Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Harapan nyaris tenggelam bagi Puta Aryatama. Setelah ia divonis positif HIV tujuh tahun silam, kadar CD4 yang ditemukan pertama kali di tubuhnya hanya 2 sel per milimeter kubik darah. CD4 itu seperti prajurit yang menyerang virus. Jumlah sel CD4 dalam tubuh selama ini dipakai untuk menakar kekuatan imunitas. Manusia normal memiliki zat ini 400-1.400 sel per milimeter kubik darah. Adapun pengidap HIV-AIDS memiliki kadar di bawah normal, mengingat HIV menyerang sistem imunitas tubuh. Semakin sedikit CD4, sistem pertahanan (imunitas) yang dirusak oleh virus HIV semakin besar, artinya kondisi pasien memburuk.
Rendahnya jumlah CD4 yang dimiliki Puta membuatnya gampang terkena penyakit, termasuk tuberkulosis. Gabungan kedua hal ini membuatnya secara teori tinggal menunggu ajal. "Tim dokter telah meminta keluarga mengikhlaskan saya," ujar pria 34 tahun itu. Tapi Puta tak pesimistis. Ia menjalani antiretroviral therapy (ART)—pemberian obat untuk menekan jumlah HIV—dan terapi tuberkulosis dengan rutin.
Enam bulan pertama, Puta bersih dari tuberkulosis. Perlahan kondisinya membaik. Berat badannya yang tujuh tahun lalu hanya 40 kilogram kini hampir 70 kilogram. "Itu salah satu tanda ART berhasil menekan jumlah virus," kata Muchlis Achsan Udji Sofro, dokter yang merawat Puta, ketika ditemui di Hotel D'Arcici, Cempaka Putih, Jakarta Pusat, Rabu pekan lalu. Fenomena seperti Puta ini—bisa bertahan meski CD4 rendah—kerap ditemukan Muchlis pada pasiennya. Hal sebaliknya juga terjadi, banyak pasien dengan jumlah CD4 yang lumayan, misalnya 100-125, tiba-tiba meninggal.
Saking seringnya, mulai 2007 dokter yang berpraktek di Rumah Sakit Dokter Kariadi, Semarang, ini memutuskan tidak lagi ada vonis mati hanya berdasarkan kadar CD4 rendah. Biar pasien menjalani terapi dulu dan mendapat kebahagiaan seperti Puta. Muchlis, yang mengendus anomali tersebut, ingin memecahkan misterinya. "Ini ada apa?" ujar dokter 51 tahun ini, yang ditemui di RS Kariadi pada akhir September lalu.
Barulah pada 2008 ia memperoleh jawaban. Dari sejumlah referensi diketahui, kekebalan tubuh ternyata tak cukup dilihat dari jumlah CD4 semata. Ada satu sel bernama T-regulator (T-reg) yang diproduksi oleh kelenjar timus. T-reg berfungsi sebagai regulator dengan mengerem dan mengegas sistem kekebalan tubuh. Ketika ada benda asing, T-reg memberi komando kepada anak buahnya, yang antara lain adalah CD4. Cuma, memang penelitian belum banyak dan belum ada standar baku tentang berapa jumlah T-reg minimal yang diperlukan agar tubuh imun.
Berangkat dari hipotesis itu, Muchlis menempuh jalur akademis untuk mengungkapnya di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Lewat disertasi berjudul "Respons Regulatory T Cell (T-Reg) pada Pasien HIV dan TB-HIV dalam Terapi Antiretroviral", ia mendapat ikhtisar. "T-reg berperan dalam mengevaluasi progresivitas penyakit," kata Muchlis.
Butuh tiga tahun (2011-2013) dengan 52 pasien HIV dan 40 pasien TB-HIV (HIV yang disertai tuberkulosis) untuk menelitinya. Diambilnya sampel pasien TB-HIV karena 40 persen pasien HIV di Indonesia juga menderita TB sebagai infeksi penyertanya. Maklum, Indonesia sebagai negara tropis adalah endemis TB. Setahun penuh Muchlis mengikuti terapi antiretroviral semua obyek penelitiannya. Total sepuluh pasien meninggal dalam kurun tersebut.
Untuk memeriksa T-reg, dipakai alat flowcytometer (FACS) dengan penanda menggunakan kadar CD4 dan CD25 dalam darah. Sebagai pelengkap, diuji pula jumlah HIV dalam tubuh.
Anggota panel ahli HIV Kementerian Kesehatan ini menemukan bahwa kandungan T-reg pada pasien yang sudah diterapi ARV konsisten. Semakin kecil nilai T-reg, kekebalan tubuhnya semakin bagus. Muchlis menarik sebuah batas atau cut of point pada angka 17,8. Pasien dengan T-reg di bawah 17,8 memiliki imunitas lebih baik dibanding pemilik kadar lebih dari itu.
Pada pasien yang meninggal selama pengkajian, ternyata T-reg-nya lebih tinggi dibanding pasien yang hidup. Ambang nilai tersebut, kata dia, belum bisa dijadikan patokan internasional. Bisa saja pengaruh etnis, penyakit infeksi penyerta, dan kondisi iklim akan memberi hasil yang berbeda. Tapi, ia melanjutkan, setidaknya hasil T-reg ini konsisten untuk kasus di Indonesia.
Meski belum bisa dipakai di seluruh dunia, temuan Muchlis ini setidaknya bisa menggantikan atau menyertai pemeriksaan CD4 di Indonesia. Badan Kesehatan Dunia (WHO) mulai tahun ini memang tidak lagi merekomendasikan penggunaan CD4. "Karena tidak sensitif," ujar Kepala Sub-Direktorat AIDS Kementerian Kesehatan Siti Nadia Wiweko, yang ditemui di kantor Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan.
Dalam Guideline on the Use of Antiretroviral Drugs for Treating and Preventing HIV Protection yang diluncurkan pada Maret 2014, disebutkan hasil CD4 bisa dikesampingkan. Alasannya, bisa membuat kebingungan. "Kolesterol, gula, tekanan darah bisa mempengaruhi kadar CD4 ini," kata Muchlis. Bahkan kondisi fisik yang terlampau lelah dan stres pun bisa menurunkan kadar CD4.
Nadia sebenarnya lebih merekomendasi viral load (pengukuran jumlah virus dalam cairan tubuh) untuk mengganti CD4. Untuk uji T-reg, ia menganggap itu belum disepakati secara global. Apalagi T-reg, menurut dia, masih bermuka dua. Pada pasien yang sudah menjalani terapi, menurut dia, jumlah T-reg bisa dijadikan patokan untuk mengukur kekebalan pasien. Tapi, pada pasien yang baru terinfeksi virus (fase varemik), kondisi T-reg tidak bisa dipakai.
Sekarang pun belum ada kesepakatan menggunakan tipe penanda apakah untuk menunjukkan kadar T-reg. Tapi Nadia tak menampik fakta bahwa T-reg memberi kontribusi positif. Perlu banyak tahap dan penelitian lanjutan untuk menjadikannya metode pemantauan.
Namun tak mudah menerapkan rekomendasi WHO seperti yang dikatakan Nadia. Satu kali uji viral load menghabiskan Rp 750 ribu-Rp 1,5 juta. "Lebih akurat memang viral load, tapi kan mahal," kata Asisten Deputi Komisi Nasional Penanggulangan AIDS Maya Trisiswati. Sedangkan untuk mengetahui kadar T-reg hanya diperlukan Rp 250 ribu. Kendalanya, pemeriksaan T-reg saat ini baru bisa dilakukan di Laboratorium Patologi Klinik Fakultas Kedokteran UGM, Yogyakarta, dan Universitas Indonesia, Jakarta. Tapi Muchlis menganggap itu bukan kendala serius. "Bisa, kok, di universitas lain, tinggal melatih saja," kata Muchlis.
Dianing Sari, Sohirin
Sel T-regulator
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo