Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Demi Like Para Ukhti

Film dokumenter Jihad Selfie memaparkan tren baru dalam isu terorisme. Penting ditonton.

22 Agustus 2016 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

JIHAD SELFIE
Sutradara: Noor Huda Ismail
Produksi: Yayasan Prasasti Perdamaian
Durasi: 49 menit

SAYA lihat foto Yazid di Facebook berpose membawa AK-47, gagah. Banyak ukhti yang like." Ucapan ringan itu keluar dari mulut Teuku Akbar Maulana, remaja 17 tahun asal Blang Padang, Aceh. Akbar adalah pelajar sekolah menengah atas yang mendapat beasiswa untuk bersekolah di Turki.

Yazid yang dimaksud adalah Yazid Ulwan Falahuddin, senior Akbar di Imam Hatip School. Remaja asal Surabaya itu diketahui bergabung dengan Negara Islam Irak dan Suriah atau ISIS sejak 2013. Belakangan, Yazid dikabarkan telah tewas. Akbar hampir bergabung dengan ISIS karena bujukan Yazid. Dari Yazid, Akbar tahu menjadi anggota ISIS berarti mendapat gaji, bisa makan daging kuda, dan keliling Timur Tengah. Dia juga bisa pamer foto-foto di Facebook dengan pose keren menyaingi tentara atau anggota Kopassus. Sesederhana itu alasan Akbar kepincut kelompok penyebar teror ini.

Kisah Akbar disoroti dalam film dokumenter Jihad Selfie buatan Noor Huda Ismail. Huda adalah pemerhati terorisme yang sedang menyelesaikan program PhD di Monash University, Australia. Ketika mengumpulkan bahan penelitian di Kayseri, Turki, ia tanpa sengaja bertemu dengan Akbar di warung kebab. Huda terkejut ketika Akbar menunjukkan chat Facebook-nya yang menunjukkan ia sudah siap menyeberang ke Suriah.

Pertemuan dengan Akbar memperkuat teori Huda. Dia berhipotesis bahwa motivasi remaja bergabung dengan ISIS tidaklah serumit dan semengawang mimpi mewujudkan khilafah atau menegakkan ideologi Islam. Keren, dikagumi gadis-gadis, dan bisa pamer di media sosial. Persoalan maskulinitas ternyata.

Berangkat dari Akbar, Huda kemudian menyoroti metode perekrutan ISIS, yang menembus pelosok-pelosok Indonesia seperti Bekasi, Lamongan, bahkan penjara di Nusakambangan. Rekrutmen semakin mudah berkat media sosial seperti Facebook dan Twitter serta aplikasi komunikasi seperti WhatsApp. Lebih dari 500 orang Indonesia telah menyatakan diri bergabung dengan ISIS.

Salah satu adegan film menampilkan Fauzan Anshori, pendiri pesantren di Ciamis, Jawa Barat. Fauzan terang-terangan mengaku sebagai simpatisan ISIS. Dia juga menunjukkan bagaimana media sosial membantunya dengan cepat mengetahui berita-berita Timur Tengah. "Tak jadi masalah bila Yahudi yang membuat Facebook dan WhatsApp," kata Fauzan. "Orang-orang kafir itu yang menciptakan, kita yang memanfaatkan."

Meski kualitas gambarnya tidak seragam, alur film ini menarik. Isu terorisme yang sering dikupas dengan berbagai macam pisau teori kali ini disajikan secara manusiawi. Pertama, kita diajak mengenal sosok Akbar. Dengan logat Aceh yang kentara, Akbar menceritakan kegiatan sehari-harinya di sekolah. Dia murid pintar yang hafal Al-Quran dan jago bicara di depan umum.

Pada satu titik, Akbar bosan dengan pelajaran-pelajaran di sekolah. Ia sering menghabiskan waktu di Facebook. Layaknya remaja yang sedang mencari jati diri, jumlah komentar dan like jadi hal penting untuk membuktikan eksistensi. ISIS paham hal ini dan menjadikannya alat untuk rekrutmen. "Yang bergabung disuruh melakukan selfie dulu dengan senjata, lalu dipasang di Facebook," ujar Akbar.

Film ini sengaja dikemas Huda dengan gaya dramatis dan potongan gambar pendek-pendek yang berganti dengan cepat. "Sasaran saya anak muda yang gampang bosan bila disuguhi footage panjang," kata Huda. Cepatnya transisi adegan kadang memusingkan meski masih dapat diterima. Konflik dimunculkan dengan baik hingga mencapai klimaks yang menyentuh saat film memunculkan ayah dan ibu Akbar. Ikatan kuat dengan keluarganyalah yang menghentikan Akbar dari niatnya bergabung dengan ISIS. "Saya ingat orang tua bilang bahwa jihad tak harus dengan senjata, tapi bisa jihad pena."

Terlihat materi film ini kaya dan berasal dari banyak sumber. Huda pergi ke beberapa kota dan mewawancarai banyak orang dengan mendalam. Selama proses produksi sepanjang Maret 2015 hingga Mei 2016, footage yang dikumpulkan mencapai 180 jam. "Saya akan membuat beberapa film lagi dari footage ini," ujarnya.

Moyang Kasih Dewimerdeka

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus