Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PADA awal-awal masa kehamilan anak pertamanya tahun lalu, Afrilia tak mendapati keluhan berarti. Ia tak merasa mual seperti kebanyakan ibu hamil pada umumnya. Ketidaknyamanan baru muncul pada usia kehamilan sekitar 22 pekan. Ia ngos-ngosan saat naik-turun tangga, badannya sering gatal-gatal, serta kaki, tangan, dan wajahnya membengkak. "Sampai buat duduk waktu salat saja susah," ujar perempuan 27 tahun ini, Selasa pekan lalu.
Kala itu dokter mendapati tekanan darah Afrilia tinggi, yakni 150/100 mmHg. Dokter pun memberinya obat penurun tekanan darah dan menyarankan Afrilia memeriksa kadar protein dalam urinenya. Tapi, baru sekali minum obat, kepalanya jadi pusing. "Makanya enggak minum lagi," katanya.
Hasil pemeriksaan protein menunjukkan positif 4 alias tinggi (normalnya tak ditemukan protein). Setelah beberapa hari, tekanan darahnya naik lagi jadi 210/150 mmHg. Dokter menyarankan Afrilia dirawat di rumah sakit karena ia khawatir pasiennya ini bakal kejang. Tapi, karena tak disampaikan dengan tegas, Afrilia menyangka itu hanya saran yang tak harus dijalankan. "Saya kira enggak wajib," tuturnya.
Bencana datang pada malam harinya. Apa yang dikhawatirkan dokter menjadi kenyataan. Pada dinihari, Afrilia yang sedang terlelap mengalami kejang-kejang. Saat itu juga suaminya memboyong Afrilia ke rumah sakit. Janin dalam kandungannya, yang kala itu berumur 26 pekan terpaksa dikeluarkan lewat operasi caesar. Karena paru-parunya yang belum sempurna, bayi laki-lakinya ini dimasukkan ke neonatal intensive care unit (NICU). Adapun Afrilia tak sadarkan diri selama dua hari.
Sembilan pekan bayinya dirawat di NICU dan sempat dibawa pulang. Tapi nyawanya tak tertolong karena paru-parunya belum berkembang. "Sampai sekarang saya enggak tahu apa penyebab preeklamsia dan masih takut terjadi lagi," ucap karyawan sebuah perusahaan swasta di Jakarta Barat ini.
Eklamsia berasal dari bahasa Yunani yang berarti halilintar. Disebut halilintar karena serangan kejang-kejangnya timbul tiba-tiba, seperti petir. Masalah ini merupakan salah satu komplikasi kehamilan yang disebabkan oleh tekanan darah tinggi. "Padahal, sebelum kehamilannya, mereka tak hipertensi," kata dokter spesialis kebidanan dan kandungan Didi Danukusumo, Rabu dua pekan lalu.
Sebelum mengalami eklamsia yang ditandai dengan kejang-kejang, kata Didi, ibu hamil lebih dulu mengalami preeklamsia. Selain hipertensi, gejala lain adalah tingginya kadar protein dalam urine dan sering terjadi pembengkakan pada kaki dan tangan. Protein yang tinggi ini bisa menjadi tanda adanya kerusakan pada organ, misalnya ginjal yang bocor sehingga protein dalam darah tercampur dalam air pipis.
Dari semua kehamilan, preeklamsia dan eklamsia terjadi sebesar 2-7 persen. Lebih banyak dibanding keguguran yang sebesar 1-3 persen. Komplikasi ini berdampak serius. Jika tak tertangani dengan baik, bisa menyebabkan kematian, baik pada ibu maupun janin. Menurut data Badan Kesehatan Dunia (WHO) pada 2010, sekitar 800 perempuan meninggal saat kehamilan dan persalinan setiap hari. Komplikasi yang disebabkan oleh hipertensi merupakan penyebab kematian kedua, sekitar 14 persen dari total kematian.
Dari penelitian Didi pada 2007 di Rumah Sakit Koja, RS Fatmawati, RS Pasar Rebo, RS Persahabatan, dan RS Tangerang, angka kejadian preeklamsia juga tinggi. Dari 14.861 jumlah persalinan, 30 orang di antaranya meninggal dan 232 nyaris meninggal. Dari jumlah nyaris meninggal tersebut, 70,6 persennya disebabkan oleh preeklamsia. Sedangkan dari jumlah yang meninggal tadi, 50 persennya disebabkan oleh preeklamsia.
Masalahnya, belum ada cara untuk memprediksi terjadinya preeklamsia. Preeklamsia biasanya baru ketahuan setelah tekanan darah dan kadar protein urine ibu naik. Saat itu gejala awal preeklamsia sudah terjadi dan harus ditangani segera. Jika terlambat, sang ibu bisa mengalami preeklamsia dan perkembangan janinnya terhambat. Ujungnya bisa menyebabkan kematian pada keduanya. "Ada yang meninggal, ada yang nyaris meninggal," ucap dokter yang berpraktek di Rumah Sakit Anak dan Bunda Harapan Kita, Jakarta, ini.
Untuk mengurangi angka kematian ibu hamil, Didi mencari cara buat meramalkan kemungkinan terjadinya preeklamsia. Penelitian disertasi ini membawa Didi meraih gelar doktor di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, bulan lalu.
Ada dua jenis preeklamsia, yakni preeklamsia dini dan lanjut. Batasnya adalah usia kehamilan 34 pekan. Jika terjadi setelah usia kehamilan 34 pekan, dikategorikan preeklamsia lanjut. Sedangkan jika terjadi sebelum usia kehamilan 34 pekan, masuk preeklamsia dini. "Sekitar 60 persen preeklamsia terjadi di bawah umur 34 minggu," ujar Didi.
Ada perbedaan faktor penyebab keduanya. Preeklamsia lanjut terjadi karena masalah pada ibu, misalnya akibat kegemukan, diabetes, dan kadar kolesterol tinggi. Sedangkan preeklamsia dini terjadi karena masalah plasenta alias ari-ari yang tak tertanam dengan sempurna di rahim.
Plasenta adalah organ yang menghubungkan suplai darah ibu hamil dengan suplai darah janin yang dikandungnya. Darah tersebut membawa nutrisi dan oksigen untuk janin. Jika plasenta tak sempurna, janin tak mendapat cukup nutrisi dan oksigen. Akibatnya pertumbuhannya jadi terhambat. Yang paling ekstrem, bisa mengakibatkan keguguran karena asupan nutrisi dan oksigen ke janin terhenti.
Umumnya preeklamsia paling cepat terjadi pada kehamilan 20 pekan. Ini lantaran pada usia kehamilan tersebut plasenta semestinya tertanam sempurna dalam rahim. Karena faktor penyebabnya adalah plasenta, untuk mengakhiri kondisi preeklamsia, dokter akan berusaha mengeluarkan plasenta tersebut dari perut ibu. Maka bayi yang bergantung pada plasenta juga mau tak mau mesti dikeluarkan.
Didi meneliti cara untuk memprediksi preeklamsia dini yang disebabkan oleh tak tertanamnya plasenta dengan sempurna tadi. Ia meneliti 96 perempuan hamil yang memeriksakan diri di Rumah Sakit Fatmawati dan Puskesmas Cilandak, Jakarta Selatan, selama November 2014-Oktober 2015. Pada usia kehamilan 22-24 pekan, Didi mengukur tekanan darah mereka. Jika normal, darah mereka diambil. Salah satunya untuk memeriksa kadar annexin lima, sejenis protein yang bertugas mencegah pembekuan dalam darah. Tekanan darah pada plasenta mereka juga diperiksa dengan ultrasonografi (USG) doppler. Setelah diikuti, dari semua pasien tersebut, lima di antaranya mengalami preeklamsia.
Menurut Didi, karena suatu sebab, kadar annexin lima bisa berkurang sehingga membuat darah mengental. Akibatnya, aliran darah jadi lambat. Karena alirannya lambat, pembuluh darahnya jadi menyempit secara alami. Akibat penyempitan ini, tekanan darah ibu naik. Hasil perhitungan Didi menunjukkan, dengan tekanan darah di plasenta yang tinggi ini, sang ibu sebelas kali berpotensi mengalami hipertensi.
Karena sudah diketahui potensinya sejak awal, kejadian preeklamsia bisa dicegah. Menurut Didi, hipertensi baru terjadi 6-12 pekan sejak kadar annexin lima turun. Selama ini pencegahannya dilakukan dengan pemberian aspirin dosis rendah. Untuk masalah kesehatan, aspirin 500 miligram biasa digunakan untuk mengobati nyeri, misalnya sakit kepala. Pada ibu hamil yang diperkirakan akan mengalami preeklamsia, aspirin 80 miligram bisa mengatasi masalah pengentalan darah yang disebabkan oleh turunnya kadar annexin lima. Aspirin kadar rendah tersebut bisa mencegah pembekuan darah.
Pencegahan juga bisa dilakukan dengan pemberian kalsium, yang akan membuat otot lebih rileks sehingga tak terjadi hipertensi. Tapi dua cara ini tidak selalu berhasil pada semua ibu. "Pada orang yang biasa mengasup kalsium, misalnya, pemberian kalsium jadi tak berpengaruh," kata Didi.
Guru besar ilmu kandungan dan kebidanan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Biran Affandi, mengatakan penemuan annexin lima untuk mengukur preeklamsia baru pertama kali di dunia. Sebelumnya, annexin lima memang diteliti, misalnya untuk mengukur kematian sel pada kanker payudara. "Untuk preeklamsia belum ada," ujar promotor disertasi Didi ini.
Penemuan ini tentu bisa sangat membantu mengurangi angka kematian ibu hamil. Potensi preeklamsia pada ibu hamil bisa sejak awal dideteksi sehingga bisa diawasi dan ditangani dengan benar. Tapi, masalahnya, tak semua tempat pelayanan kesehatan ada fasilitas pengukuran annexin lima. Hanya rumah sakit besar yang menyediakan fasilitas itu. Padahal sebagian besar ibu hamil lebih mudah mengakses klinik atau puskesmas yang dekat dengan rumahnya ketimbang rumah sakit besar.
Karena itu, Biran berharap akan ada penelitian lanjutan untuk menerjemahkan kadar annexin tersebut secara sederhana. Misalnya dengan melihat protein atau tekanan darah ibu. Dengan begitu, bisa diterapkan di semua fasilitas kesehatan.
Nur Alfiyah
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo