Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bahasa

Membenahi Bahasa, Mengenyahkan Seksisme

19 November 2017 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bila berpatokan pada Sumpah Pemuda, usia bahasa Indonesia kini telah mencapai angka delapan puluh sembilan. Bertulangpunggungkan bahasa Melayu dan diperkaya bahasa daerah, juga serapan dari bahasa asing, boleh dibilang bahasa Indonesia termasuk bahasa yang beruntung karena masih bertahan hingga hari ini. Dibandingkan dengan bahasa Inggris atau Spanyol, bahasa Indonesia memang masih tergolong muda. Masih terbuka peluang baginya untuk berkembang menjadi lebih baik selama tidak menutup diri dan mau membenahi kekurangan yang ada.

Sebagaimana diketahui, bahasa bersifat personal sekaligus sosial. Awalnya, bahasa digunakan oleh individu untuk mengungkapkan pikirannya kepada orang lain. Saat inilah bahasa menjelma menjadi alat komunikasi. Selanjutnya, bahasa memasuki ruang sosial. Dalam ruang sosial, bahasa diatur sesuai dengan lingkungan masyarakat sekitarnya. Bentuk pengaturan itu adalah diciptakannya kaidahkaidah perihal kesopansantunan berbahasa, dipisahkannya bahasa resmi dan seharihari, pengaturan tata bahasa, dan sebagainya. Di dalam ruang sosial ini pula bahasa dikonstruksikan oleh sistem sosial yang dominandalam konteks tulisan ini adalah sistem patriarkal. Maka bahasa pun mengalami penggenderan.

Penggenderan pertama dalam bahasa adalah kata ¡±lakilaki¡± dan ¡±perempuan¡±. Dalam bahasa apa pun, termasuk bahasa Indonesia, kedua kata tersebut hadir dan berkembang biak dengan caranya sendiri sehingga lahirlah katakata turunannya yang tersebar luas dalam masyarakat hingga memunculkan bahasa yang seksis.

Secara umum, seksisme bisa diartikan sebagai diskriminasi terhadap entah perempuan entah lakilaki yang disebabkan oleh jenis kelamin mereka. Diskriminasi tersebut dibuat dengan alasanalasan yang tidak relevan dan sebagian besar mengadaada. Dalam lanskap patriarkal, perempuan kerap menjadi korban utama seksisme. Banyak aturan yang mendiskriminasi perempuan, seperti larangan keluar malam sendirian, pembatasan terhadap akses pendidikan dan pekerjaan, serta pandangan bahwa perempuan wajib mengerjakan tugastugas domestik.

Bahasa tidak bisa lepas dari konstruksi patriarkal. Diskriminasi dalam lingkungan sosial kemudian menjalar ke dalam bahasa: mencemari beberapa kata dan memelintir sejumlah kata lain. Tak aneh, bermunculanlah kata yang maknanya berubah jadi buruk, sempit, dan seksis terhadap perempuan.

Contohnya kata "pelacur". Kata ini jamak dipakai masyarakat, bahkan hadir pula dalam banyak karya sastra. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata "pelacur" diartikan sebagai "perempuan yang melacur; wanita tunasusila; sundal". Berasal dari kata dasar "lacur" yang tidak bergender, kata ini sertamerta menjadi seksis saat menjelma jadi "pelacur". Bahasa Indonesia menciptakan konstruksi bahwa pelacur hanya berlaku untuk perempuan, sementara lakilaki yang melacurkan diri bebas dari label "pelacur".

Seksisme dalam bahasa ini lantas meracuni pola pikir masyarakat hingga mempengaruhi perilaku mereka seharihari. Walhasil, untuk melabeli perempuan yang tidak disukainya, banyak orang kerap memakai kata "pelacur". Kata lain yang sering digunakan untuk merendahkan perempuan adalah "sundal" dan "lonte". Ketika seseorang mengumpat, "Dasar pelacur!" secara langsung dia akan merujuk pada perempuan yang dianggap bertingkah laku sebagaimana pelacur.

Contoh lain adalah "cerewet". Kata ini sering dihubungkan dengan perempuan. Konstruksi patriarkal melekatkan perempuan sebagai makhluk yang banyak bicara, suka mengomel, nyinyir, bawel. Hal ini tecermin dalam KBBI ketika memberikan contoh kata "cerewet": "pembantu rumah tangga biasanya tidak suka bekerja pada nyonya rumah yang cerewet". Kata "cerewet" ini serupa dengan "gosip". Selain dilabeli cerewet, perempuan sering dikaitkan dengan kebiasaan menggosip.

Tidak semua kata seksis terdapat dalam kamus atau tercatat dalam tesaurus. Masih banyak kata yang mendiskriminasi perempuan tersebar dan dipakai masyarakat. Kata "mandul", umpamanya. Dalam lagu Mandul yang dibawakan Rhoma Irama dan Elvy Sukaesih, pihak yang dituduh mandul adalah istri. Isi lagu tersebut merupakan cerminan pola pikir masyarakat. Bila sepasang suamiistri tidak memiliki anak, pihak yang tertuduh mandul adalah istrinya. Mengabaikan fakta secara medis bahwa baik perempuan maupun lakilaki berpotensi mengalami kemandulan, kenyataan tersebut memperlihatkan seksisme dari kata "mandul",

Sejumlah contoh di atas hanyalah bukti kecil dari kondisi bahasa Indonesia saat ini yang ternyata masih menyimpan banyak "sampah" dalam wujud katakata seksis. Lewat bahasa, sikap seksisme seolaholah dibiarkan dan terbiakkan dengan sendirinya. Ketika sikap ini dianggap suatu kewajaran, perempuan pun menjadi sasaran utamanya. Perempuan tidak hanya rentan mendapat kekerasan fisik dan psikis, tapi juga kekerasan dalam berbahasa. Pada akhirnya, seorang perempuan seakanakan diharapkan menerima semua itu sebagai suatu kewajaran karena dalam masyarakat yang seksis diskriminasi adalah sesuatu yang terjatah.

Sebagai pengguna bahasa yang masih berkembang, belum terlambat bagi kita untuk melakukan perbaikan. Katakata yang diskriminatif masih bisa dibenahi. Peninjauan ulang terhadap lemalema yang cenderung seksis, baik yang terdapat dalam KBBI maupun tesaurus, belum terlambat pula untuk dilakukan. Semua itu perlu dan penting diupayakan karena kamus dan tesaurus merupakan rujukan berbahasa bagi masyarakat. Setelah kamus diperbaiki, pola pikir masyarakat juga perlu dibenahi. Memang tidak mudah mencabut katakata seksis yang sudah mengakar dalam masyarakat yang patriarkal. Di sinilah tugas kita untuk saling mengingatkan agar tidak menggunakan katakata seksis dalam kehidupan seharihari. Demi kebaikan bersama, sikap kritis sangat diperlukan.

Bila pemudapemudi tempo dulu mampu menyatukan suara demi mengikrarkan Sumpah Pemuda, generasi sekarang semestinya mampu melakukan hal serupa. Bersumpah untuk menjaga bahasa Indonesia tetap menjadi bahasa yang mampu menyatukan penggunanya, baik lakilaki maupun perempuan, dengan setara. Menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan untuk kita semua, rakyat Indonesia. l

Anindita S. Thayf
Novelis dan esais

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus