Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sosial

Sang budha duduk di kursi

Sebuah wihara baru di jakarta memberikan tempat yang nyaman bagi jemaatnya. ibadah dilakukan dengan duduk di bangku, dan nyanyian dengan syair indonesia, diiringi organ.

20 Juni 1992 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEKITAR 90 orang umat Budha tengah bersamadi di ruang berAC pada Minggu pagi kemarin. Mereka tidak bersila di lantai karpet sebagaimana lazimnya di sebuah wihara. Tapi duduk di bangku panjang yang berjejer rapi di ruang berkapasitas 150 orang, tanpa membedakan antara laki dan wanita, antara yang berpakaian formal dan yang hanya berkaos oblong. Mereka samasama memejamkan mata dan telapak tangan dipertemukan di depan hidung, sambil menghadap ke arca Budha di altar. Juga tak ada sujud, seperti lazimnya dalam peribadatan Budha. Lalu mereka menyanyikan lagu rohani seperti Berbuatlah Kebajikan, diiringi organ. Salah satu rangkaian acara kebaktian di Wihara Pluit Dharma Sukha, Jakarta Utara, wihara yang baru diresmikan pada akhir Mei 1992 lalu. Dan Dharma Sukha bukan cuma wihara yang bangunannya baru, tapi juga kaidah peribadatannya boleh dikata lain dari biasanya. Misalnya soal duduk di bangku dan nynayian yang diiringi organ. Perubahan itu, kata Ketua Walubi Teja S.M. Rashid, sesuai dengan perkembangan zaman. Ia ambil contoh soal bangku itu, karena orang sekarang terbiasa duduk di kursi. "Itulah yang menyebabkan upacaraupacara di wihara dengan bersila menjadi siksaan," kata Teja. Dan yang penting, perubahan itu tidak menyimpang. Dalam kitab suci tidak disebutkan bahwa beribadah harus dilakukan dengan bersila, kata Teja pula. "Di setiap wihara belum ada yang jemaatnya duduk di kursi, " kata Tommy Tantawi, guru agama Budha di Medan, kepada Mukhlizardy Mukhtar dari TEMPO. Itulah sebabnya, mengapa ruangan ibadah di wihara hanya diberi karpet. Yang juga baru dari Dharma Sukha adalah dalam tuntunan kebaktiannya hampir seluruhnya dibawakan dalam bahasa Indonesia. Bahasa Pali, bahasa kitab suci Budha, memang masih digunakan, "Tapi hanya pada waktu pembukaan dan penutupan doa," kata Eddy Sadeli, seorang pengacara yang menjadi jemaat wihara ini. Itu pun masih diiringi terjemahan Indonesianya. Di wihara umumnya, sebaliknya yang terjadi: pemakaian bahasa Pali yang lebih ditekankan. Itulah salah satu daya tarik wihara itu bagi Eddy Sadeli, di samping adanya nyanyian rohani dalam bahasa Indonesia. Maka, sejak adanya Wihara Pluit ini, Eddy rajin mengikuti kebaktian. Sementara tadinya Eddy beragama Budha hanya sekadar di kartu tanda penduduk saja, kini ia telah mulai memahami agama yang dianutnya itu. Karena, seperti yang dijanjikan oleh Wihara Pluit itu, tiap Minggu, umat Budha akan merasakan suasana nyaman beribadah: mereka bisa duduk di kursi di ruangan berAC. Juga, jemaat dijanjikan bisa belajar dan berbincangbincang tentang Dharma sesuai dengan kitab suci agama Budha, Tripitaka, secara terbuka dengan biksu yang hadir. Tampaknya, orang-orang semacam Eddy inilah yang ingin dipanggil oleh Wihara Pluit. Mereka itu, kata Eddy, dari kalangan "intelektual" yang ingin suasana nyaman dalam beribadah. Adakah "pembaruan" ini bisa diterima oleh para biksu? Kata Biksu Khantidharo, "Untuk orang yang belum mengenal Budha secara baik, diajak bersila memang sukar." Bersila adalah siksaan bagi mereka. Padahal, itulah sikap Sang Budha ketika menerima wahyu. Namun, Biksu Khantidharo tak melarang peribadatan dengan duduk di kursi. "Untuk tingkat pemula, ya silakan," kata Khantidharo kepada Ibrahim dari TEMPO. Tampaknya Budha memang tergolong longgar dalam tatanan peribadatannya. Dan perjalanannya, agama ini tak dapat mengelak dari perubahan. Patung Budha saja, misalnya, yang baru ada 300 tahun setelah masa kehidupan Sang Budha, mulamula didudukkan menghadap ke timur. Sebab, ketika Sang Budha mencapai penerangan sempurna, ia sedang menghadap ke timur. Sekarang patung itu, di wihara mana saja, diletakkan menghadap ke pintu utama bangunan, yang tentu saja belum tentu menghadap ke timur. Julizar Kasiri

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus