Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
HARI-HARI ini tatapan mata publik tertuju pada Mahkamah Agung, yang berkantor di Jalan Merdeka Utara, Jakarta. Bukan sekadar gara-gara demonstrasi mahasiswa yang belakangan kerap digelar di sana. Di lembaga inilah perkara Akbar Tandjung (bekas Menteri Sekretaris Negara), yang menjadi Ketua Umum Partai Golkar sekaligus Ketua Dewan Perwakilan Rakyat, bakal diputus. Karena Akbar juga menjadi calon kuat presiden dari partainya, putusan perkara kasasi ini sungguh penting dan berpengaruh terhadap percaturan politik pada pemilu mendatang.
Dari sisi hukum pun, perkara ini amat menarik. Inilah kesempatan majelis kasasi mencoba pasal tentang kewajiban pencantuman perbedaan pendapat antara anggota majelis dalam vonis, sesuai dengan Undang-Undang Mahkamah Agung yang baru.
Gentingnya perkara ini terekam pula di lobi Mahkamah Agung, Kamis pekan lalu. Di sana mahasiswa dari sejumlah universitas di Jakarta berdemonstrasi menuntut agar perkara penyalahgunaan dana nonbujeter Bulog sebesar Rp 40 miliar tersebut segera diputus dan tidak diulur-ulur lagi. Kebetulan, hari itu majelis hakim kasasi yang menangani perkara ini sedang mengadakan musyawarah di ruang D-208 lantai dua gedung MA.
Musyawarah tersebut dipimpin oleh Hakim Agung Paulus Effendi Lotulung, ketua majelis kasasi perkara Akbar. Sehari-hari ia dikenal sebagai Ketua Muda MA Bidang Tata Usaha Negara. Empat hakim agung lainnya yang menjadi anggota adalah Arbijoto (hakim karier), Parman Suparman (hakim karier), Muchsin (sebelumnya guru besar hukum Universitas Airlangga), dan Abdurrahman Saleh (bekas Wakil Ketua Umum Partai Bulan Bintang).
Hasilnya? Musyawarah yang berlangsung selama dua jam lebih sejak pukul 10 pagi itu belum menghasilkan kesepakatan. Mereka memutuskan mengadakan musyawarah lagi pada 4 Februari ini. Ketika keluar dari ruang rapat, Abdurrahman Saleh, salah seorang anggota majelis, tampak tegang. Setelah didesak para wartawan, ia menuturkan bahwa pada musyawarah tersebut anggota majelis sudah menyampaikan pendapatnya masing-masing, tapi belum tercapai kata sepakat.
Perkara Akbar mengalir ke MA setelah Pengadilan Tinggi Jakarta Januari tahun lalu memutuskan terdakwa bersalah dan dijatuhi hukuman tiga tahun penjara. Vonis ini menguatkan putusan yang dijatuhkan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat empat bulan sebelumnya. Dijerat dengan Undang-Undang Anti-Korupsi, Akbar dinyatakan bersalah karena menyalurkan dana nonbujeter Bulog sebesar Rp 40 miliar ketika menjabat Menteri Sekretaris Negara di era Presiden Habibie. Dana yang dialokasikan untuk pembagian bahan kebutuhan pokok kepada rakyat miskin ini tidak sampai ke sasaran, tapi nyasar ke Yayasan Raudatu Jannah. Anehnya, setelah diusut oleh kejaksaan, belakang dana ini dikembalikan lagi ke pemerintah.
Kabar yang beredar di Partai Golkar dan Mahkamah Agung menyebutkan bahwa pendapat kelima hakim agung kini terbelah. Tiga hakim agung menyatakan Akbar mesti dibebaskan karena dia hanya menjalankan perintah presiden. Dua lainnya cenderung berpendapat agar perkara ini dipelajari lebih teliti karena banyak kejanggalan. Bahkan, menurut sumber TEMPO di MA, seorang hakim agung telah berencana meminta agar perbedaan pendapat (dissenting opinion) dicantumkan dalam putusan. "Saya mau mencoba menggunakan dissenting opinion yang biasa dipakai dalam perkara niaga," ujar sumber itu menirukan sang hakim agung.
Keinginan tersebut bukan tidak mungkin terlaksana. Apalagi hal tersebut telah diatur dalam Undang-Undang Mahkamah Agung, yang disetujui DPR pada 18 Desember lalu. Dalam Pasal 30 (Ayat 3) undang-undang tersebut dinyatakan dengan jelas: "Dalam hal sidang permusyawaratan tidak dapat dicapai dengan mufakat bulat, pendapat hakim agung yang berbeda wajib dimuat dalam putusan."
Menurut Ketua Badan Legislasi DPR, Zein Badjeber, undang-undang itu telah berlaku karena sudah melampui tenggat 30 hari dari tanggal persetujuan parlemen. Jadi, tidak terlalu penting apakah undang-undang tersebut sudah diteken oleh presiden atau belum.
Hanya, Ketua Mahkamah Agung Bagir Manan sendiri tidak yakin apakah Undang-Undang MA yang baru sekarang sudah berlaku. Ia menuturkan bahwa hitungan 30 hari dimulai sejak DPR menyerahkannya kepada presiden. DPR biasanya masih membenahi redaksional undang-undang dan mempersiapkan administrasi sebelum mengirimnya ke presiden.
Itu sebabnya, menurut Bagir, majelis kasasi tak harus mencantumkan jika terdapat perbedaan pendapat dalam putusan, karena Undang-Undang MA belum pasti sudah berlaku. Namun, jika majelis kasasi perkara Akbar akan mencantumkan dissenting opinion, itu juga tidak menabrak undang-undang. "Soalnya, undang-undang tersebut toh akhirnya akan berlaku juga," kata Bagir.
Peluang emas terbuka lebar bagi Lotulung dan kawan-kawan. Inilah saatnya menjajal pertama kalinya pasal dissenting opinion dalam Undang-Undang MA yang baru. Hakim Agung yang berbeda pendapat akan senang karena pendapatnya tercantum. Publik pun puas karena akan mengetahui siapa anggota majelis yang menyatakan Akbar bersalah dan siapa pula yang menilai tak bersalah.
Sejauh ini, Paulus Effendi Lotulung belum menyampaikan sikapnya soal tersebut secara terbuka. Kepada mahasiswa yang berdemonstrasi ia hanya menuturkan bahwa, dalam musyarawah, majelis kasasi memang beradu argumentasi. "Jika tiga orang berpendapat sama, itu yang akan menjadi putusan," ujarnya.
Endri Kurniawati, Dimas Adityo, Wahyu Dhyatmika (Tempo News Room)
Pendapat Para Ahli
Dalam persidangan di Pengadilan Jakarta Pusat, dihadirkan sejumlah ahli yang dianggap mengetahui seluk-beluk penggunaan dana Bulog. Mereka tak hanya memberikan keterangan tentang tetek bengek dana Bulog, tapi bagai hakim mereka juga menilai apakah Akbar telah melanggar hukum. Berikut keterangan mereka seperti yang terekam dalam berkas perkara.
Hatomi
(mantan pejabat di Direktorat Anggaran)
- Sesuai dengan Keputusan Presiden No. 16 Tahun 1994, pengadaan barang dan jasa lebih dari Rp 50 juta harus ditenderkan.
- Pengadaan barang dan jasa dengan menggunakan dana Bulog harus dipertanggungjawabkan kepada presiden dengan tembusan kepada Menteri Keuangan.
Eddy Subagdja
(pejabat di Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan)
- Tindakan Akbar Tandjung sebagai Menteri Sekretaris Negara yang menunjuk Yayasan Raudatu Jannah sebagai pelaksana penyaluran sembilan kebutuhan pokok (sembako) senilai Rp 40 miliar tidak sesuai dengan Keppres No. 16/1994.
Ismail Sunny
(mantan guru besar hukum UI)
- Pengadaan sembako merupakan kebijakan presiden. Menteri Sekretaris Negara hanya pelaksana. Sehingga, tanggung jawab ada pada presiden, bukan Menteri Sekretaris Negara.
- Dalam keadaan darurat, tender tidak perlu dilakukan.
- Penggunaan dana nonbujeter hanya perlu audit internal dan dipertanggungjawabkan presiden kepada MPR.
Andi Hamzah
(guru besar hukum Universitas Trisakti)
- Perbuatan pidana baru terjadi pada terdakwa lainnya yang menyelewengkan uang itu, kecuali jika para terdakwa berkolusi.
Loebby Loqman
(guru besar hukum UI)
- Tidak ada perbuatan melawan hukum yang dilakukan Akbar.
- Penyalahgunaan wewenang yang didakwakan pada Akbar merupakan pelanggaran hukum administrasi, bukan perbuatan pidana.
Bambang Poernomo
(guru besar hukum UGM)
- Sulit sekali membuktikan Akbar memperkaya diri sendiri.
- Sebagai pejabat negara, Akbar tidak dapat menjadi subyek hukum tindak pidana korupsi.
Philipus Emhadjon
(guru besar hukum Unair)
- Kewenangan menyalurkan dana Rp 40 miliar merupakan mandat presiden kepada Akbar.
- Penyaluran dana Rp 40 miliar adalah tugas dari presiden, bukan tindakan pribadi.
Perjalanan Perkara Akbar
29 Januari 2004
Majelis kasasi perkara Akbar melakukan musyawarah.
Oktober 2003
Laica Marzuki menjadi hakim Mahkamah Konstitusi. Posisinya sebagai anggota majelis kasasi perkara Akbar lalu digantikan oleh Abdurrahman Saleh.
September 2003
Majelis hakim kasasi untuk perkara Akbar terbentuk, dipimpin Paulus Effendi Lotulung, yang didampingi Arbijoto, Parman Suparman, Muchsin, dan Laica Marzuki.
Pertengahan Juni 2003
Berkas dikirim Pengadilan Jakarta Pusat ke Mahkamah Agung.
10 April 2003
Akbar mengajukan memori kasasi lewat Pengadilan Jakarta Pusat.
17 Januari 2003
Pengadilan Tinggi Jakarta memidana Akbar tiga tahun penjara.
4 September 2002
Pengadilan Jakarta Pusat menyatakan Akbar bersalah melakukan tindak pidana korupsi dan menghukumnya tiga tahun penjara.
24 Juli 2002
Jaksa Fahmi menuntut Akbar dengan empat tahun pidana penjara.
25 Maret 2002
Bersama dua terdakwa lainnya, Dadang Sukandar (Ketua Yayasan Raudatu Jannah) dan Winfried Simatupang (kontraktor penyalur bahan pokok), Akbar mulai diadili di Pengadilan Jakarta Pusat.
7 Januari 2002
Kejaksaan Agung menetapkan Akbar Tandjung sebagai tersangka penyalahgunaan dana nonbujeter Badan Urusan Logistik (Bulog) sebesar Rp 40 miliar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo