Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Banyak anggapan dan persepsi keliru di masyarakat terkait penggunaan obat-obatan hipertensi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ada yang menganggap bahwa tekanan darah sudah normal ketika telah mencapai ambang batas normal sehingga tidak perlu mengkonsumsi obat-obatan lagi. Ada pula yang beranggapan bahwa meminum obat-obatan hipertensi dapat merusak ginjal.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hal ini jelas dibantah oleh Tunggul D Situmorang, Ketua Perhimpunan Hipertensi Indonesia (Perhi) atau Indonesian Society of Hypertension (InaSH). Menurutnya, obat-obatan anti hipertensi tidak merusak ginjal karena akan melindungi ginjal.
Baca juga:
Benarkah Batuk Bisa Meredakan Serangan Jantung? Cek Kata Ahli
Melayang di Udara dalam Floating Yoga
Kenali 5 Dampak Buruk Membandingkan Anak
Justru ketika tekanan darah tinggi menjadi tidak terkontrol, akibat konsumsi obat tidak teratur, dapat menyebabkan komplikasi pada organ tubuh lainnya, termasuk merusak ginjal.
“Persepsi yang salah di masyarakat kalau banyak makan obat akan merusak ginjal. Padahal obat hipertensi itu justru akan melindungi ginjal karena dapat mengontrol tekanan darah,” ujarnya.
Menurutnya, ketika pasien tidak lagi mengkonsumsi obat-obatan maka tekanan darah akan menjadi tidak terkontrol yang pada akhirnya mengakibatkan gagal ginjal.
Hipertensi memang memiliki keterikatan yang erat dengan penyakit jantung dan ginjal. Bahkan bisa dikatakan bahwa hipertensi merupakan penyebab utama penyakit mematikan tersebut.
Hipertensi diyakini memicu adanya tekanan berlebihan pada pembuluh darah pada ginjal sehingga pembuluh darah ini akhirnya rusak dan ikut memicu penurunan fungsi penyaringan pada ginjal. Jika dibiarkan saja, ginjal bisa saja benar-benar rusak dan kehilangan seluruh fungsinya.
Berdasarkan data dari Kementerian Kesehatan, hipertensi merupakan penyakit tidak menular yang paling banyak didiagnosa pada fasilitas kesehatan selama semester pertama 2018, dengan jumlah kasus mencapai 185.857. Nyaris empat kali lipat lebih banyak dibandingkan penyakit diabetes mellitus tipe 2.