Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kesehatan

Menyasar Penyebab Stroke Lebih Tepat

Metode stereotactic aspiration membantu dokter lebih tepat sasaran ke titik lokasi penyebab stroke. Tim dokterdari Surabaya Neuroscience Institute memperkenalkan metode ini pada awal November lalu.

19 November 2017 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MATAHARI sedang terik ketika Marion Jeanne Watupongoh mengobrol dengan sanak keluarganya di kedai kopi di bilangan Surabaya Barat. Sedang asyikasyiknya berbincang, tibatiba kaki kanan perempuan asal Manado itu mengalami kram hebat. Kakinya kaku tak bisa digerakkan.

Tanpa pikir panjang, suami dan saudaranya menggotong perempuan 51 tahun itu ke rumah sakit terdekat, National Hospital. Jeanne divonis terserang stroke. "Padahal sebelumnya saya enggak merasakan gejala apaapa," ujarnya, Jumat pekan lalu, mengenang kejadian pertengahan Agustus lalu itu.

Operasi segera dilakukan karena serangan strokenya tergolong gawat. Tapi kali ini tim dokter tak menggunakan metode konvensional dengan membuka tempurung kepala. Mereka hanya membuat lubang kecil di kepala, lalu tinggal menyedot perdarahan pada otak yang menyebabkan kaki Jeanne gemetaran itu. Menurut dokterdari Surabaya Neuroscience Institute (SNeI), Nur Setiawan Suroto, Jeanne adalah pasien pertama mereka yang menjajal operasi minim sayatan ini.

Stereotactic aspiration, demikian kalangan dokter menamakan metode operasi tersebut. Metode ini disebut memiliki banyak kelebihan dibanding operasi biasa. Salah satunya meminimalkan komplikasi yang disebabkan oleh operasi. "Kami berhasil menangani dua pasien stroke dengan metode ini," kata dokter spesialis bedah saraf dari SNeI, Achmad Fahmi Ba’abud, kepada Tempo.

Awal November lalu, SNeI mengkampanyekan kombinasi penggunaan stereotactic di pelbagai penanganan gangguan saraf, dari stroke, parkinson, sampai epilepsi, di Rumah Sakit Umum Daerah Dr Soetomo dan National Hospital Surabaya. Kampanye digelar untuk memperingati Hari Stroke Sedunia yang jatuh pada 29 Oktober.

STROKE adalah respons saraf pada otak yang mendadak muncul ketika pasokan darah yang mengangkut nutrisi dan oksigen terganggu. Kekurangan darah pada pusat saraf ini efeknya tak mainmain. Dalam hitungan menit, selsel otak bisa mati. Bahkan dalam hitungan menit pula nyawa bisa melayang.

Ada dua penyebab pasokan darah bermasalah pada otak. Pertama, penyumbatan pembuluh darah. Seperti saluran goronggorong yang tersumbat, darah tak akan mengalir lancar pada otak. Kedua, perdarahan karena robekan atau pecahnya pembuluh darah. Darah yang semestinya melewati pembuluh malah membanjiri dan menekan bagian otak lain. Bagian otak yang kebanjiran tersebut jadi bermasalah.

Dengan kraniotomi konvensional, stroke akibat perdarahan bisa ditangani dengan operasi membuka tempurung kepala untuk membersihkan perdarahan. Namun operasi ini berisiko besar. Dokter harus menyibak struktur otak yang sehat di bagian permukaan lebih dulu sebelum menuju lokasi perdarahan. Otak yang sehat tersebut bisa terganggu karena proses ini. "Risikonya bisa meninggalkan beberapa gejala, seperti gangguan bicara dan gerak," ujar koordinator tim stroke SNeI, Nur Setiawan Suroto. Selain itu, karena sayatan yang lebar, proses pemulihan kondisi pasien bakal lebih panjang, bisa berbulanbulan.

Dengan teknik baru stereotactic aspiration ini, dokter tak perlu membuka lebar tempurung kepala. Dokter hanya perlu mengebor kepala dengan alat stereotactic, lalu menyedot darah yang berceceran di dalam otak.

Dokter spesialis bedah saraf dari Rumah Sakit Pusat Otak Nasional, Jakarta, Abrar Arham, mengatakan stereotatic merupakan bagian dari peranti navigasi yang membantu dokter lebih tepat mencapai sasaran operasi. Ibarat hendak pergi ke luar kota pertama kali, cara konvensionalnya adalah dengan menanyakan rutenya kepada orang di jalan. Pilihan lain adalah menggunakan Google Maps. Dengan layanan pemetaan itu, titik kemacetan, jalan pintas, dan lainnya akan terlihat. Orang akan langsung diarahkan lewat jalan tercepat yang paling memungkinkan. "Alat ini seperti Google Mapsnya otak," kata dokter yang mempraktikkan metode tersebut.

Operasi ini diawali dengan pemindaian computerizedtomography(CT) scan. Kepala lebih dulu dipasangi kerangka stereotactic untuk memandu mengetahui lokasi perdarahan dengan tepat. Karena pemindaian dan pengukurannya dilakukan tiga dimensi, lokasi perdarahan bisa diketahui lebih akurat.

Berikutnya, tulang tempurung kepala dilubangi sedikit. Tim bedah saraf lalu memasukkan alat sesuai dengan koordinat. Gumpalan darah yang menyebabkan stroke lalu disedot. "Darah yang hitam akan disedot ke luar sampai berwarna bening. Jika sudah berwarna bening, itu tandanya sudah tidak mengalami perdarahan," ucap Fahmi. Untuk memastikan semua perdarahan sudah bersih terangkat, pasien akan dipindai CT scan kembali. Kalau masih ada gumpalan darah, proses akan diulang.

Meski lebih akurat, tak semua pasien bisa ditangani dengan metode ini. Ada syarat ketat yang menjadi patokan tim dokter SNeI. Musababnya, stereotactic aspiration tak bisa menyedot darah sampai 100 persen. "Ini bukan segalanya, tapi banyak mengurangi perdarahan 8090 persen," kata dokter spesialis bedah saraf, Heri Subianto.

Syarat pertama, volume perdarahan lebih dari 10 sentimeter kubik. Kedua, tingkat kesadaran pasien sudah menurun. Dari skala 15 Glasgow Coma Scale- skala yang digunakan menentukan tingkat kesadaran pasien- paling tidak kesadaran mesti di bawah 10. Ketiga, operasi dilakukan tak lebih dari 72 jam setelah serangan stroke.

Fahmi menyatakan teknik stereotactic tak cocok bagi pasien dengan trauma pascakecelakaan karena ada bagian otak yang bengkak. "Sehingga otak tetap perlu dibuka secara konvensional," tutur dokter yang juga berpraktik di National Hospital Surabaya itu.

Pemulihan pascaoperasi dengan metode stereotactic aspiration terbilang cepat. Sembilan hari setelah operasi, Jeanne Marion dibolehkan pulang. Bagianbagian tubuhnya mulai dapat digerakkan. Ia bersyukur bisa kembali beraktivitas meskipun tak langsung sesigap sebelum stroke menyerang. Ia pun mengimbangi masa pemulihan dengan menjalani terapi jalan. "Puji Tuhan, saya bisa jalanjalan sampai ujung gang perumahan," tuturnya.

Artika Rachmi Farmita (surabaya), Nur Alfiyah

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus