Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Masa Depan Politik Penghayat Kepercayaan

19 November 2017 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PENGHAYAT kepercayaan sudah ada sejak dulu. Sebagian bahkan ada sebelum agamaagama dunia ini datang ke Indonesia. Beberapa di antaranya dikenal luas dan telah banyak studi antropologinya, seperti Parmalim di Sumatera Utara; Kaharingan di Kalimantan Tengah dan Kalimantan Selatan; Sunda Wiwitan di Jawa Barat; Kejawen, di antaranya Sapta Darma dan Sedulur Sikep, di Jawa Tengah; Wetu Telu di Lombok, Nusa Tenggara Barat; Marapu di Sumba, Nusa Tenggara Timur; Aluk Todolo di Tana Toraja dan Towani Tolotang di Sidrap, Sulawesi Selatan; serta Naulu di Pulau Seram, Maluku Tengah. Di setiap provinsi dipastikan ada penghayat kepercayaan ini.

Sejak kemerdekaan, walaupun penghayat kepercayaan ini ada, hidup, dan berkembang, secara administrasi kependudukan mereka dianggap "tidak ada". Misalnya, data mereka tidak ada dalam sensus kependudukan. Dalam kartu tanda penduduk (KTP) dan kartu keluarga (KK) pun mereka tak bisa menunjukkan identitas kepercayaan karena di kolom agama hanya bisa mengisi "" atau "setrip" alias dikosongkan. Argumennya, karena kepercayaan bukan agama.

Karena kolom keagamaan yang kosong, mereka mendapat stigma "tidak beragama". Akibatnya, kerap terjadi diskriminasi. Yang sudah menjadi banyak kasus, penghayat kepercayaan tidak bisa mencatatkan pernikahan yang dilakukan dengan cara tradisi kepercayaan mereka. Ketika anaknya lahir pun tak bisa mendapatkan akta lahir, kecuali akta lahir yang hanya dengan nama ibu, tidak ada nama bapak sehingga tercatat sebagai "anak di luar nikah".

Keadaan ini bisa membuat anak mengalami kesulitan dan mendapat stigma ketika memasuki sekolah. Biasanya, sebagai solusi, orang tua dan anaknya akan "masuk" ke salah satu agama agar bisa mendapatkan akta lahir. Yang tidak mau melakukan ini mengalami diskriminasi, sehingga banyak akses dasar sebagai warga negara, seperti identitas, layanan pendidikan, layanan kesehatan, dan seterusnya, tidak bisa mereka dapatkan.

Situasi ini sudah berjalan puluhan tahun. Negara telah melakukan diskriminasi identitas secara struktural dan sistematis kepada penghayat kepercayaan. Tekanan dan diskriminasi negara, dan kemudian masyarakat, telah membuat mereka tak mampu mengembangkan diri sebagai penghayat kepercayaan yang bermartabat. Akibatnya, sejumlah besar penghayat kepercayaan pun "hilang" atau punah. Sebagian besar karena "pindah" ke agamaagama arus utama, khususnya Islam, Kristen, Katolik, atau Hindu- tergantung agama mayoritas di sekeliling mereka.

"Pengakuan" negara terhadap keberadaan agama yang hanya terbatas pada enam agama telah menciptakan persoalan besar diskriminasi bagi penghayat kepercayaan. Hal ini memapankan istilahistilah yang sebenarnya tidak cocok dengan pengelolaan keberagaman agama yang demokratis di Indonesia. Misalnya istilah agama yang "diakui" dan "tidak diakui" serta agama "mayoritas" dan "minoritas. Akibatnya, yang diakui punya hak penuh ketimbang yang tidak diakui; yang mayoritas memiliki hak lebih daripada yang minoritas.

Perspektif pengelolaan keberagaman seperti ini tidak cocok dengan konstitusi negara Indonesia yang menganut asas Demokrasi Pancasila, ketika semua warga negara mempunyai hak dan kewajiban yang sama, termasuk dalam hak keberagamaan, tidak melihat apakah agamanya diakui atau tidak, mayoritas atau minoritas. Dalam demokrasi ini, ada prinsip yang sudah diakui oleh konstitusi Indonesia, ma­jority rule; minority rights. Walaupun mayoritas berkuasa (karena suara dalam pemilihan umum), minoritas selalu harus mendapatkan haknya, yang dijamin penuh dalam perundangundangan.

Sekarang, faktanya, keberadaan agamaagama yang diakui dan mayoritas menjadi "lawan" agamaagama lokal. Agamaagama yang diakui mendapat banyak fasilitas negara dan kemudahan, sebagai agama "favorit negara"- dalam istilah filsafat kebebasan agama. Sementara itu, kepercayaan selalu diposisikan sebagai bukan agama, sehingga sebagai bentuk sebuah kepercayaan mereka ter(di)tindas dan mengalami stigmatisasi masyarakat.

Para penghayat kepercayaan tidak memiliki ruang ekspresi keagamaan yang proporsional. Mereka mengalami diskriminasi dan kemudian berkembanglah eksklusi sosial. Mereka mengalami peminggiran yang selanjutnya pemiskinan. Mereka menjadi miskin karena dieksklusi, didiskriminasi, dan terus diberi stigma sebagai, misalnya, "penyembah berhala" yang harus dimusuhi oleh umat beragama yang percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Eksklusi sosial yang dialami penghayat kepercayaan tersimbol padat dalam isian kolom KTP yang dikosongkan. Ini terjadi setelah ada UndangUndang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Administrasi Kependudukan. Walaupun masalah agama lokal sangat kompleks dan punya sejarah panjang, bahkan sejak sebelum kemerdekaan, secara sederhana, isian kolom KTP dan KK yang kosong ini menjadi pintu penyelesaian masalah agama lokal atau kepercayaan di Indonesia.

Diterimanya uji material UndangUndang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan yang telah diubah menjadi UndangUndang Nomor 24 Tahun 2013 sangat penting dan menandai proses demokratisasi dalam pengelolaan keberagaman agama di Indonesia. Dibolehkannya penganut agama lokal mengisi kolom agama di kartu tanda penduduk elektronik (eKTP) dan kartu keluarga dengan "Penghayat Kepercayaan" menjadi awal langkah keluar dari eksklusi sosial yang puluhan tahun mereka alami menuju inklusi sosial yang sejalan dengan masyarakat adil, terbuka, dan demokratis, yang menjadi citacita bangsa Indonesia.

Diterimanya uji material ini adalah capaian politik yang tinggi dalam menghidupkan kembali nilainilai kebinekaan di Indonesia. Namun ini barulah awal. Masih banyak pekerjaan yang harus dilakukan untuk mewujudkan kesetaraan agamaagama lokal dan penghayat kepercayaan di Indonesia ini dengan agamaagama besar atau yang arus utama.

Berdasarkan pengalaman saya dalam "Program Peduli" atau kerja dengan berbagai komunitas agama lokal di banyak tempat di Indonesia, diperlukan sebuah "teori perubahan" yang komprehensif untuk bisa mewujudkan kesetaraan agamaagama lokal dengan agamaagama besar di Indonesia. Terutama dalam mengekspresikan seluruh bagian dari kebebasan beragamanya.

Setelah uji material ini, peran pemerintah, pemerintah daerah, dan keterlibatan masyarakat, termasuk tokoh agama, adalah melakukan tiga hal secara simultan di setiap tempat yang ada penghayat kepercayaan. Pertama, memeriksa kembali akses sosial penghayat kepercayaan. Kedua, melihat "penerimaan sosial" dari masyarakat sekeliling. Ketiga, memastikan adakah "regulasi" terkait yang mendiskriminasi penghayat kepercayaan.

Memeriksa akses sosial berarti melihat apakah penghayat kepercayaan telah mendapatkan sepenuhnya aksesakses dasar dalam pelayanan sosial. Dari yang paling dasar, yakni identitas seperti KTP, akta nikah, dan akta lahir anak; hingga akses pendidikan yang terbuka, pelayanan kesehatan, dan bantuanbantuan sosial. Kemudian perlu dilihat sejauh mana pemerintah dan masyarakat menerima sepenuhnya keberadaan mereka. Ini kunci bagi perkembangan komunitas penghayat kepercayaan untuk hidup bersama dengan kelompok masyarakat lain secara setara. Selanjutnya, pemerintah harus memeriksa regulasi yang secara langsung mendiskriminasi penghayat kepercayaan sehingga mereka tak mendapatkan hakhak dasarnya sebagai warga negara.

Semoga setelah uji material ini pengelolaan keberagaman agamaagama di Indonesia akan semakin baik dan perspektif negara terhadap agamaagama bisa terus "netral". Hanya dalam netralitas dan lepasnya pandangan favoritisme terhadap agamaagama arus utama negara bisa memenuhi sepenuhnya hakhak warga negara, termasuk menghargai, melindungi, dan memenuhi hakhak asasi keberagamaan penghayat kepercayaan, yang jumlahnya saat ini mencapai 187 komunitas dengan 1.034 cabang di seluruh Indonesia yang meliputi sekitar 12 juta penghayat. l

Dosen Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Program Officer Hak Asasi Manusia The Asia Foundation

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus