Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sejumlah pengelola rumah sakit pusing tujuh keliling. Mereka harus memutar otak agar jatah obat generik bagi masyarakat miskin terpenuhi. Maklum, sejak akhir tahun lalu, beberapa jenis obat tanpa merek itu langka di pasar. Rumah sakit sudah memesan ke pedagang farmasi, eh, barang tak jua nongol. Ini jelas bermasalah. Apalagi karena beberapa bulan belakangan sejumlah daerah tertimpa bencana, serta wabah penyakit seperti demam berdarah dengue.
Menurut Direktur Rumah Sakit Pemerintah Kota Semarang, Niken Widyah Hastuti, sejak Desember lalu, rumah sakit di kota itu kekurangan tujuh je-nis obat generik. "Tanda-tanda seretnya pasokan mulai dirasakan sejak Lebaran lalu," katanya dua pekan silam. Ketujuh obat itu adalah tiga antibiotik ampicilin, amoksisilin, siprofloksasin, rantidine untuk gangguan pencernaan, lidokain untuk bius lokal, dan serum antitetanus, dan antibisa ular.
Kelangkaan serupa, dengan jenis obat generik berbeda, dialami rumah-rumah sakit lain seperti RSUD Moewardi (Solo), Dr. Soetomo (Surabaya), Fatmawati (Jakarta), Cibinong (Bogor), Dr. Syaiful Anwar (Malang), dan RSUP Dr. Kariadi (Semarang).
Agar tak dituding mengabaikan pasien miskin, manajemen rumah sakit pun "berakrobat" menyediakan obat murah. Ada yang menjalin kerja sama dengan apotek di luar rumah sakit, mengganti dengan obat lain yang punya manfaat sama, atau membeli obat sejenis meski dengan harga lebih mahal.
Yang paling pahit, rumah sakit meminta keluarga pasien membeli sendiri obat tersebut di luar rumah sakit. "Amoksisilin sudah dua-tiga pekan ini kosong. Pasien terpaksa mencari sendiri," kata Mike, pegawai apotek RS Fatmawati. "Tak mungkin rumah sakit menomboki biaya obat," kata Niken.
Di apotek luar, mereka juga belum tentu bisa mendapatkan obat generik yang tertulis di resep. Terpaksalah si pasien harus merogoh kantong lebih dalam untuk menebus obat bermerek. Untuk antibiotik amoksisilin bermerek, misalnya, bisa mencapai Rp 19 ribu per 10 tablet. Padahal yang generik cuma Rp 3.000.
Mengapa obat generik langka? Delina Hasan, peneliti pada Pusat Kajian Ekonomi dan Kebijakan Kesehatan, Universitas Indonesia, terang-terangan menyebut kebijakan pemerintah menurunkan harga obat generik sebagai pemicunya. "Harga obat memang turun, tapi obat generik di apotek menghilang," katanya dalam diskusi "Evaluasi Kebijakan Harga Obat" di Jakarta, dua pekan lalu.
Memang, pemerintah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ingin harga obat makin murah. Maklumlah, harga obat generik di Indonesia rata-rata 5-10 kali lebih mahal dibanding negara-negara anggota ASEAN lainnya.
Untuk itulah Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari telah tiga kali menurunkan harga obat generik selama 2006. Paling akhir, kebijakan itu dilansir awal Oktober lalu. Menurut Ibu Menteri, dia tidak asal-asalan mengeluarkan kebijakan. Keputusan itu, katanya, didasarkan pada hasil kajian sangat mendalam dari Tim Evaluasi Harga Obat.
Tim Evaluasi ini antara lain menemukan fakta bahwa obat generik telah didiskon besar-besaran oleh si produsen sebelum dijual ke apotek atau rumah sakit. Misalnya, siprofloksasin bisa didiskon hingga 80 persen ketika dijual di apotek. Itu artinya, harga obat generik yang dipatok produsen sudah terlalu tinggi.
Lalu mengapa orang jadi kesulitan mencari obat generik, terutama jenis antibiotik, di pasar? Sumber Tempo yang bekerja di perusahaan farmasi punya satu jawaban. Menurut dia, baik produsen maupun detailer (sales representatives) biasanya punya target baku banyaknya obat yang harus terjual dalam jangka tertentu. Jika target tak terpenuhi, maka bagian pemasaran itu dianggap tidak berprestasi. Seorang detailer, misalnya, tidak akan dapat bonus bila dia tak mampu mencapai kuota.
Nah, di sinilah terjadi "permainan". Menurut sumber tersebut, si detailer bisa saja minta tanda tangan dokter atau pihak rumah sakit bahwa mereka telah "membeli" semua obat yang ditargetkan terserap ke pasar tersebut. Misalnya, targetnya 15, tapi hanya benar-benar terjual 10. Nah, dokter tinggal tanda tangan telah membeli 15. Sisanya, yang lima disalurkan ke Pasar Pramuka, Jakarta Timur, dengan harga murah.
Harga di Pasar Pramuka itulah yang kemudian dipakai patokan Tim untuk menurunkan harga obat generik. "Kekeliruannya berlipat-lipat jika tim turun ke Pasar Pramuka," kata sumber Tempo dari kalangan farmasi itu. Hal itu tak dibantah dr. Marius Widjajarta, Ketua Yayasan Pemberdayaan Konsumen Kesehatan Indonesia, salah satu anggota Tim.
Cuma, kata Marius, Pasar Pramuka bukan satu-satunya patokan. Tim juga melakukan riset harga di apotek-apotek dan toko obat resmi lainnya, termasuk di internet. "Jadi, penentuan harga kita bukan hitungan ngawur," ujarnya. Menteri Siti sendiri tak ambil pusing dengan kecurigaan seperti itu. "Yang penting rakyat merasakan manfaatnya," katanya saat dihubungi Tempo di Singapura pekan lalu.
Delina punya pendapat berbeda. Menurut dia, kelangkaan terjadi karena produsen obat ogah memproduksi obat generik karena tak lagi menguntungkan. "Harga yang ditetapkan pemerintah lebih rendah daripada ongkos produksi," katanya. Menurut beberapa sumber Tempo di kalangan produsen farmasi, termasuk dari badan usaha milik negara (BUMN), sejak keluar keputusan Oktober lalu, setidaknya ada 42 jenis obat generik yang harga pokok produksinya lebih besar dibanding harga jual yang ditetapkan pemerintah.
Misalnya, tablet amoksisilin 500 miligram, antibiotik yang paling banyak diproduksi dan digunakan orang. Kebetulan, segera setelah keputusan penurunan harga obat generik, harga bahan baku amoksisilin di dunia naik dari US$ 27 atau sekitar Rp 245 ribu per kilogram menjadi US$ 42 atau sekitar Rp 381.600 per kilogram.
Alhasil, harga pokok produksi per kotak berisi 100 butir amoksisilin (termasuk biaya kemasan dan biaya produksi) mencapai Rp 27.929. Sedangkan patok-an dari pemerintah, yakni harga neto apotik (HNA) ditambah pajak pertambahan nilai (PPN) 10 persen, hanya Rp 25 ribu. "Kalau harga pokok produksi lebih tinggi dibanding harga jual, otomatis, produksi berhenti," kata Ketua Umum Gabungan Pengusaha Farmasi, Anthony Ch. Sunarjo.
Itu sebabnya, untuk 2007, perusahaan obat swasta tidak lagi memproduksi obat generik. Hanya perusahaan BUMN saja seperti Kalbe Farma, Indofarma, dan Paphros yang tetap memproduksi obat murah, meskipun dalam jumlah lebih sedikit. Itu pun karena mereka harus tetap menghasilkan obat generik. Paphros, misalnya, dalam kondisi normal memproduksi amoksisilin 300-400 ribu boks per tahun. Sekarang, jumlah produksi jelas susut. "Apalagi, bahan bakunya kosong," kata Direktur Produksi PT Paphros Tbk., Sri Sayekti.
Solusinya? Sejumlah produsen meminta pemerintah kembali menaikkan harga obat generik. "Jangan yang rugi dibiarkan terus rugi. Yang untung jangan diturunkan terus. Kalau seperti itu, ya repot!" kata Anthony. Namun, Ibu Menteri keukeuh tak mau mengubah kebijakannya. Yang akan dilakukan adalah melakukan perhitungan silang. Harga amoksisilin akan dinaikkan 20-30 persen. "Tapi, revisi harga amoksisilin akan diikuti penurunan sejumlah obat generik yang belum turun," kata Menteri Siti.
Kalangan pengusaha farmasi menilai kenaikan itu tak signifikan. Keuntungan-meskipun kecil-produksi amoksisilin baru didapat jika pemerintah menaikkan minimal 40 persen. Namun, mereka tetap saja risau karena kenaikan harga itu toh tetap akan diikuti penurunan harga yang lain. "Ah, terserah menteri sajalah," kata salah satu petinggi perusahaan farmasi, masygul.
Inilah nasib si miskin. Harga mahal tak kuat beli, harga murah barang tak ada.
Dwi Wiyana, Dwi Riyanto (Jakarta), Sohirin (Semarang), Imron Rosyid (Solo)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo