Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Inilah Prancis yang berubah. Lihatlah Jean Jacques Chirac, 74 tahun, yang memerintah di Istana Elysée sepanjang 12 tahun. Ia tampak begitu kedaluwarsa, dibandingkan dengan para kandidat utama dalam pemilihan presiden putaran pertama, Ahad 22 April silam. Mereka dari generasi yang tak bersentuhan langsung dengan Perang Dunia II: Nicolas Sarkozy, 52 tahun; Ségolène Royal, 53 tahun; dan Francois Bayrou, 55 tahun. Selain itu, inilah pertama kalinya seorang kandidat perempuan muncul sebagai calon presiden (Royal).
Rakyat antusias, juga bingung. Mereka harus memilih satu di antara 12 politisi yang disodorkan komisi pemilihan. Dan berdasarkan jajak pendapat, dua dari lima pemilih (sekitar 40 persen pemilih) masih belum menentukan jagonya tiga hari sebelum pencoblosan. Maka kandidat presiden pun melakukan segala cara, bahkan yang mustahil, untuk mendorong pemilih yang masih diam agar menentukan pilihannya.
Lihat saja Nicolas Sarkozy, 52 tahun, yang dijagokan jajak pendapat Ipsos-Dell, Rabu pekan lalu, bakal memperoleh suara tertinggi (29,5 persen) dalam putaran pertama. Calon dari koalisi partai konservatif yang mendukung pasar bebas ini justru menyatakan secara terbuka setuju dengan gagasan sosialis filsuf Marxis asal Italia, Antonio Gramsci. Sasaran retorika Sako, panggilan pers terhadap Sarkozy, tentu saja pemilih kiri. Ia mengangkat tema kampanye tentang identitas nasional. ”Jika seseorang tak mencintai Prancis, orang itu tak berhak hidup di tanah Republik Prancis,” katanya.
Setali tiga uang dengan Sarkozy, kandidat partai sosialis Ségolène Royal yang memperoleh suara 24,5 persen dalam jajak pendapat yang sama juga bertindak aneh-aneh dengan mengusung retorika patriotisme sebagaimana yang biasa dijual kelompok nasionalis kanan. ”Saya ingin semua orang Prancis menyimpan bendera tiga warna (bendera Prancis) di rumah mereka,” ujar Royal.
Royal pun menyerang Sarkozy dengan menyebutnya agitator dan sayap kanan yang berbahaya. Koran kiri Liberation menulis di halaman depan ketidakmampuan Sarkozy saat menjabat menteri dalam negeri menghadapi kerusuhan penduduk imigran kecuali dengan menggunakan kekerasan lewat tangan polisi antihuru-hara pada akhir 2005. Sarkozy dinilai akan memerintah secara otoritarian, seperti dia menumpas kerusuhan rasial. ”Sarkozy sama saja dengan Margaret Thatcher yang punya manifesto yang sama, gagasan yang sama, dan dia akan menghancurkan Prancis yang kami cintai,” ujar Julien Vialard, aktivis mahasiswa yang memimpin protes kontrak kerja mahasis-wa pada 2006.
Sedangkan kandidat partai ekstrem kanan Jean-Marie Le Pen menyebut Sarkozy sebagai anak imigran Hungaria yang tak cukup Prancis untuk menjadi Presiden Prancis. Le Pen yang memperoleh peringkat keempat pada putaran pertama dalam jajak pendapat akan menghapus undang-undang yang menghukum orang membuat pernyataan rasial atau anti-Yahudi jika terpilih sebagai presiden.
Serangan dari kiri dan kanan tak membuat Sarkozy kelimpungan. Ia malah dengan bangga menyodorkan contoh serangan yang sama pernah dialami Jenderal Charles de Gaule sebagai kandidat presiden, kalangan kiri mengusung poster bertulisan ”Fasisme tak akan lewat”. Ketika François Mitter-rand dari Partai Sosialis terpilih, kalangan kanan menebar ketakutan akan ada panser Rusia di Istana de la Concorde. ”Toh orang-orang itu (penentangnya) lenyap juga,” kata Sarkozy cuek.
Pengalamannya sebagai politisi tak perlu diragukan. Hubungan Sarkozy memang pernah tegang dengan Chirac sejak sang presiden memaksanya mundur dari kabinet pada 2004. Tapi Chirac memanggilnya kembali masuk kabinet untuk mengisi pos menteri dalam negeri. Ketika Chirac menyatakan tak akan ikut pemilihan presiden, Sarkozy menjadi ahli waris kursi presiden dari koalisi partai kanan Chirac.
Tak mengherankan jika muncul tuduhan bahwa Sarkozy membuat kesepakatan melindungi Chirac dari tuduhan korupsi jika ia terpilih sebagai presiden. Chirac telah lama dituduh menggalang dana untuk partainya secara tidak sah sejak ia menjabat Wali Kota Paris dari 1977 hingga 1995. Berdasarkan hukum Prancis, kekebalan dari tuntutan kriminal akan hilang ketika ia tak lagi menjabat kepala negara. Sejumlah kolega Chirac malah telah dihukum untuk kasus yang sama. Kejaksaan pun siap menginterogasi Chirac.
Tapi, sebagaimana Chirac yang konservatif, Sarkozy mendukung pasar bebas dan percaya pada ekonomi global. Maklum, globalisasi ekonomi pernah membuat Prancis kaya raya. Tapi masalahnya kini rakyat Prancis takut terhadap globalisasi. Survei tahun lalu oleh Eurobarometer menunjukkan 64 persen rakyat Prancis melihat globalisasi sebagai ancaman bagi ekonomi Prancis dan lapangan kerja. Ini merupakan persentase terbesar di antara negara Uni Eropa. Bahkan pada 1999 terjadi insiden oleh Jose Bove, peternak kambing, yang mendramatisasi perlawanannya terhadap globalisasi dengan melempar gerai restoran cepat saji McDonald’s.
Globalisasi ekonomi menyebabkan banyak perusahaan Prancis hengkang ke negara Dunia Ketiga dengan upah buruh rendah. Maka Sarkozy mengangkat tinggi-tinggi citranya sebagai tokoh yang siap beraksi mengguncang pasar tenaga kerja. ”Jika kita membiarkan pabrik meninggalkan Prancis, kita akan kehilangan segalanya,” ujar Sarkozy ketika berkampanye di hadapan 100 buruh.
Prancis kehilangan 13.500 lowongan pekerjaan setiap tahun pada 1995 hingga 2001 akibat relokasi pabrik ke negara berkembang. Angka pengangguran pun mencapai 10 persen dari angkatan kerja. Sebaliknya, globalisasi kini tak lagi berarti Amerikanisasi di Prancis. Produk Cina, India, dan negara Amerika Latin kini membanjiri Prancis. ”Prancis tak lagi terobsesi dengan globalisasi sebagaimana pernah terjadi,” ujar Sophie Meunier, peneliti globalisasi.
Uni Eropa pun tak luput dari kecaman Sarkozy, meski Prancis merupakan motor Uni Eropa. Ia justru mengecam menguatnya mata uang euro yang mengakibatkan produk ekspor Prancis menjadi sangat mahal dan menyebabkan lapangan kerja kabur ke luar negeri. ”Uni Eropa seharusnya tidak menjadi kuda Troya bagi globalisasi,” katanya.
Tak aneh bila Sarkozy populer di kalangan pekerja tinimbang kandidat Partai Sosialis, Ségolène Royal. Sego, sapaan akrab kalangan media bagi Royal, justru populer di kalangan kelas menengah dan kaum profesional. Sarkozy berjanji membangkitkan etos kerja keras Prancis dan meningkatkan jam kerja. ”Sarkozy akan mengembalikan Prancis di relnya, kembali bekerja,” ujar Mireille Gruel, pendukung Sarkozy di Kota Nancy.
Royal malah dituduh gagal menghentikan relokasi pabrik pakaian dalam di Poitou-Charentes ke Tunisia ketika ia menjabat Ketua Dewan Regional di kota itu. Akibatnya, ratusan pekerja, termasuk Roselyne Thefaut, 56 tahun, kehilangan pekerjaan setelah ia bekerja 36 tahun di pabrik itu.
Roselyne mencoba menahan rasa ge-tir dan tidak pesimistis. Tapi, katanya, mustahil memperoleh pekerjaan yang sama di wilayah itu. Ia hanya berharap presiden baru dapat memberikan harapan, meski ia tak yakin. Roselyne skeptis terhadap Royal sebagai kandidat presiden. ”Saya kira akan sangat sulit meletakkan Prancis kembali ke jalurnya, atau menemukan seseorang yang punya penyelesaian. Mereka tak punya pekerjaan untuk kami,” kata Roselyne.
Walhasil, kampanye 12 kandidat Presiden Prancis adalah panggung hiburan besar, bak produksi Hollywood. ”Kami dapat melihat kepentingan mereka sebenarnya kekuasaan, bukan Prancis,” ujar Gery Vergot, 44 tahun.
Raihul Fadjri (BBC, Guardian, Financial Times, Reuters)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo