Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
IBARAT arsitek di bawah permukaan laut, koral Lophelia pertusa menjadi penyusun struktur terumbu karang. Cabangcabang solidnya yang berwarna putih, oranye, dan merah berkelindan membentuk sarang bagi kerang, udang, kepiting kecil, ikan, dan spesies koral lain. Lonjakan kadar keasaman di laut perlahan menggerogoti kecantikannya.
Efek proses pengasaman (asidifikasi) laut terhadap koral L. pertusa menjadi bagian dari sejumlah riset para ilmuwan Jerman yang dirilis pada akhir Oktober lalu. Sejak 2009, sekitar 250 peneliti dari 20 institusi riset Jerman dalam jaringan Biological Impacts of Ocean Acidification (BIOACID) menelusuri bagaimana reaksi sejumlah spesies terhadap naiknya kadar asam.
Menurut Ulf Riebesell, ahli biologi kelautan dari Pusat Riset Kelautan Helmholtz (Geomar), Kiel, Jerman, asidifikasi melonjak seiring dengan kenaikan penggunaan bahan bakar fosil oleh manusia yang akhirnya menambah produksi karbon dioksida (CO2). "Kelangsungan hidup spesies dan ekosistem laut kena getahnya," kata Riebesell kepada 16 jurnalis dari 13 negara, termasuk Tempo, dalam pertemuan yang diselenggarakan German Academic Exchange Service (DDAD) di Kiel, akhir Oktober lalu.
Para peneliti BIOACID mempelajari daya tahan koral L. pertusa karena dianggap rentan menghadapi asidifikasi laut. Koral itu membentuk kerangkanya dari aragonit, bentuk lain kalsium karbonat yang mudah larut. Dalam simulasi lingkungan laut yang lebih asam dari kondisi saat ini, laju pertumbuhan koral itu menurun.
Koral L. pertusa hidup mungkin masih bisa menahan perubahan lingkungan. Namun cabangcabangnya yang sudah mati dan tidak lagi dilindungi jaringan tisu rontok lebih cepat di perairan asam. Padahal kerangkakerangka koral mati inilah yang menjadi fondasi terumbu karang.
Kerusakan cangkang akibat asidifikasi juga ditanggung fitoplankton Emiliania huxleyi, yang telah menghuni lautan sejak 200 juta tahun lalu. Organisme bersel tunggal ini membantu menyerap karbon dioksida dan melepaskan gas dimetil sulfida ke atmosfer yang membantu mendinginkan iklim. Abrasi pada cangkang juga dialami jasad renik pteropoda.
Asidifikasi adalah risiko yang ditimbulkan oleh tingginya jumlah karbon dioksida yang diserap laut. Karbon dioksida ini menjadi salah satu penyusun gas rumah kaca yang diketahui memicu pemanasan global. Kerap tak terdeteksi manusia, asidifikasi dan pemanasan global mampu merusak ekosistem laut. "Asidifikasi kerap dijuluki saudara kembar pemanasan global," ujar HansOtto Pörtner, peneliti dari Alfred Wegener Institute di Bremerhaven, Jerman.
Aktivitas manusia dinilai berperan besar dalam memproduksi gas rumah kaca dengan jumlah tinggi. Berdasarkan perhitungan ratarata pada 20042013, menurut data Global Carbon Project 2016, pembukaan lahan hutan saja melepaskan hingga 5 gigaton CO2 per tahun. Karbon dioksida dari pembakaran bahan bakar fosil 10 kali lipat lebih tinggi.
Hampir 45 persen atau sekitar 16 gigaton total karbon dioksida itu lepas ke atmosfer dan ikut membentuk gas rumah kaca. Adapun hutan diperkirakan menyerap sekitar 11 juta gigaton karbon dioksida per tahun, sementara sisanya diserap oleh laut. "Kalau seluruhnya lepas ke atmosfer, laju pemanasan global bisa dua kali lebih cepat," kata Riebesell. "Kini beban yang ditanggung laut semakin tinggi."
Karbon dioksida yang diserap laut memicu rentetan reaksi kimia yang membuat keasaman air naik. Kadarnya bahkan sudah melewati variasi alamiah dalam 800 ribu tahun terakhir dengan pH sekitar 8,2. Sejak 1850, laju asidifikasi meningkat 30 persen dan saat ini berkisar pH 8,05. "Selisihnya memang tipis, tapi mempengaruhi kelangsungan hidup ekosistem dan organisme laut," ujar Riebesell.
Lonjakan asidifikasi seperti menambah senyawa beracun yang mengancam ekosistem di dalamnya. Organisme yang sudah berevolusi dan bertahan menghadapi asidifikasi kini berisiko kehilangan kemampuan adaptifnya. Para peneliti memperkirakan nilai pH menurun 0,30,5 poin pada tahun 2100. Jika nilai pH anjlok di bawah 7,5, cangkangcangkang kapur organisme laut akan mengalami dekomposisi.
Keluarga crustacea dan organisme yang membangun cangkang dari garam kapur untuk perlindungan diri menjadi kelompok paling rentan akibat asidifikasi. Senyawa asam di laut menghambat mereka membentuk cangkangnya. Dengan "rumah" rompal, organisme yang menjadi sumber pangan ikanikan besar ini sulit bertahan hidup dan mengganggu siklus rantai makanan di laut.
Para peneliti meyakini kehidupan di laut akan menemukan jalannya sendiri untuk beradaptasi dengan perubahan. Masalahnya, asidifikasi berlangsung lebih cepat dari proses alamiah sehingga cuma sedikit organisme yang bisa menyesuaikan diri. Diperkirakan hanya organisme dengan siklus generasi pendek, seperti mikroorganisme, yang mampu mengimbanginya.
Meningkatnya temperatur laut diketahui membawa efek pahit bagi terumbu karang. Selama ini, diyakini separuh dari terumbu karang dunia bisa dilindungi jika emisi gas rumah kaca dibatasi pada konsentrasi yang mampu menghambat tingkat pemanasan global di bawah 1,2 derajat Celsius. Ternyata asidifikasi menjadi risiko tambahan besar yang sebelumnya tak diperhitungkan.
Dengan pH 8,05, kondisi laut dinilai masih cukup aman bagi terumbu karang. Namun, jika laju produksi karbon dioksida tak berubah, pada 2050 diperkirakan pH air laut menurun hingga 7,95. Jika produksi karbon dioksida tak juga ditekan, pada 2100 pH laut anjlok sampai 7,8 dan cukup untuk membawa petaka bagi terumbu karang.
Menurut HansOtto Pörtner, penghangatan dan pengasaman laut paling parah bisa terjadi di kawasan perairan tropis. Ekosistem koral di kawasan perairan daerah hangat ini menghadapi tekanan berlapis. "Koral sangat sensitif terhadap perubahan suhu," ucap peneliti kelautan dari Alfred Wegener Institute itu. "Pemutihan terumbu karang artinya kematian lebih cepat terjadi."
Emisi gas rumah kaca bisa ditekan dengan mengurangi penggunaan bahan bakar fosil dan membangun sumber tenaga terbarukan. Pada 2015, proporsi konsumsi listrik domestik Jerman dari pembangkit energi terbarukan mencapai 31,6 persen. Sebagian besar pembangkit energi terbarukan di negara itu berasal dari kincir angin, panel surya, dan biomassa.
Selain pembangunan infrastruktur energi terbarukan, para peneliti meyakini memperdalam riset kelautan bisa membuka jalan mengatasi masalah asidifikasi dan pemanasan global. Data tentang ekosistem laut pun makin bertambah.
Sejauh ini, menurut Michael Schultz, Direktur Pusat Riset Lingkungan Kelautan (Marum)University of Bremen, tak sampai 1 persen luas laut yang dieksplorasi manusia. Padahal laut menutupi dua pertiga permukaan bumi. Dengan mengambil perbandingan estimasi spesies darat dan luas area, "Sekitar 90 persen spesies laut tak kita ketahui," kata Schultz.
Schultz menekankan pentingnya studi tentang laut mengingat peran besarnya terhadap kelangsungan hidup manusia. "Laut ikut menentukan sistem iklim di bumi dan menyediakan banyak layanan lain yang sangat berharga."
Gabriel Wahyu Titiyoga
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo