Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEPULUH perempuan duduk berpencar mengelilingi dua meja kayu tanpa alas. Mata mereka menatap awas sarung bantal putih yang terhampar di atas meja. Kuas di tangan mereka bergerak perlahan mengikuti sketsa berbentuk bunga mawar. Setelah belasan kali kuas-kuas bercat air itu menari, wajah kain pun berganti rupa. Sekuntum mawar merah beranting hijau dengan kuncup putih tumbuh di atas sarung bantal. Indah sekali.
Di sanggar folk art Klub Mediterania, Pantai Indah Kapuk, Jakarta, mawar merah bisa "tumbuh" hampir di mana saja, terserah kemauan pelukisnya. Tak hanya di atas kain, ibu-ibu kerap melukisnya di kotak tisu dan asbak rokok dari kayu. Itulah gaya lukis dekoratif di atas media non-kanvas. "Saya kira sulit, eh, ternyata tidak juga," kata Nyonya Christina Atmadja, salah seorang siswa di sanggar itu, kepada Tempo pekan lalu.
Wanita 39 tahun itu mewakili fenomena yang kini semakin digandrungi ibu-ibu di Ibu Kota: belajar melukis. Bahkan ada yang sampai mengundang guru lukis ke rumahnya. Hanya, sebagian besar belajar ramai-ramai di sanggar.
Di kalangan peserta kursus, Christina tergolong murid senior. Sebelum bergabung dengan Klub Mediterania, ia sudah pernah ikut kursus serupa di kawasan Kemang, Jakarta Selatan, pada 2002. Saat itu istri dokter yang tinggal di kawasan Cinere ini melahap delapan paket. Setiap paket seharga Rp 850 ribu ia selesaikan dalam delapan kali pertemuan.
Meski sudah cukup lihai melukis, Christina masih berlatih lagi di Klub Mediterania, milik Susi Burhan, instruktur sekaligus sahabatnya. Dengan belajar bersama setiap Senin sore, segala masalah bisa diatasi, terutama jika ibu dari tiga anak ini menemukan kesulitan melukis obyek yang belum pernah ia pelajari. "Daripada cuma ikut arisan, lebih baik belajar melukis," katanya.
Kedatangan Christina tentu saja membuat Susi gembira. Guru lukis ini tak jarang meminta bekas muridnya menjadi instruktur buat peserta baru. Kemampuan Christina memang lebih dari cukup untuk ukuran kaum ibu. Bahkan, tahun lalu, perempuan yang tak suka keluar rumah ini menggelar pameran folk art bersama Susi Burhan di Hotel Gran Melia Jakarta.
Di rumahnya di Cinere, Jakarta Selatan, hampir semua perabot rumahnya tersentuh sapuan kuasnya. Tak cuma sarung bantal dan asbak rokok yang dihiasi lukisan. Taplak meja, tas sekolah anaknya, kotak tisu, tempat pena, pintu lemari, dan kursi kayu pun disapu dengan kuas. Untunglah suami dan anak-anaknya tak memprotes. "Mereka justru bangga dengan kegiatan dan lukisan saya," kata penggemar bunga mawar ini.
Belakangan karya Christina kerap dijadikan kado ulang tahun buat teman-teman suaminya. Tiga anaknya juga tak ketinggalan menjadikan lukisan sang ibu sebagai cendera mata untuk teman-teman mereka di sekolah.
Sokongan anggota keluarga juga dirasakan Nyonya Ety Sambodo. Ibu tiga anak ini tidak belajar di sanggar, tapi mendatangkan Iskandar Suryaputra, seorang pelukis, ke rumahnya di Simprug, Jakarta Selatan. Bersama anggota keluarga dan kerabatnya, Nyonya Ety belajar melukis di atas kaus selama tiga jam setiap Ahad sore. Untuk satu paket kursus selama empat kali pertemuan, Ety merogoh Rp 1,5 juta dari kantongnya.
Perempuan 40 tahun itu sebenarnya cukup sibuk. Setiap hari waktunya tersita oleh urusan kantor di Lembaga Penelitian Kesehatan Jakarta. Jika tak ada urusan kerja atau acara keluarga di akhir pekan, barulah ia mengisi waktu luang dengan kursus melukis. "Niat saya menghibur diri dan mengisi waktu senggang," kata istri Amir Sambodo, Presiden Komisaris PT Krakatau Steel Tbk., ini.
Meski ia baru sebulan belajar, rasa percaya dirinya mulai tumbuh dalam melukis. Ia tak ragu lagi mengambil cat air dan menggoreskannya pada kain. Pelajaran yang diberikan Iskandar cukup sederhana. Awalnya Ety dituntun melukis obyek sederhana seperti bunga dan pohon. Tahap berikutnya membuat sketsa lukisan yang dicontoh dari foto. Mengenal padu-padan warna diberikan setelah ia menguasai pembuatan sketsa.
Keinginan Ety belajar melukis pada Iskandar itu karena media lukisnya terkesan unik. "Jarang-jarang melukis di atas kaus," katanya. Hanya, ia belum berniat menekuni kegiatan melukis secara serius, apalagi menjadikan karya lukisnya sebagai karya komersial. "Memangnya ada yang mau beli?" katanya sambil tertawa.
Lain lagi Nyonya Laelawati, 30 tahun. Sebagai desainer baju pesta, ibu satu anak ini bisa memanfaatkan kepandaian yang didapat dari kursus melukis buat mengembangkan bisnisnya. "Bagi saya, ini ladang bisnis baru," katanya.
Laelawati sebenarnya tidak asing dengan dunia melukis. Ia pernah ikut kursus melukis di atas bahan sutra. Namun hatinya tertumbuk pada lukisan cat air di atas kaus yang dikenalkan Iskandar. Bersama tante, saudara ipar, anak, keponakan, dan ibunya, yang berumur 63 tahun, Laela mendatangkan sang pelukis ke rumahnya di Jelambar, Jakarta Barat. Ongkosnya sama dengan yang dikeluarkan Nyonya Ety, Rp 1,5 juta untuk satu paket.
Dasar sudah punya bakat, Laela tak sulit mencerna teori melukis di atas kaus. Istri karyawan sebuah perusahaan perfilman ini kian yakin dengan ke-mampuan melukisnya. Kini karyanya bukan hanya baju pesta, tapi juga baju atasan wanita dari kain sifon yang sudah dilukis. Sebagian besar bermotif bunga dan kupu-kupu. Sebagai langkah awal, ia melego sepotong baju atasan seharga Rp 250 ribu.
Meski telah menyelesaikan kursus, Laela tetap berhubungan dengan gurunya. "Biasanya saya berkonsultasi kalau ada kesulitan," katanya. Apalagi sebagian besar cat air yang ia gunakan untuk melukis merupakan racikan tangan sang guru.
Iskandar pun mengakuinya. "Bahan dasarnya saya datangkan dari Jerman," kata bekas mahasiswa Institut Seni Indonesia, Yogyakarta, ini. Meski berbahan impor, harganya lumayan terjangkau. Cat air berwarna emas dan perak ia lepas seharga Rp 75 ribu per botol ukuran 105 mililiter. Sedangkan cat warna lain dalam ukuran sama hanya Rp 25 ribu per botol.
Harga cat yang dipatok Iskandar sebenarnya tak jauh berbeda dengan cat air yang digunakan Susi Burhan. Namun perempuan yang belajar folk art di Singapura dan Amerika ini tak memproduksinya sendiri. Ia cukup mendatangkan cat air merek Jo Sonja's dari Australia. Harga sebotol cat ukuran 75 mililiter cuma Rp 30 ribu. Bahan inilah yang ia gunakan untuk melukis di atas kain, kayu, kulit telur unta, serta sabun dan lilin. "Kalau sabun dan lilin, harus dibersihkan pakai alkohol dulu," kata alumni sebuah akademi sekretaris di Singapura ini.
Pemilik butik pakaian di ITC Mangga Dua, Jakarta, itu tak mengharamkan muridnya menggunakan cat minyak saat melukis di atas kayu. Tapi ia mengingatkan bahwa hasilnya tak sebagus lukisan cat air. Tekstur lukisan dari cat air dan cat minyak memang berbeda. Cat air akan menghasilkan tekstur yang lebih halus. Sedangkan cat minyak tampak lebih keras dan tegas, yang tentu saja kurang cocok untuk melukis bunga. Apalagi aroma cat minyak yang menyengat kurang cocok sebagai penghias sarung bantal.
Christina termasuk murid yang memegang teguh saran gurunya. Ia selalu memakai cat air untuk melukis di kain atau media lain. Buat mendapatkan cat air yang bermutu seperti yang dipakai sang instruktur, ia bahkan pernah berburu hingga Australia. "Kebetulan ada urusan lain di sana," katanya. Begitulah kalau melukis sudah menjadi bagian hidup.
Arif Firmansyah
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo