Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gaya Hidup

Mengantar Dewa Dapur Menapak Langit

Yee sang, hidangan keberuntungan khas Imlek, banyak dicari. Rasanya segar, penuh perlambang hidup sentosa.

8 Februari 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Datang, datanglah keberuntungan. Dia dipanggil dengan tarian, nyanyian, mantra, juga doa-doa yang membubung ke langit. Orang Cina, seperti yang sedang ngetren belakangan ini di Jakarta, memanggilnya dengan menyantap yee sang, makanan perlambang keberuntungan. "Seru banget, lo, dan layak dicoba," kata Olga Lydia, artis sinetron, yang mencicipi yee sang di sebuah restoran di Pluit, Jakarta Utara.

Yee sang atau yu sheng memang bukanlah sembarang santapan. Makanan ini khusus disajikan dalam rentang 15 hari, yakni antara perayaan tahun baru Imlek (tanggal 1 bulan 1) dan Capgome (tanggal 15 bulan 1). Sudah begitu, tidak semua restoran cina di negeri ini menyuguhkan yee sang di dalam daftar menu mereka. Maklumlah, yee sang memang bukan sajian khas Imlek bagi warga Tionghoa yang ada di Indonesia. Hal ini dibenarkan oleh Bondan Winarno, pencinta kuliner yang juga pemimpin Jalansutra, klub penggemar jalan-jalan sembari bertualang lidah. "Saya menelepon banyak kenalan Tionghoa di Semarang. Tak ada satu pun yang mengenal hidangan ini," kata Bondan.

Susanti, yang berdarah Cina, anggota klub pendoyan makanan Jalansutra, sepakat dengan Bondan. "Orang tua kita pada ndak kenal yu sheng," katanya. Makanan tradisional khas Imlek di negeri ini lebih berupa kue-kue dari gandum, kue keranjang, wedang ronde, dan kue lapis, yang menandakan harapan rezeki yang berlapis-lapis. Ada juga hidangan wajib berupa mi perlambang panjang umur, kue mangkuk simbol rezeki yang terus mekar, juga permen yang menandakan harapan akan hidup yang terasa manis. "Juga ada ikan bandeng besar yang dimasak pindang," kata Susanti. Biasanya menantulah yang membawa buah tangan bandeng pindang ke rumah mertua. Dan di rumah mertua inilah bandeng akan disantap ramai-ramai bersama keluarga besar.

Konon, menurut legenda Cina kuno, aneka hidangan khas tahun baru ini adalah bekal bagi Dewa Dapur Toapekong. Dewa yang satu ini berangkat ke surga menjumpai Thian Kung, dewa segala dewa, untuk melaporkan segala perbuatan manusia. Aneka makanan tadi, demikian menurut situs yang khusus mengulas budaya Cina, diniatkan untuk memikat hati Toapekong agar dia berbaik hati tidak melaporkan rapor buruk manusia.

Pada tahun 2001, Presiden Abdurrahman Wahid menetapkan Imlek sebagai hari besar dan kebudayaan Cina di Indonesia. Sejak saat itulah berbagai budaya Cina tumbuh subur. Aneka jenis makanan khas Imlek untuk membekali Dewa Dapur juga tumbuh makin beragam. Yee sang, dalam kaitan ini, juga masuk ke perbendaharaan makanan Imlek. Pamor yee sang pun makin melambung menyusul banyaknya restoran makanan cina dari Singapura dan Malaysia—di kedua negeri ini, yee sang amat digemari—yang membuka cabang di Jakarta.

Apa sih yee sang? Selaras dengan semangat Imlek, yakni menyambut musim tanam di Cina, hidangan yee sang banyak diwarnai sayur dan hasil bumi. Uniknya, semua unsur yang dipilih melambangkan keberuntungan.

Pekan lalu, bersama belasan pendoyan makanan yang tergabung dalam Klub Jalansutra, wartawan TEMPO mencoba menemukan serunya ber-yee sang ria di Restoran Pearl, Hotel JW Marriott, Jakarta. Dengan ongkos Rp 112 ribu per orang, rombongan kami disuguhi yee sang plus satu set makan siang.

Makanan yang ditunggu-tunggu itu pun tibalah. Inilah yee sang yang bikin penasaran. Sebuah piring besar berisi aneka sayuran, lobak, wortel, dan pepaya, yang diiris-iris halus rapi memanjang seperti soun. Warna piring makin semarak dengan kulit pangsit yang renyah, rumput laut hijau tua, dan irisan daging ikan salmon segar. Satu cawan kecil bumbu, minyak wijen, dan bubuk kayu manis disiramkan ke isi piring. "Silakan aduk rame-rame dengan sumpit," kata Bondan Winarno. Kami pun meraih sumpit dan mengaduk sayur, salmon, dan minyak wijen secara vertikal dari bawah ke atas. Kami mengaduk dan mengangkatnya tinggi-tinggi sambil serempak mengucapkan, "Lo hei...!" Maknanya kurang-lebih semoga kehidupan di tahun mendatang berlimpah berkah. Seru juga.

Pemandangan serupa ditemukan saat TEMPO bertandang ke Dining Palace Chinese Restaurant, Jakarta. Tiap hari, sejak menu yee sang disajikan pada 22 Januari lalu, ratusan orang mendatangi restoran yang bermula di Malaysia dan Singapura ini. "Tiap hari ada 30 sampai 60 rombongan yang ingin menikmati yee sang di sini," kata Alex Loo, Manajer Dining Palace, sambil menjamin bahwa semua menu restorannya halal. Harga paket yee sang yang dipatok di sini bervariasi, dari Rp 188 ribu, Rp 288 ribu, Rp 388 ribu, sampai Rp 488 ribu. Ya, semuanya memang dipenuhi angka favorit delapan.

Berbeda dengan sajian Restoran Pearl, yee sang sajian Dining Palace lebih komplet. Selain lobak, pepaya, dan wortel, tersedia ubur-ubur, jeruk bali, jeruk cina kering, talas goreng, jahe, dan rempah-rempah khusus yang disebut go hiang. Semua komponen ini dicampur dengan udang lobster dan irisan ikan segar, yakni salmon, sirip ikan hiu, dan ikan laut dalam (abalone)—paduan semua unsur yang mendatangkan aroma dan rasa segar yang cocok sebagai makanan pembuka (appetizer).

Siang itu, Alex Loo turun langsung memandu tetamu mencampur aneka komponen yee sang yang masing-masing punya makna. Daging salmon adalah simbol harapan banyak rezeki, udang lobster perlambang badan sehat dan kuat, hisit atau sirip ikan hiu adalah doa agar semua keinginan tercapai, dan jeruk limau adalah doa keselamatan. Sedangkan lada dan rempah go hiang juga berarti doa agar senantiasa sukses. "Kerupuk ini pertanda harapan agar saku selalu penuh uang," kata Alex.

Ketika semua komponen yee sang sudah siap, Alex menyilakan tetamu mengaduk-aduk dan mengangkat yee sang dengan sumpit. "Aduk dan angkat tinggi-tinggi," katanya. Makin tinggi sumpit diangkat, kata legenda, semakin kuat keberuntungan yang datang. Tak lama kemudian, teriakan tetamu pun membahana: "Lo hei, Gong Xi Fat Choi." Moga-moga keberuntungan akan terpanggil datang.

Mardiyah Chamim, Ecep S. Yasa, D.A. Candraningrum (TNR)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus