Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Sate Klathak adalah salah satu kuliner khas Yogyakarta, khususnya dari daerah Bantul. Sate ini terkenal karena keunikan dalam penyajiannya dan cara pembuatannya yang sederhana namun menghasilkan rasa yang khas dan lezat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Melansir dari Jurnal Universitas Gadjah Mada (UGM), nama "Klathak" berasal dari bunyi "tak…tak…tak" yang dihasilkan saat sate ini dipanggang di atas bara api. Potongan daging kambing yang besar ditusuk menggunakan jeruji besi sepeda, bukan bambu seperti pada umumnya. Penggunaan jeruji besi ini dipercaya dapat menghantarkan panas dengan lebih baik, sehingga daging matang merata dan lebih cepat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Asal usul sate Klathak tidak terlepas dari kebudayaan masyarakat Jawa yang kaya akan tradisi kuliner. Meskipun tidak ada catatan pasti mengenai kapan pertama kali sate Klathak dibuat, tetapi sate ini telah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat Bantul sejak lama. Konon, sate Klathak pertama kali diperkenalkan oleh para pedagang daging kambing yang ingin menyajikan daging kambing dengan cara berbeda dan menarik.
Pada awalnya, sate Klathak hanya dibumbui dengan garam sebelum dipanggang. Keputusan untuk menggunakan bumbu yang sangat sederhana ini bertujuan untuk mempertahankan cita rasa asli daging kambing yang segar. Potongan daging yang besar memberikan pengalaman makan yang berbeda dibandingkan sate pada umumnya, di mana biasanya potongan daging lebih kecil dan lebih banyak menggunakan bumbu.
Sate Klathak sering disajikan di acara-acara tradisional dan perayaan di Yogyakarta, seperti saat lebaran atau pernikahan. Selain itu, sate ini juga menjadi hidangan favorit di pasar malam dan warung-warung makan di sekitar Bantul. Keunikan sate Klathak yang hanya dibumbui garam juga menjadi daya tarik tersendiri bagi para wisatawan yang berkunjung ke Yogyakarta.
Berbeda dengan kebanyakan sate yang menggunakan bumbu kacang, kecap manis, atau rempah-rempah kompleks, Sate Klathak hanya dibumbui dengan garam. Kesederhanaan ini bertujuan untuk menonjolkan rasa asli dari daging kambing yang digunakan, sehingga setiap gigitan memberikan rasa yang alami.
Salah satu ciri khas paling mencolok dari Sate Klathak adalah penggunaan jeruji besi sepeda sebagai tusuk sate, bukan bambu seperti yang biasa digunakan pada sate lainnya. Jeruji besi dipercaya menghantarkan panas dengan lebih baik, memastikan daging matang secara merata dari dalam ke luar. Hal ini juga memberikan tekstur yang berbeda pada daging, membuatnya lebih juicy dan empuk.
Sate Klathak menggunakan potongan daging kambing yang lebih besar dibandingkan dengan sate lainnya yang biasanya memotong daging menjadi potongan kecil-kecil. Potongan yang besar ini memungkinkan daging untuk tetap juicy dan tidak mudah kering saat dipanggang.
Meskipun sate ini hanya dibumbui dengan garam, Sate Klathak biasanya disajikan dengan kuah gulai yang gurih. Kuah gulai ini terbuat dari santan dan rempah-rempah, memberikan rasa yang kaya dan menambah kompleksitas pada sate yang sederhana. Penyajian dengan nasi putih dan potongan bawang merah serta cabai rawit juga menambah kenikmatan saat menikmatinya.
Seiring dengan perkembangan zaman, sate Klathak mulai dikenal lebih luas, tidak hanya di Yogyakarta, tetapi juga di berbagai daerah lain di Indonesia. Meskipun banyak varian dan inovasi dalam penyajiannya, sate Klathak tetap mempertahankan ciri khasnya, yaitu penggunaan jeruji besi sebagai tusuk dan bumbu garam yang sederhana.
Banyak warung makan dan restoran yang kini menyajikan sate Klathak dengan berbagai tambahan, seperti kuah gulai atau sambal, untuk menambah variasi rasa. Namun, esensi dari sate Klathak tetap terjaga, yaitu menikmati kelezatan daging kambing yang dimasak dengan cara yang unik dan tradisional.