Metode apa yang sebenarnya dijalankan Toni?
"Yang saya lakukan ini adalah manual therapy," kata alumnus Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia ini. Toni menyebutkan ia merapikan (mereposisi) tulang pasien yang bermasalah. "Disangkanya saya istimewa, padahal hanya saya kembalikan."
Di dunia kedokteran memang dikenal istilah terapi ortopedi manual atau manipulasi tulang belakang (osteopathic manipulative treatment). Dalam situs Universitas California San Francisco dijelaskan bahwa metode ini adalah diagnosis tanpa melukai tubuh dan terapi sentuhan tangan. Dalam cara ini termaktub pula osteopati (ilmu kesehatan berbasis sistem otot penunjang tubuh dan gerakan), terapi chiropractic (berfokus pada tulang belakang), dan terapi fisik. Terapi manual ini bisa untuk mendiagnosis, merawat, dan mencegah cedera.
Pada kasus tertentu, terapi manual memang menjadi pilihan untuk menangani perawatan pergeseran tulang, seperti yang dilakukan Toni itu. Tidak ada titik atau sudut yang harus menjadi fokus dalam terapi manual. Berbeda dengan akupunktur atau tusuk jurum yang memanfaatkan titik tubuh tertentu. "Di terapi manual, fokusnya adalah tulang," kata Toni.
Toni tidak ujuk-ujuk memilih menerapkan metode tersebut. Bahkan, sebagai ahli tulang, awalnya ia memandang sebelah mata cara itu. Dia memilih meja bedah sebagai solusi. Tapi, berdasarkan pengalamannya selama satu dekade berpraktek, ternyata pasien akan balik lagi dalam kurun empat atau lima tahun. "Kalau begitu, tindakan operasi bukan senjata akhir," ujarnya.
Dia ingat, ketika mengambil pendidikan doktor di Jepang pada akhir 1980-an, ia sudah dikenalkan pada metode ini oleh para ahlinya. Saat itu dia belajar kepada Profesor Klaus Zielke dari Jerman. Kemudian ia memperdalam kepada Yuichiro Nishijima dari Nishijima Spine Center, Jepang.
Akhirnya, sejak 15 tahun lalu, ia kembali ke ilmu asal tersebut. Toni mengatakan hampir setiap penyakit tulang bisa ditangani lewat terapi manual. Pengecualian dilakukan untuk penderita gangguan anatomi tulang, seperti tumor dan infeksi. Begitu juga pasien dengan trauma luka bakar parah.
Dus, tetap perlu pemeriksaan awal bagi pasien yang datang, apakah cukup dengan terapi manual atau harus ke meja operasi. Untuk sampai ke kesimpulan itu, ia juga memeriksa hasil pemindaian radiologi dan neurologi.
Mereka yang menjalani terapi manual akan dibuat tertidur dengan pemberian neuroleptanestesia di ruang bedah. "Obat ini untuk merelaksasi otot," kata Toni. Tujuannya agar otot lemas sehingga ketika tulangnya ditarik tidak muncul perlawanan. Obat inilah yang juga membuat pasien mengantuk, lalu tertidur. Hanya, pengaruh obat tidak lama, sehingga pasien bisa langsung dibangunkan setelah dilakukan tindakan. Biasanya tidak sampai 10 menit.
Toni menekankan, berbeda dengan metode chiropractic, pada terapi manual, hanya dokter yang berwenang melakukan. Adapun pada chiropractic boleh selain dokter. Tapi, diakui Toni, terapi manual masih di wilayah abu-abu dunia kedokteran-masih menjadi polemik siapa yang berhak melakukannya.
Franky Hartono, Kepala Hip, Knee, and Geriatric Trauma Center Rumah Sakit Siloam Kebon Jeruk, Jakarta, juga mengatakan metode itu masih kontroversial. Dokter spesialis tulang (konsultan) ini mengatakan masalah yang belum disepakati adalah soal standardisasi. Bagaimana, misalnya, mengendalikan putaran yang sesuai, juga besarnya tekanan yang dipakai untuk memilin agar sampai ke posisi yang benar. "Kita kan tidak tahu itu pas atau tidak?"
Tanda-tanda bahwa metode ini masih dalam perdebatan adalah bahwa asuransi tidak bersedia menanggung tindakan yang sudah dilakukan. Hal yang sama berlaku untuk chiropractic. "Kalau asuransi sudah bersedia mengganti, berarti ilmunya sudah disepakati bersama," kata Franky.
Dia mengakui, dalam ilmu kedokteran, masalah tulang memang tidak semua harus berujung pada operasi. Franky mencontohkan pemasangan gips untuk pasien patah tulang. Hal itu biasanya dilakukan dokter tulang dengan menarik bagian yang cedera, baru dipasang penyangga. "Tapi tidak sampai memilin dan memijat."
Keputusan untuk operasi, kata Franky, akan ditetapkan setelah melalui rangkaian pemeriksaan klinis, dari pemeriksaan darah, foto tulang, obat-obatan, latihan, hingga asupan. "Operasi tulang belakang hanya sah dilakukan jika sudah ada tindakan non-operasi." Maka diperlukan waktu tiga-enam bulan sebelum pasien diputuskan akan dibedah.
Toni sepakat dengan hal itu. Dia juga mewajibkan pasien memperbaiki pola hidup, pola makan, dan latihan, sebelum dilakukan tindakan medis, baik terapi manual maupun operasi. Jika sudah dijalani tapi tak kunjung membaik, baru ditambahkan campur tangan dokter. "Berupa obat dan tindakan," katanya.
Kini Toni beralih ke pasien kedua, yang mengeluhkan nyeri pinggang akibat batuk hebat. Serupa dengan metode awal, dia melakukan serangkaian terapi pada tubuh pasien yang sudah dibius. Ia menekuk kaki pasien, memijat telapak kaki, memutar-menarik-dan-meluruskan bagian leher....
Dianing Sari
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo