Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
GEDUNG Pengadilan Negeri Jakarta Pusat di Jalan Gajah Mada, Kamis pekan lalu, seperti menjelma arena unjuk suara. Ratusan orang tumpah-ruah. Sejumlah massa membawa spanduk yang menuntut hakim membebaskan Pemimpin Redaksi majalah ini, Bambang Harymurti, dan kedua wartawan Tempo, Ahmad Taufik dan T. Iskandar Ali. Yel menolak kriminalisasi terhadap pers bergema di mana-mana.
Hari itu, setelah bersidang selama setahun, akhirnya majelis hakim mengetokkan palunya. Hakim menyatakan, Bambang Harymurti, bertanggung jawab atas menyebarkan berita bohong dan mencemarkan nama baik pengusaha Tomy Winata. Ketua Majelis Hakim, Soeripto, memvonis Bambang setahun pidana. Sementara Ahmad Taufik dan T. Iskandar Ali, penulis dan menyunting berita dalam kasus ini, dinyatakan bebas dari tanggung jawab.
Vonis itu memancing reaksi para pengunjung?sebagian di antaranya diplomat dan wartawan asing. Teriakan huu... menggema di ruang sidang. Di luar gedung, dua kelompok massa yang berbeda, kelompok yang bersimpati kepada Tempo dan kelompok yang kontra, mengeluarkan reaksi berbeda dan nyaris terlibat bentrokan jika tak ditengahi polisi.
Inilah klimaks sidang perkara pidana di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, yang bermula dari berita di majalah Tempo edisi 3-9 Maret 2003 berjudul Ada Tomy di 'Tenabang'?. Tulisan itu berkisah tentang usaha renovasi pasar Tanahabang pasca-kebakaran. Menurut sumber berita Tempo, telah ada proposal renovasi yang diajukan Tomy sebelum kebakaran terjadi. Dalam tulisan itu, Tempo telah mewawancarai sejumlah pihak terkait, termasuk bantahan Tomy Winata.
Beberapa hari setelah Majalah Tempo yang memuat berita itu beredar, ratusan orang yang menyatakan pendukung Tomy Winata menyerbu kantor Tempo. Mereka marah akan berita itu. Tomy sendiri kemudian mengadukan Bambang, Ahmad Taufik, dan Iskandar Ali ke polisi. Pengusaha ini menuding berita Tempo bohong dan telah menyebarkan fitnah.
Dalam sidang Kamis pekan lalu itu, majelis hakim yang beranggotakan Koesriyanto dan Ridwan Mansyur menyatakan berita tentang Tomy itu tidak didasarkan pada fakta dan bukti.
Menurut hakim, Bambang bersalah dan sebagai pemimpin redaksi bertanggung jawab atas pemberitaan itu. Putusan itu ditolak Bambang. Menurut dia, hakim bertindak sewenang-wenang karena putusannya tidak didasarkan pada Undang-Undang No. 40/1999 tentang Pers. Karena itu, Bambang mengajak para wartawan terus memperjuangkan penggunaan Undang-Undang Pers. "Jangan khawatir rekan-rekan, kita akan terus lawan," kata Bambang ketika berorasi di depan gedung pengadilan.
Soal pertanggungjawaban yang harus dipikul Bambang inilah yang membuat Ahmad Taufik dan Iskandar lolos dari tuntutan dan dakwaan jaksa. Sebelumnya, majelis hakim yang sama menyatakan unsur dakwaan jaksa terhadap Taufik dan Iskandar terpenuhi. Kedua terdakwa dinyatakan bersalah melakukan pencemaran nama baik.
Dalam amar putusannya terhadap Taufik dan Iskandar Ali, hakim menyitir penjelasan Pasal 12 dan Pasal 18 Undang-Undang Pers. Menurut pasal itu, pertanggungjawaban perusahaan pers, baik bidang usaha maupun redaksi, ada pada pemimpin redaksi. Karena itu, walau Taufik penulis dan Iskandar penyunting berita Ada Tomy di 'Tenabang'?, kewenangan memuat berita itu, kata hakim, adalah tanggung jawab Bambang Harymurti.
Dipakainya "sepenggal" Undang-Undang Pers ini cukup mengagetkan banyak kalangan. Sebab, sebelumnya, kendati mendapat desakan dari sana-sini, para hakim terkesan tak mau melirik Undang-Undang Pers. Soeripto, misalnya, sempat mengatakan sulit bagi dirinya untuk memakai Undang-Undang Pers. Alasannya, pihaknya tidak mungkin memutus perkara di luar dakwaan jaksa yang menuntut kasus itu tidak berdasar Undang-Undang Pers, tapi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). "Hukum acara mengatur begitu," ujarnya.
Jaksa Penuntut Umum Robert Tacoy juga terkejut atas putusan hakim yang "menyelipkan" pertimbangan pasal Undang-Undang Pers. Bagi Tacoy, putusan ini kontradiktif. "Kalau mau memakai KUHP, ya, pakai KUHP. Kalau mau menerapkan Undang-Undang Pers, ya, Undang-Undang Pers," ujarnya.
Pertimbangan yang dinilainya kontradiktif ini yang akan dipelajari pihak kejaksaan, sekaligus sebagai bahan pengajuan banding. Terhadap putusan bebas Taufik dan Iskandar Ali, Tacoy menyatakan akan mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung.
Pakar hukum Universitas Indonesia, Rudy Satriyo, juga melihat adanya kontradiksi pada putusan hakim terhadap Bambang. Melihat konstruksi hukum putusan tersebut, kata Rudy, seharusnya Pemimpin Redaksi Tempo tersebut juga dibebaskan. Sebab, para terdakwa dalam perkara itu satu kesatuan yang tidak bisa dilepaskan. "Konsekuensi putusan terhadap Ahmad Taufik dan Iskandar Ali seharusnya juga merupakan konsekuensi putusan terhadap Bambang," katanya.
Pendapat yang sama dilontarkan Hinca I.P. Panjaitan, pendiri Badan Usaha Hukum dan Advokasi Kemerdekaan Pers. "Hakim tidak konsisten dalam putusan tersebut," tuturnya. Menurut Hinca, dalam perkara Taufik dan Iskandar, hakim menggunakan Undang-Undang Pers karena menganggap Bambang penanggung jawab. Tapi, dalam perkara Bambang, Undang-Undang Pers sama sekali tidak menjadi pertimbangan. "Jika hakim konsisten, seharusnya Bambang bebas," katanya.
Hinca melihat hakim ragu-ragu dalam menerapkan pertimbangan hukumnya. "Hakim hanya mengambil sepenggal Undang-Undang Pers, tapi tetap menggunakan KUHP," katanya. Menurut dia, jika hakim konsisten menerapkan Pasal 12 Undang-Undang Pers, pertimbangan hukum dalam perkara itu bisa menggunakan Pasal 18 Undang-Undang Pers yang mengatur ketentuan pidana. Ketentuan pasal itu, kata Hinca, adalah pidana korporasi (denda), bukan pidana perorangan. "Hakimnya masih setengah hati menggunakan Undang-Undang Pers," ujarnya.
Hinca juga menilai hakim tidak sepenuhnya memahami Undang-Undang Pers. "Ia hanya mengerti siapa yang bertanggung jawab, sehingga dikutip saja Pasal 12," katanya. Hinca menolak anggapan yang menyebut Undang-Undang Pers tidak memiliki pasal yang mengatur soal pidana. "Lihat itu Pasal 5, 9, dan 12. Karena berkaitan dengan Undang-Undang Pers, yang diadili adalah masalah profesionalisme. Itu berat," katanya.
Sukma N. Loppies
Awal Penyerbuan, Akhir Persidangan
8 Maret 2003
Ratusan orang menyerbu kantor majalah Tempo. Mereka marah terhadap pemberitaan Tempo edisi 3-9 Maret 2003 yang berjudul Ada Tomy di 'Tenabang'?.
16 April 2003
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menggelar sidang kasus penyerbuan ke kantor Tempo dengan terdakwa David Tjiu alias A. Miaw dan Hidayat Lukman alias Teddy Uban.
5 Juni 2003
Tomy memasukkan empat gugatan perdata terhadap Tempo ke empat pengadilan negeri di Jakarta. Yang digugat, Goenawan Mohamad dan Koran Tempo (PN Jakarta Timur), Koran Tempo (PN Jakarta Selatan), serta majalah Tempo dan wartawan Ahmad Taufik (PN Jakarta Pusat).
11 Juli 2003
Teddy Uban divonis lima bulan penjara dengan masa percobaan 10 bulan. David Tjiu divonis bebas.
15 September 2003
Bambang Harymurti, Ahmad Taufik, dan T. Iskandar Ali mulai diadili dalam kasus pencemaran nama baik karena tulisan Ada Tomy di 'Tenabang'?.
29 September 2003
Tim pembela kasus Tempo menemukan sejumlah surat yang diduga palsu dalam berita acara penyidikan yang disiapkan polisi. Tempo melaporkan dugaan pemalsuan dokumen itu ke Mabes Polri.
27 Oktober 2003
Tomy Winata memberikan keterangan di persidangan, membantah pernah diwawancarai Tempo. Saat diperdengarkan rekaman wawancara itu, Tomy hanya menyatakan suara itu mirip suaranya.
27 Januari 2004
Kuasa hukum Tempo, Trimoelja D. Soerjadi, mendesak majelis hakim memerintahkan jaksa menahan Tomy karena diduga melakukan sumpah palsu.
17 Mei 2004
Ahli telematika Universitas Gadjah Mada, K.R.M.T. Roy Suryo, dalam persidangan me-ngatakan suara dalam rekaman wawancara wartawan Tempo identik dengan suara Tomy.
19 Juli 2004
Jaksa menuntut Bambang Harymurti dua tahun penjara. Sepekan kemudian, tuntutan yang sama ditujukan kepada Ahmad Taufik dan Iskandar Ali.
27 Juli 2004
Bambang Harymurti bersama Ahmad Taufik dan Iskandar Ali mengadukan Tomy Winata ke Mabes Polri dengan tuduhan diduga memberikan kesaksian palsu.
16 Agustus 2004
Bambang Harymurti membacakan pleidoinya, Wartawan Menggugat. Ia menyerukan agar kriminalisasi karya jurnalistik dihentikan.
18 Agustus 2004
Bambang Harymurti, Ahmad Taufik, Iskandar Ali, Bernarda Rurit, dan Pengacara Darwin Aritonang diperiksa sebagai saksi pelapor di Mabes Polri, terkait dengan pelaporan Tempo atas Tomy Winata yang diduga melakukan sumpah palsu.
16 September 2004
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menyatakan Ahmad Taufik dan Iskandar Ali bebas dari hukuman, sementara Bambang Harymurti divonis satu tahun penjara.
30 Agustus 2004
Ahmad Taufik membacakan pleidoinya, I am A Journalist, dan T. Iskandar Ali membacakan pleidoinya, Menuntut Keadilan yang Sejati.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo