Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Habibie

Menurut habibie, di tapanuli kadar pancasilanya tinggi. tapi, habibie belajar politik dan kearifan dari pak harto. dalam memelihara hubungan dengan presiden, mengacu kebudayaan jawa.

10 Oktober 1992 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

"PANCASILA itu, tatkala digali dari bumi Indonesia, kadar yang lebih tebal, saya duga ditemukan di Tapanuli!" seru Habibie di hadapan Amran Nasution dan kawan-kawannya dari Majalah TEMPO, di suatu siang. Saya tadinya mengira Habibie bercanda. Ternyata tidak. Dengan mata berbinar-binar, ucapannya itu pun dibuk tikannya dengan menengok ke Parlin Napitupulu, salah seorang asistennya. "Siregar itu ada yang Arifin, ada Partomuan, ada pula Franciscus Xaverius. Ada Siregar Islam, ada Siregar Kristen, ada pula Siregar Katolik. Tetapi semua Siregar adalah Batak. Semua Siregar adalah Indonesia. Yang Islam, yang Kristen, maupun yang Katolik, semua tunduk pada adat-istiadat dan mempertahankan jati diri kebudayaan Tapanuli. Mereka berdoa dan beribadat menurut agama masing-masing. Tetapi semuanya tetap menjunjung tinggi terjaganya keserasian, keselarasan, dan keseimbangan tatanan masyarakat dan adat-istiadat Batak yang sudah berabad-abad ditegakkan. Dan orang Batak menempuh perjalanan kemajuannya untuk menjawab imperatif perubahan, berusaha tanpa mengguncangkan harmoni adatnya." Saya tertegun. Mau tersinggung, saya tidak bisa. Tadinya saya mengira yang paling Pancasilais itu orang Jawa. Ha ha ha. Saya jadi malu, karena berpikir tidak adil pada saudara-saudara dari daerah lain. Maka Amran, yang dari tadi saya perhatikan mencari peluang untuk menyerang dengan pertanyaan tajam dan terus terang, terpaksa terhenti sejenak. Ia pun tersentuh naluri kemanusiaannya, wajahnya berseri dan mukanya manggut manggut. Tetapi akhirnya ia toh menemukan peluang untuk bertanya seraya menerapkan kiat egaliter Bataknya: "Pak Habibie! Kata orang di luaran, Habibie itu one man show!" Saya terperanjat mendengar pertanyaan dari sahabat saya ini. Baru kemudian saya ingat, Amran sedang mempraktekkan ketebalan kadar Pancasilanya, yang tadi disanjung oleh Habibie. Ia mempraktekkan asas kerakyatan, cara Batak. Maka, saya pun mengerti kiat wartawan yang satu ini. Ia sedang menguji, siapkah B.J. Habibie berdemokrasi beneran, termasuk demokrasi dalam kemasan egalitor cara Batak? Kita tahu, di Tapanuli, orang bebas berbicara pada waktu yang tepat dan kesempatan yang benar. Dalam perjamuan resmi, bila perlu rakyat jelata pun bisa menyela omongan raja, bah kan mengkritiknya di depan khalayak! Amran saya lihat hanya menunggu reaksi Habibie. Ia tidak mencatat apa kata Habibie kemudian. Karena saya menduga, buat dia, dalam soal yang satu ini, jawaban tidak penting. Yang ingin diketahui ialah bagaimana reaksi dan cara Habibie membantahnya. "Saya ini murid di bidang politik dan kearifan dari Pak Harto. Tidak mungkin saya one man show. Saya tidak boleh dan tidak akan merasa pintar sendiri. Sembilan belas tahun saya belajar dari orang bijaksana ini dengan kerendahan hati, bagaimana mengendalikan Indonesia pemerintahannya, pembangunannya, wawasannya, bahkan juga impian-impiannya. Karena itu, harap mengerti kalau saya bukan hanya memahami tetapi juga mengagumi kepemimpinan beliau. Seperti halnya saya mengagumi tokoh-tokoh besar lainnya: Sukarno, Sumitro Djojohadikusumo, dan Widjojo Nitisastro." Mendengar jawaban Habibie itu, saya lalu teringat nasihat seorang kawan baik yang bijaksana. Ia seorang Jawa. "Inti ajaran kebudayaan kita adalah harmoni. Untuk itu, sikap egalitor pun, amalannya harus menyesuaikan dengan situasi dan kondisi agar tidak mengguncangkan harmoni itu. Empan papan wini raos. Waktu, tempat, dan suasana harus menjadi pertimbangan, tatkala hendak mengeluarkan ucapan, mengambil tindakan, dan mengutarakan pikiran." Berbeda dengan Amran, kawan saya yang satu ini rupanya menghayati budaya Indonesia secara Jawa. Apakah Pancasilanya lebih tebal atau lebih tipis, nisbi adanya. Tetapi itu tidak menjadi perkara. Itulah kebinekaan budaya Indonesia. "Menjadi bawahan Pak Harto itu resepnya sederhana saja. Harus tahu batas," katanya dengan santai, seenaknya. "Keno rikat ning ora pareng ndhisiki. Keno seru ning ora pareng ngandhani. Keno takon ning ora pareng ngregoni!" Bahasa Jawa itu kedengaran seperti puisi, tetapi diucapkan dengan semangat menasihati. "Artinya, kamu boleh cepat (jalannya) tetapi jangan mendahului. Boleh keras (bicaranya) namun jangan menggurui. Dan boleh bertanya (dan protes), asal jangan menghalang-halangi. Itulah inti ajaran untuk mengendalikan diri, kebudayaan tahu batas, menurut ajaran budaya Jawa!" Ingatan tentang nasihat itu melintas tatkala Habibie menjelaskan pada Amran tentang pesan Pak Harto yang tak pernah dilupakannya. Tahu batas, di mana beliau boleh leluasa. Tiga premis kebudayaan Jawa tersebut rupanya secara tidak sadar juga ditegakkan Habibie dalam memelihara hubungannya dengan Presiden. Karena itu, saya tidak kaget tatkala mengetahui betapa luas kontur keleluasaannya dalam mewujudkan gagasan dan impian impiannya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus