Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Tradisi dan budaya telah menjadi pondasi kehidupan Umat Hindu di Bali, setiap hal di Pulau Dewata ini selalu dirayakan dengan ucapan syukur melalui upacara simbolik berupa bebantenan (sesajen) yang dipersembahkan kepada sang pencipta. Termasuk dalam merayakan setiap jenjang kehidupan, seperti pernikahan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam adat Bali, pernikahan disebut sebagai Pawiwahan yang dalam pelaksanaannya terdiri dari berbagai bentuk serta melalui serangkaian prosesi panjang yang penuh makna.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dikutip dari artikel jurnal Luh Sukma Ningsih berjudul “Upacara Pawiwahan Dalam Agama Hindu di Bali” bentuk Pawiwahan menurut adat Bali ada empat yaitu :
Sistem Memadik/Meminang
Bentuk pernikahan adat Bali ini dipandang sebagai bentuk pernikahan yang paling terhormat menurut adat Bali maupun menurut agama Hindu. Pernikahan dengan cara ini biasanya dilakukan apabila diantara calon mempelai laki-laki dan wanita telah memiliki hubungan satu sama lain yang kemudian disepakati untuk melangsungkan pernikahan.
Sistem Ngerorod/Ngerangkat
Ngerorod adalah bentuk pernikahan adat Bali ini lebih lumrah disebut dengan istilah kawin lari. Pada umumnya yang dimaksudkan dengan pernikahan lari adalah bentuk pernikahan yang tidak didasarkan atas lamaran orang tua tetapi berdasarkan kemauan kedua pihak yang bersangkutan karena tidak mendapat persetujuan dari orang tua laki-laki atau perempuan.
Sistem Nyentana
Nyentana adalah bentuk pernikahan yang menyimpang dari bentuk pernikahan yang umum di Bali. Tidak seperti pernikahan lainnya baik itu dengan cara memadik maupun ngerorod yang berakibat masuknya pihak wanita kedalam keluarga pihak laki-laki, dalam pernikahan nyentana justru pihak laki-laki yang masuk ke dalam keluarga pihak wanita. Dalam pernikahan nyentana, pihak laki-laki keluar dari keluarga asalnya dan masuk ke keluarga wanita.
Sistem Kejangkepan
Kejangkepan adalah pernikahan atas kehendak orang tua kedua belah pihak untuk menjodohkan anaknya.
Selain keempat bentuk pernikahan tersebut, apabila pihak wanita tidak ingin pekidih atau meninggalkan rumah untuk pergi ke keluarga pihak laki-laki, begitupun sebaliknya pihak laki-laki tidak ingin nyentana namun tetap ingin menikah. Bentuk perkawinan lain yang dapat dilakukan adalah pernikahan pada gelahan. Pernikahan pada gelahan berarti “milik bersama”.
Dalam konteks pernikahan yang dilangsungkan oleh umat Hindu, pernikahan pada gelahan mengandung arti pernikahan yang dilakukan sesuai ajaran agama Hindu dan hukum adat Bali, dimana suami dan istri tetap berstatus kapurusa (yang tetap bertempat tinggal dirumahnya) di rumah masing-masing yang dalam Hukum Adat Bali, yang berhak sebagai ahli waris adalah kapurusa.