Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Di balik tembok yang mubazir

Pemerintah jertim memberikan kebebasan rakyatnya menerobos tembok berlin. kemungkinan konflik barat dan timur akan berubah antara "komunisme" dan "kapitalisme" jadi konfilk perebutan wilayah.

25 November 1989 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PERDAMAIAN memang pemborosan besar -- seperti kata Si Sersan dalam lakon Brecht yang termasyhur itu, Mutter Courage. Berapa banyak senjata, amunisi, dan personel akan jadi mubazir jika AS tak menganggap lagi Blok Timur mengancam, dan Pakta Warsawa tak menganggap lagi Barat "imperialis"? Kalkulasi kini sudah dimulai. Pekan lalu, hanya beberapa hari setelah pemerintah komunis Jerman Timur menyatakan bahwa rakyatnya bisa bebas melewati Tembok Berlin, Menteri Pertahanan AS Richard Cheney mengeluarkan satu perintah: anggaran pertahanan harus dipotong 195 milyar dolar dari rencana semula selama 4 tahun mendatang. Langkah ini -- seorang menteri pertahanan AS minta anggaran dikurangi -- belum pernah ada sejak 1960-an. Di Soviet sendiri, seperti diakui para analis Pemerintah AS, pembelanjaan militer turun: diperkirakan jadi antara 14% dan 16% dari GNP, setelah tahun sebelumnya antara 17% dan 16% dari nilai seluruh benda dan jasa yang diproduksi di perekonomian Soviet. Benarkah perdamaian (betapa ausnya sudah kata ini) telah muntup seperti fajar? Tak salah lagi. Bukan saja Barat dan Timur tak lagi saling memandang dengan bengis. Yang luar biasa kini ialah: para pemimpin di Uni Soviet dan Eropa Timur, juga di Cina, mengakui, benar atau salah, dalam demokrasi Barat ada obat yang lebih manjur -- bahkan ada sesuatu dalam kapitalisme yang nampaknya bagus. Pada gilirannya, di AS dan di Eropa, pakar dan politisi mulai melihat bahwa karena pemerintahan komunis telah berubah pandangan, Barat tak lagi terancam. Tentu, dengan satu catatan: tak banyak orang (khususnya di Amerika) setuju dengan rasa tenteram itu. Bekas Menteri Pertahanan Weinberger mengatakan kepada The New York Times bahwa sekarang ini untuk mengurangi kekuatan militer Amerika sama dengan melakukan "kesalahan kriminil". Keras kata itu, tapi Weinberger tak sendirian. Poll yang akhir pekan lalu dibuat oleh majalah Time dan Business Week masing-masing menunjukkan bahwa sebagian besar orang Amerika tak percaya perang dingin yang berlangsung sekitar setengah abad ini sudah berakhir. Mereka tak setuju bila pembelanjaan militer dikurangi dan NATO dibubarkan. Di tengah sukacita di Berlin setelah Tembok bisa diterobos, suara dari Amerika itu memang tak terasa enak. Barangkali itu memang tabiat kebanyakan orang Amerika. Mereka selalu merasa perlu "lawan": kalau bukan ancaman militer Rusia, ya ancaman ekonomi Jepang -- terutama setelah orang Jepang membeli gedung Rockefeller Centre di New York. Mungkin dalam keanekaragaman mereka yang ramai dan mobilitas mereka yang cepat, bangsa Amerika memerlukan "struktur", terutama "struktur" yang sesuai dengan apa yang mereka kenal sejak kecil: rasa bangga kepada tanah air dan rasa betah dengan tradisi persaingan. Dalam psikologi itu adanya "lawan" bisa memberikan "struktur" yang diperlukan. Tapi saya mungkin salah. Siapa tahu pendapat umum itu tak akan terus: orang banyak toh umumnya alot untuk menghadapi kenyataan yang berubah cepat. Bagaimanapun juga, sikap itu menyebabkan kita memang perlu bertanya lagi: akan berakhirkah konflik Barat-Timur, bila sengketa ideologis pudar? Memang ada satu kerangka berpikir (saya tak tahu apakah ini yang disebut "paradigma") yang selama ini nyaris tak digugat: bahwa bentrokan dan ketegangan internasional bermula pada permusuhan ideologis. Orang sudah lupa bahwa "kaidah" itu sebenarnya bukan kaidah. Ia toh baru lahir dari dunia yang berubah di sekitar Perang Dunia I dan sesudahnya: dunia yang ditandai oleh Revolusi Rusia tahun 1917, oleh Stalin dan Komintern atau "Komunisme Internasional"-nya, juga oleh Hitler dan Mussolini dan Fascisme Jepang dan, kemudian, pada 1950-an oleh Menteri Luar Negeri AS John Foster Dulles. Dengan kata lain, baru dalam masa 70 tahun terakhir saja sebenarnya ideologi punya peran dominan dalam konflik internasional: ia memberi alasan moral kepada suatu keadaan yang galak beringas, a state of belligerence. Ia memberi dasar bagi legitimasi kekerasan dan biaya yang terjadi karena kekerasan itu, yang kadang-kadang teramat besar, dan harus ditanggung baik oleh rakyat di dalam maupun di luar negeri. Di samping itu semua, ideologi juga telah mengikat suatu persekutuan, jadi satu dasar konsolidasi, seperti yang kita lihat dalam aliansi yang menamakan diri "negeri bebas" maupun "negeri sosialis". Tapi pada umumnya sejarah tak menunjukkan bahwa konflik bersenjata maupun ketegangan internasional dimulai dengan permusuhan ideolois. Setidaknya kita tak bisa menjelaskan sepenuhnya konflik Jepang-Rusia pra-Revolusi, atau konflik dalam Perang Dunia I, dari soal ideologis. Bahkan bentrokan keras pada tahun-tahun terakhir ini (Inggris-Argentina, Kamboja-Vietnam, dan agaknya juga Mesir-Israel, India-Pakistan, serta Iran-Irak) lebih didasarkan kepada sebab-sebab klasik persengketaan senjata: masalah wilayah. Memang alasan kuasi-ideologis bisa diberikan, tapi tak cukup bisa jadi dasar bagi aliansi yang meluas. Konflik di atas sebab itu hakikatnya bersifat semilokal. Maka, soal yang timbul kini: setelah Tembok Berlin mubazir, sejauh mana suatu kemungkinan konflik antara Barat dan Timur akan bisa berubah dari konflik antara "komunisme" dan "kapitalisme" jadi konflik perebutan wilayah atau sumber-sumber kehidupan lainnya? Akankah terjadi konflik lokal di Eropa (selama ini konflik lokal berada di luar Eropa), dan bagaimana sebuah konflik bersenjata lokal atau semilokal akan berkembang di dalam masa persenjataan nuklir kini? Cepatnya perubahan di hari-hari ini belum membuat sempat orang untuk menjawab. Namun, kuat tendensi untuk mengakui bahwa kini bukanlah saat yang pantas buat bicara tentang konflik. Give peace a chance, nyanyi mendiang John Lennon, dan apa salahnya? Memang, satu hal bagaimanapun menonjol: bangunan-bangunan ideologis, yang selama ini menongkrongi dunia, tengah mencair deras. Bersamaan dengan itu, sebuah dunia yang kian "polisentris", yang tak cuma didikte oleh Washington atau Moskow (satu gejala yang sebenarnya sudah berlangsung selama sekitar seperempat abad) kini seperti kehilangan "organisasi"-nya. Sang Sersan yang tak suka perdamaian dalam lakon Brecht itu benar, dalam arti tertentu: yang "bikin pusing" jika ada perdamaian ialah "tidak ada organisasi", dan "apa saja boleh, tak seorang pun peduli". Contohnya ditunjukkan oleh Uni Soviet di bawah Gorbachev. Ketika bulan lalu ditanya bagaimana sikap Kremlin menghadapi perubahan politik di Polandia dan Hungaria, seorang pejabat tinggi Soviet mengatakan -- kurang lebih bahwa "Doktrin Brezhnev" sudah diganti dengan "Doktrin Sinatra". Dulu Brezhnev menganggap perlunya intervensi Soviet bila terjadi "gejolak antisosialis" di Eropa Timur, sedang kini yang berlaku ialah tiap orang boleh nyanyi seperti Frank Sinatra dalam lagu My Way. Tentu, itu cuma separuh seloroh. Uni Soviet jelas tak akan mengizinkan, misalnya, bila Republik Demokrasi Jerman punya inisiatif sendiri untuk bersatu kembali dengan Jerman Barat. Tapi perkembangan baru di Polandia dan Hungaria, misalnya, memberi corak lain terhadap efektivitas Pakta Warsawa. Di Polandia, setelah monopoli kekuasaan Partai Komunis selama 40 tahun berakhir, dan Perdana Menteri Mazowlecki (seorang wartawan Katolik) dipilih dan lalu pergi ke Vatikan sebelum ke Kremlin, pemerintah telah mengumumkan bahwa Polandia -- yang sedang harus memperbaiki keadaan ekonomi yang rusak akibat "sosialisme" -- akan mengurangi pasukannya di Pakta Warsawa, hingga seluruh kekuatan tempurnya tinggal 60%. Di Hungaria, orang bukan saja merobek gambar palu-arit dari bendera nasional. Partai Komunis di sini sudah pecah dua, pemilu sedang disiapkan buat tahun depan, General Electric sudah pegang saham terbesar dalam perusahaan listrik Tungstram, dan hotel-hotel Budapest penuh oleh para kapitalis Barat yang sedang cari lubang. Tak kurang dari itu: menurut beberapa pejabat Pentagon kepada Wall Street Journal pekan lalu, bahkan delegasi Hungaria (resminya masih anggota Pakta Warsawa) menawarkan negosiasi terpisah dan bersifat bilateral dengan AS dalam perundingan tentang senjata kimia di Jenewa kini. Yang jelas, Perdana Menteri Gyula Horn resmi sudah datang ke Strasbourg di Austria untuk melamar jadi anggota penuh Dewan Eropa, satu pengelompokan 23 negara Eropa Barat. Bagaimana nanti jadinya dengan Pakta Warsawa dan bagaimana jadinya NATO jika lawannya telah berubah, entahlah. Tapi kekacauan "organisasi" yang mulai nampak kini bisa mencemaskan juga. Para pejabat NATO di Brussel kini menyatakan bahwa Pakta Warsawa bagaimanapun juga satu unsur penting dalam stabilitas di Eropa: di Eropa Timur ia menjaga terkeping-kepingnya wilayah itu dari konflik lokal sedang di Eropa Barat ia menimbulkan kebutuhan yang lebih besar bagi bangsa-bangsa di sini (terutama Inggris, Prancis, dan Jerman) untuk bersatu. Dan dalam proses itu -- meskipun hanya dalam satu keadaan defensif -- ada kesempatan untuk pertumbuhan ekonomi yang pesat, terutama di Eropa Barat. "Teori stabilitas" seperti itu, jika dike]uarkan oleh pejabat NATO memang dimaksudkan juga buat membenarkan perlunya NATO di Eropa. Meskipun demikian, kenyataan memang menunjukkan: justru di medan Eropa, tempat Pakta Warsawa dan NATO menghadapkan kekuatan, konflik bersenjata tak terjadi. Justru pada saat kedua negara superkuat berhadapan langsung, perang tak ada. Terjadinya perang dan ketidakstabilan regional ada di tempat-tempat yang agak jauh dari kehadiran militer AS dan US sekaligus, mungkin karena yang dipertaruhkan tak terlalu gawat. Dilihat dari perspektif Eropa, maka satu kerangka berpikir lain yang selama ini dipergunakan dalam menganalisa keadaan internasional nampak lapuk: bahwa negara superkuat adalah faktor utama destabilisasi. Menarik memang: tatkala Pakta Warsawa dan NATO nampak mulai mubazir seperti Tembok Berlin, orang mulai menghargai faedahnya. Apa pun manfaatnya, NATO dan Pakta Warsawa akan terpaksa berubah -- kalaupun tak hilang seperti SEATO dulu di Asia Tenggara -- bersama dengan perubahan yang kini terjadi: pertimbangan ekonomi kian dominan dalam arah politik luar negeri tiap-tiap negara. Maka, bukan mustahil misalnya jika hubungan memburuk antara pelbagai anggota Pakta Warsawa karena soal ekonomi. Bukan hal aneh kelak bila AS akan menghadapi kompetisi sebuah Eropa yang industrinya kian kuat, bila antara Eropa Barat dan Timur terjadi kerja sama yang pesat. Orang Amerika kaget bahwa kemarin bukan dia tapi Jepang yang nomor satu. Siapa tahu besok -- katakanlah setelah 1992 -- dia akan kaget lagi. Kali ini bersama Jepang. Bagi kita sendiri? Kalau tak salah Montesqieu yang mengatakan bahwa perdagangan membuat sebuah bangsa lebih "manis". Ancaman lama bisa sangat berkurang (setidaknya sangat tak meyakinkan untuk terus diulang-ulang), pasar baru bisa lebih luas, dan siapa tahu di antara kita sendiri tumbuh kans untuk -- apa namanya itu -- "keterbukaan". Cambridge, 20 November 1989

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus