SEORANG ibu berusia 28 tahun, penduduk Kota Ube, Provinsi Yamaguchi, Jepang, tibatiba jatuh pingsan. Wanita yang sedang hamil 21 minggu itu buruburu dilarikan ke Rumah Sakit Universitas Yamaguchi -- tak jauh dari tempat tinggalnya. Ia langsung ditangani Dokter Tsuyoshi Maekawa bersama timnya. Kondisi tubuh ibu rumah tangga itu kritis. Berdasarkan pemeriksaan ternyata pembuluh darah nadi di otaknya pecah. Secara klinis ia sudah menunjukkan tandatanda kematian. Manik matanya terbuka dan pernapasan spontannya nyaris berhenti. Begitu pula batang otaknya tidak bereaksi meski diberi bunyi di dekat telinganya. Setelah 16 hari dirawat, kondisinya ternyata masih payah. Gelombang otaknya bahkan lenyap sehingga tim dokter menyatakan ibu itu mengalami mati otak. Repotnya menangani kasus calon ibu ini, menurut tim dokter yang merawatnya, adalah karena ia hamil muda. Dokter harus ekstrahatihati memasukkan obat agar tidak mengganggu kesehatan dan pertumbuhan janin. Saat itu tampaknya tim dokter tidak mampu berbuat banyak. Jika dilakukan bedah Caesar, misalnya, bayi yang belum genap berusia enam bulan itu dikhawatirkan akan tewas. Namun, jika dibiarkan maka ibu dan bayinya malah tidak bisa diselamatkan. Sambil menunggu usia yang aman buat si bayi untuk dikeluarkan, tim dokter melakukan berbagai upaya agar ibu yang masih koma itu mampu bertahan. Daya hidupnya ditopang dengan pernapasan buatan serta infus cairan yang berisi berbagai macam kandungan gizi. Sampai hari ke26 toh kondisi ibu tetap tak ada kemajuan. "Karena sudah dipastikan ibu itu tidak mampu ditolong lagi, pihak keluarga menghendaki agar si bayi bisa diselamatkan," kata Tsuyoshi Maekawa. Seakan tawarmenawar dengan maut, para dokter mengerahkan aneka kebolehan peragat paling mutakhir untuk memelihara sang ibu yang diambang mati itu. Sampai hari ke51 atau usia janin mencapai tujuh bulan, tim dokter akhirnya nekat melakukan pembedahan Caesar. Tim Maekawa yang terdiri dari belasan dokter ahli itu sukses mengeluarkan jabang bayi seberat 1,4 kg. Bayi perempuan yang dilahirkan bulan November tahun lalu itu kini tampak sehat walafiat. Namun, ibu yang namanya dirahasiakan itu meninggal sepuluh hari kemudian. Kasus seorang ibu dalam kondisi mati otak tapi masih mampu melahirkan, menurut Profesor Maekawa kepada sebuah majalah mingguan wanita Jepang, kabarnya baru pertama kali ini di dunia. Dengan catatan, si ibu mengalami mati otak selama 35 hari dan bayinya lahir hidup dengan sehat. Menurut buletin Journal of the America Medical Association edisi 1982, kasus ibu hamil mengalami mati otak ketika itu ada dua kejadian. Pertama pada seorang ibu berusia 30 tahun yang hamil 18 minggu. Ibu dan janin akhirnya meninggal. Kasus lainnya, pada ibu berusia 24 tahun yang sedang hamil 27 minggu. Bayinya bisa dikeluarkan, namun tidak lama kemudian meninggal. Apakah mati otak boleh dianggap sebagai kematian? "Menurut saya, dalam kasus kali ini tidak perlu menentukan soal mati otak atau tidak. Karena keluarga si ibu menghendaki kelahiran anaknya, maka kami sebagai dokter bertindak agar bayi selamat," kata Maekawa kepada TEMPO. Kondisi mati tidak hidup pun tidak itu adalah akibat rusaknya batang otak sehingga fungsi organ pengatur gerak otonom tubuh, jantung, dan alat pernapasan, misalnya, mengalami gangguan. Atau seperti dijelaskan Prof. Arry Hariyanto dari FKUI Jakarta, penderita gangguan itu hidupnya praktis tergantung alat pompa napas. "Jika alat itu dicabut, orang tersebut meninggal," katanya. Sedangan jabang bayi bisa hidup, menurut ahli hematologi itu, berkaitan dengan denyut jantung sang ibu. "Selama jantungnya berdenyut, berarti ada aliran darah untuk janin," kata Arry Hariyanto. Apalagi, katanya, si ibu mendapat makanan cukup yang dimasukkan lewat infus. Gatot Triyanto, Seiichi Okawa dan Mio Hayakawa (Tokyo)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini